Manufacturing Hope 40
Ini kisah tentang seorang pemimpin baru. Pemimpin yang levelnya kelas menengah, sehingga bisa kena petir dari atas dan kena bara dari bawah.
Ini kisah seorang pemimpin kelas menengah yang dalam posisinya yang tanggung, harus melakukan pembenahan, perombakan, dan perbaikan.
Ini kisah seseorang yang sebenarnya hanya manajer. Tapi, karena tindakannya, jadilah dia seorang pemimpin.
Kisah ini bermula dari krisis keadaan.
Tentu masih ingat keruwetan tiga bulan lalu. Keruwetan di pelabuhan penyeberangan Merak. Banyak kapal feri rusak. Dermaga tidak kunjung selesai diperbaiki. “Petruk” ada di mana-mana.
Antrean mobil yang hendak menyeberang ke Sumatera mengular kobra. Bahkan, sampai ke jalan tol. Berkilo-kilometer. Berhari-hari. Ruwet. Kisruh.
Banyak yang pesimistis keadaan bisa segera diurai. Padahal, tidak lama lagi musim mudik Lebaran tiba. Alangkah amburadulnya mudik Lebaran itu nanti.
Menteri Perhubungan, Pak Mangindaan, beserta seluruh jajarannya, sampai harus terjun ke lapangan. Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Danang S. Baskoro, turun tangan langsung. Kami (Kemenhub + Kementerian BUMN) sepakat mengatasi bersama tanpa saling melempar tanggung jawab.
Rakyat tentu tidak mau tahu siapa punya tugas apa. Rakyat tahunya hanya satu: pemerintah.
Kami pun sepakat bersama-sama memberikan dukungan pada ASDP. Bukan hanya untuk mengurai keruwetan hari itu, tapi sekaligus mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang di hari yang lebih krusial: mudik Lebaran. Bayangkan kalau keruwetan itu berlanjut ke hari Lebaran. Alangkah marahnya pengguna jasa penyeberangan.
Direksi ASDP sampai pada kesimpulan: harus ada pemimpin baru di Merak. Persoalan di Merak sudah menggurita, sehingga tambal sulam akan kalah oleh gurita persoalan. Direksi ASDP memilih satu nama ini: Supriyanto.
Dia dinilai berhasil membenahi penyeberangan Gilimanuk-Banyuwangi. Kali ini dia ditugasi membenahi Merak.
Karir Supriyanto di ASDP cukup panjang. Bahkan berliku. Dia pernah sakit hati lantaran jadi korban gurita di masa lalu. Dia dibuang ke Kalbar dengan level turun tiga tingkat.
Tapi, dia tumpahkan sakit hatinya pada pekerjaan. Dia buat penyeberangan di Kalbar dari rugi menjadi untung. Dalam waktu hanya enam bulan. Tentu banyak yang tidak senang. Terutama yang kehilangan obyekan. Dia pun tidak peduli dengan ancaman: santet maupun parang.
Apa yang pertama dia lakukan saat diterjunkan ke Merak yang begitu ruwet” Pelajaran apa yang bisa diberikan kepada jajaran manajemen tingkat menengah di semua BUMN?
“Saya awali tugas di Merak dengan mengambil alih apel pada setiap pergantian regu. Tujuh hari berturut-turut,” jelasnya. Apel ini wajib diikuti oleh semua karyawan/wati organik, outsourcing, security, dan cleaning service.
“Saya sampaikan bila mereka melakukan penyimpangan, saya tidak segan-segan memberikan sanksi,” katanya. Dia pernah menskors 33 orang yang membandel di Ketapang.
Tentu seluruh direksi ASDP juga terjun ke Merak lebih intensif. Demikian juga pengawasan dari Kemenhub. Mulai menteri, wakil menteri, sampai direktur jenderal.
Tapi, tanpa komandan lapangan yang tangguh sulit membayangkan bisa dilakukan pembenahan keadaan yang begitu ruwet.
Alhamdulillah, sejak 11 Juni 2012 antrean truk yang biasanya mengular panjang sampai di jalan tol tidak terjadi lagi.
Tapi, di balik itu bukan tidak ada cerita. Misalnya, kisah dipotongnya atap loket nomor 4 dan 5.
Di masa lalu, untuk memotong atap seperti itu tentu saja diperlukan proses keputusan yang panjang. Usul harus diajukan, dianggarkan, dan dibahas. Belum tentu pula disetujui. Padahal, yang membahas dan yang harus menyetujui belum tentu merasakan dampak atap itu pada kelancaran arus kendaraan. Hanya yang sehari-hari di situlah yang lebih tahu.
Supriyanto langsung ambil risiko: dia potong atap loket nomor 4 dan 5 itu. Hasilnya, truk bisa dilayani di dua loket itu.
Sungguh sepele, tapi selama ini dibuat ruwet. Di masa lalu tindakan manajer seperti ini bisa disalahkan. Bisa dianggap melanggar prosedur. Bahkan, bisa dipakai alasan untuk menyingkirkannya!
Sebagai orang lama ASDP, Supriyanto paham benar ini: untuk mendapatkan persetujuan tidaklah mudah. Maka, untuk yang satu ini pun dia tidak menunggu persetujuan: menambal sendiri jalan masuk yang berlubang-lubang. Jalan yang berlubang dia lihat menjadi salah satu penyebab macetnya antrean truk di Merak.
Lihatlah: memotong atap dan menambal jalan berlubang. Alangkah dianggap sepelenya problem seperti ini dalam sebuah manajemen.
Supriyanto juga memutuskan sendiri pembuatan cainstein (beton pemisah) jalur keluar dari side ramp Dermaga III dan MB Dermaga II. Ini agar antrean tertata rapi. Jika tetap menggunakan barier gate seperti selama itu, truk sering bersenggolan dan terjadilah keruwetan.
Tentu tidak mudah jalan bagi pemimpin baru yang banyak action seperti itu. Apalagi saat dia sampai pada kesimpulan harus mengganti manajer operasi. Penentangan pun datang dari atas dan bawah. Dari luar dan dari dalam. Tidak hanya penentangan, tapi juga ancaman. Tapi, Supriyanto tetap melantik Nana Sutisna sebagai manajer operasi yang baru.
Dengan tim baru Supriyanto mulai membenahi jantung persoalan. Dia sangat tahu, Merak adalah penyeberangan yang banyak pungli, semrawut, kotor, dan kumuh.
Lebih parah lagi, pengaturan muatan kapal sebenarnya dikendalikan oleh orang luar! Di Merak mereka biasa disebut petruk (pengurus truk). Petruklah yang dengan leluasa berlalu lalang keluar masuk pelabuhan melalui toll gate dengan menggunakan sepeda motor.
Petruk naik motor! Tidak ada yang berani melarang. Kesannya Merak ini tidak memiliki aturan.
“Saya memiliki rasa optimistis dan keyakinan yang kuat bahwa Merak dalam satu tahun menjadi yang terbaik di Indonesia,” ujar Danang S. Baskoro, yang bangga kepada anak buahnya itu.
Danang sendiri terjun langsung di Merak selama Lebaran. Tapi, kini dia disertai komandan lapangan yang lebih bisa diandalkan.
Maka, kalau selama mudik Lebaran tahun ini Merak banyak dipuji orang, pembenahan mendasar memang dilakukan di sana. Direksi ASDP Indonesia Ferry sedang menyiapkan yang lebih besar lagi untuk kebanggaan baru di Merak. (*)