29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

RUU Pilkada Batasi Politik Dinasti

JAKARTA- Politik dinasti yang marak dalam Pilkada dinilai telah membuat pesta demokrasi kurang menerapkan konsep persamaan derajat dalam kompetisi politik. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan.

“Untuk itulah, dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” ungkap Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, di Jakarta, Senin (16/7).

Dengan demikian, desain ini, ujar Gamawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak bisa memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki hubungan darah. “Atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan,” ujarnya.

Diharapkan dia, desain yang ada dalam RUU Pilkada itu mampu menciptakan suatu postur birokrasi yang netral yang bebas dari tekanan penguasa petana (incumbent).

Menurut Gamawan, pelaksanaan demokrasi secara universal identik dengan konsep persamaan derajat di dalam kompetisi politik yang bebas kecurangan. Demokrasi butuh proteksi yang diistilahkan dengan afirmasi kebijakan atau affirmative action.

“Karena demokrasi tanpa affirmative action hanya akan terjebak dalam lingkaran liberalistis yang melanggengkan suatu kekuasaan yang memiliki kuasa atas sumber kekuatan politik maupun finansial,” paparnya.

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas. Namun, praktik politik dinasti yang membuat mandeknya sistem kaderisasi tak hanya terjadi di pilkada. (sam/jpnn)

JAKARTA- Politik dinasti yang marak dalam Pilkada dinilai telah membuat pesta demokrasi kurang menerapkan konsep persamaan derajat dalam kompetisi politik. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan.

“Untuk itulah, dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” ungkap Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, di Jakarta, Senin (16/7).

Dengan demikian, desain ini, ujar Gamawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak bisa memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki hubungan darah. “Atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan,” ujarnya.

Diharapkan dia, desain yang ada dalam RUU Pilkada itu mampu menciptakan suatu postur birokrasi yang netral yang bebas dari tekanan penguasa petana (incumbent).

Menurut Gamawan, pelaksanaan demokrasi secara universal identik dengan konsep persamaan derajat di dalam kompetisi politik yang bebas kecurangan. Demokrasi butuh proteksi yang diistilahkan dengan afirmasi kebijakan atau affirmative action.

“Karena demokrasi tanpa affirmative action hanya akan terjebak dalam lingkaran liberalistis yang melanggengkan suatu kekuasaan yang memiliki kuasa atas sumber kekuatan politik maupun finansial,” paparnya.

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas. Namun, praktik politik dinasti yang membuat mandeknya sistem kaderisasi tak hanya terjadi di pilkada. (sam/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/