Memandang gerimis dari beranda rumah saat petang mungkin menjadi keindahan tersendiri bagi sebagian orang. Apalagi, prosesi itu ditemani secangkir kopi dan beberapa potong gorengan. Untuk penimat tembakau, asap yang mengepul yang keluar dari mulut dan hidung akan menjadikannya makin afdol.
Dan, saya tak lagi pernah menikmati itu.
Lima tahun yang lalu semua masih bisa dirasa. Di sana, di tempat yang begitu menyediakan waktu untuk memikirkan sesuatu yang mungkin tak dipikirkan orang lain. Ya, di kamar kos yang memiliki beranda, saya memang selalu menunggu gerimis pada petang. Saya akan bersorak. Saya akan berlari mencari kopi panas, tembakau, dan beberapa potong gorengan. Lalu, saya patenkan posisi di sebuah kursi mungil di beranda kos yang juga kecil. Pandangan pun mulai beredar, memandang pekarangan kos yang luas. Pun mata mulai menghitung, butir-butir air yang jatuh dari langit; menghitungnya hingga mata meredup. Sembari itu, dingin petang saya nikmati; sejuk yang kadang bisa menggelitik tulang. Lalu, setelah gerimis pergi, saya akan menuju komputer saya. Sebuah cerita pendek tercipta. Aliran rupiah pun masuk ke kantung saya beberapa waktu kemudian.
Dan, saya rindu itu.
Kini, di Medan, di rumah yang memiliki beranda tapi tak memilki pandangan luas, saya hanya bisa mengelus dada. Beranda rumah kontrakan saya luas, namun jarak beranda dan rumah tetangga di depan cukup rapat, hanya terpisah gang kecil yang lebarnya tak lebih dari satu setengah meter. Belum lagi jam kerja yang menuntut saya untuk tidak menikmati petang yang menawan.
Sejatinya bukan salah pekerjaan, tapi salah saya untuk mencari nikmat. Seperti kata orang bijak, selalu ada tempat bagi mereka yang ingin berbuat; selalu ada waktu bagi mereka yang mau berpeluh. Maka, saya di sini adalah orang yang hanya menunggu. Menanti sesuatu kembali tanpa berbuat.
Dan, kesedihan ini makin terasa ketika Medan terus diguyur hujan saat petang. Bukan gerimis, tapi hujan deras yang diwarnai kilat dan diramaikan petir. Sesuatu yang sebelumnya saya benci. Hujan deras dan petir serta kilat adalah momok bagi saya. Di kota sebelunya, ketika masih kos dan masih lajang, saya pasti akan sembunyi dalam kamar ketika hujan, petir, dan kilat datang. Saya memaki. Saya tidak bisa menonton televisi. Saya tidak bisa tenang menulis. Dan saya tidak memiliki teman untuk berbagi, mereka terjebak di rumah mereka masing-masing. Hujan deras memang menghentikan langkah. Hujan deras memutus semangat.
Tapi di Medan, setelah tak bisa lagi saya nikmati petang yang menawan, hujan deras malah menunjukkan indahnya. Ya, dalam satu hari pada petang lalu, saya terjebak hujan deras. Saat itu saya memaki karea lupa membawa jas hujan. Saat itu saya marah karena harus menepi; berteduh di sebuah toko yang tutup di kawasan Simpang Limun. Di bawah kanopi toko itu saya sendiri. Memarkirkan Lena (sepeda motor saya). Saya pun jongkok. Memandang hujan deras yang butirnya sangat sulit dihitung. Tembakau saya bakar. Dan saat itulah, hujan deras tiba-tiba memberikan pemandangan yang berbeda: bisa dikatakan kalau saya menikmatinya.
Ceritanya, ketika isapan keempat dari tembakau yang dibakar, saya baru sadar kalau jalanan di depan saya sudah bak sungai. Air tergenang. Air sibuk mencari tempat yang lebih rendah. Terlihat kalau air itu bingung, sisi rendah sulit ditemukan. Sisi kanan jalan tinggi. Sisi kiri juga tinggi. Tak pelak, air seakan terkepung. Pasrah. Bak prajurit di medan tempur, dia berada di tengah-tengah, kiri kanan depan belakang ada barisan musuh. Prajurit itu butuh keajaiban agar bisa selamat dan bisa berbagi lagi pada keluarga mereka di rumah.
Begitulah, air yang tergenang, hujan deras dan beberapa kali kilat serta petir ternyata menjadi suasana yang menawan juga. Apalagi ketika ada sebuah mobil yang melaju cepat – mungkin takut mesinnya padam – mencipratkan air ke tepian hingga mengenai pejalan kaki yang berpayung.
“Kurang ajar! Jangan mentang-mentang orang kaya jadi sok!” begitu teriakan sang pejalan kaki ketika celananya kuyup.
Teriakannya pun lenyap ditelan suara petir yang tiba-tiba membahana. Pejalan kaki itu terkejut. Dia menutup telinga. Payungnya terlepas. Dia makin marah. Dia makin basah. “Woi orang kaya, ingat kau, mati kau lewat di sini!” teriaknya lagi.
Saya tertawa melihat adegan itu. Petir yang membuatnya tambah kuyup, kok pengendaramobil yang disalahkan?
Pejalan kaki itu melihat saya. Matanya masih menunjukkan sinar kemarahan. Dia mendatangi saya. Saya serba salah. Ayolah, bukan rahasia lagi kalau ada orang yang suka mencari kambing hitam bukan. Untuk kasus ini bisa saja saya akan akan kena getahnya. Untuk mendaprat pengendara mobil adalah tidak mungkin, mobil itu telah melaju jauh. Untuk protes pada Tuhan karena menciptakan petir hingga payungnya terlepas dari pegangan juga tidak mungkin. Maka, saya yang terlanjur tertawa adalah sasaran empuk bukan?
Beruntung, lelaki berpayung yang kuyup itu ternyata tidak mendaprat saya karena tertawa. Dia meminta rokok. Maka, saya dan dia pun jongkok sambil merokok sembari memandang hujan dan genangan air. “Lihat Bang, banjir ini, kalau paritnya betul, pasti gak akan terjadi kan?” katanya begitu isapan kedua dia keluarkan dari hidung.
Saya mengangguk. Saya tertawa dalam hati mengingat ketakutan kena damprat tadi.
“Percuma proyek-proyek penggalian parit, ‘gak maksimalnya juga,” tambahnya.
Saya mengangguk-angguk. Kali ini malah anggukan yang mantap; berulang-ulang dan sangat ketara gerak ke atas dan ke bawahnya.
“Parah kali Medan ini, setiap hujan pasti banjir. Kalau yang punya mobil enak, kalau kayak kita ini?” dia terus merepet.
Saya tak mengangguk. Saya tersenyum. “Tapi macet, Bang, punya mobil repot,” balas saya.
Lelaki itu memandang saya. “Tapi dia tidak kebasahan kayak saya ini dan kayak kau yang harus berteduh,” balasnya.
Saya tertawa. Dia tertawa. Dia tampaknya mulai lupa dengan amarahnya tadi. Ya, dia malah menertawakan kekuyupannya.
Lalu, kami pun berbagi cerita, mulai dari keadaan Kota Medan hingga hal-hal yang lumayan pribadi. “Rumahku dekat sini, mau beli mie rebus untuk istri. Lagi hamil muda dia. Payah kali kalau perempuan ngidam ini. Harus aku yang beli. Padahal anakku yang besar sudah mau belikan, tapai mamaknya tak mau. Harus aku yang beli. Jadi lelaki bepayunglah aku,” urainya.
Saya tertawa keras. Ya, memang pemandangan yang lucu ada lekaki berpayung di Kota Medan ini bukan?
Lima batang rokok habis kami isap; semuanya rokok saya. Lelaki itu mengisapa dua batang dan saya tiga batang. Hujan mulai tak lagi deras. Dengan mengandalkan jaket, saya yakin tidak akan kuyup sampai kantor. Sya harus tinggalkan lelaki itu. Jam kerja sudah menunggu. Hari pun sudah mulai gelap.
Dalam perjalanan menuju kantor saya mulai berpikir: lucu juga saat hujan deras di Kota Medan ini. Banyak cerita yang sejatinya nikmat diserap kepala. Ya, meski tidak di beranda dengan gerimis dan secangkir kopi panas. Ya, meski tidak menjadi cerita pendek yang saya olah sedemikian rupa agar bisa dijual di media-media.
Ah, saya rindu menulis cerita pendek. (*)