Dalam dua pekan terakhir, setumpuk cerita masuk ke kotak surat eletronik atawa surel saya. Sesaat kemudian, masuk pesan pendek atau sandek alias SMS ke telepon seluler (ponsel) saya. Isinya: tolong edit ceritaku ya…. Wow, dapat job neh, begitu isi otak saya berteriak. Maka, saya pun membuka surel tadi. Ada tujuh cerita yang dilampirkan. Hm, cuma tujuh, gampanglah.
Artinya, kerja sampingan itu, tak akan merusak jadwal kerja utama saya. Maka, langsung saja saya unduh lampiran itu dan menyimpannya di ponsel saya yang pintar tanpa melihat isi lampiran tersebut.
Sesampai di rumah, sekira pukul setengah tiga dini hari (jadwal tetap saya pulang kantor), langsung saya garap kerja sampingan itu. Dalam otak saya, sekali duduk, kerjaan itu akan selesai. Ayolah, saya pernah mengedit empat tesis mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada untuk dijadikan buku dalam dua minggu. Jadi, tujuh cerita dalam satu hari bisa dikatakan gampang bukan? Pun, saya pernah mengedit buku pengetahuan populer tentang klub sepak bola Manchester United dalam lima hari. Jadi, sekali lagi, tujuh cerita bukan pekerjaan sulit bukan?
Sayangnya, pikiran itu salah. Mengedit cerita fiksi ternyata menghambat kecepatan saya. Tujuh cerita yang dikirimkan kawan itu membuat saya terjaga. Bergeming. Tak bisa acuh tak acuh. Sepertinya saya tertawan di depan layar komputer. Tak ada satu pun huruf atau kata atau kalimat atau paragraf yang tersentuh. Pikiran saya mati. Saya tak bisa langsung mengedit cerita itu. Fiuh.
Empat batang rokok habis terhisap. Asap mengepul. Dan, saya tetap memandang layar komputer tanpa sempat menekan papan ketik. Entahlah, saya merasa tak tega ‘memperkosa’ cerita itu. Sangat berbeda ketika saya menghadapi tumpukan tesis atau naskah Manchester United. Ini fiksi, ada tataran yang tak bisa saya campuri. Ya, ini karya murni; tercipta melalui endapan yang panjang dan bukan kutipan literatur yang diubah dengan kalimat sendiri.
Pikiran itulah yang menghambat kerja saya. Sekian menit, bahkan jam, saya berkutat dengan kata; tega atau tidak tega. Ya, seperti kata Arifin C Noor saat Bersihar Lubis minta izin mementaskan naskah dramanya di Medan sekian tahun lalu, dia berpesan agar karyanya digarap dengan baik. Dan, dia berkata pada Bersihar: karya adalah anak bagi saya. Artinya, kita tak bisa macam-macam dengan karya orang lain. Nah, hal itulah yang membuat saya terhenti untuk mengedit cerita karya Diana Saragih yang akan dijadikan buku dalam bulan ini juga.
Beruntunglah, begitu rokok kelima saya bakar, kesadaran muncul. “Ayo Muram (ini nama saya juga), kamu itu saat ini jadi editor, jadi kamu berhak membuat cerita itu lebih baik lagi!” kata otak saya.
“Kamu kan tahu bagaimana editor ‘Laskar Pelangi’ pontang-panting membenahi karya Andrea Hirata itu?” tambahnya.
Wow…, saya langsung tersenyum. Iya juga, pikir saya. Saya memang harus melepaskan pikiran awal saya. Ya, saat ini saya editor, jadi lepaskan diri sebagai penulis.
Itu dia, sebenarnya kesadaran sebagai penulis fiksi itulah yang menghambat saya. Mengedit cerita orang, berarti menempatkan diri di posisi orang itu. Artinya, gaya cerita saya tidak bisa dimasukkan ke cerita orang itu kan? Artinya, saya harus menyesuaikan gaya penulis itu kan?
Akhirnya, sepekan baru saya selesaikan kerjaan sampingan itu. Melelahkan. Sumpah, kepala saya gatal saat mengedit cerita penulis tersebut. Ada beberapa bagian cerita yang membuat saya harus menenangkan diri. Ini bukan soal tata bahasa atau logika cerita, tapi lebih pada pilihan ending. Ayolah, mana mungkin saya ganti ending cerita yang dibuat kawan itu dengan ending pilihan saya bukan? Itu kan cerita dia, bukan cerita saya. Apalagi, dari dialog saya dengan dia, saya sadar kalau ending yang dia pilih adalah terbaik buat dia.
Ya sudah, saya relakan saja ending pilihannya. Ujung-ujungnya, kepala saya malah mengajak untuk bercerita. Dengan kata lain, tiba-tiba saya juga ingin menulis. Fiuh, pilihan yang sulit. Bagaimana tidak, jika saya ikuti kepala saya, maka dapat dipastikan kerja utama saya akan terganggu. Hitung-hitungannya begini: pulang kerja pukul setengah tiga pagi, lalu mengedit tulisan Diana sampai pukul enam pagi, setelah itu bantui istri ngurus anak, pukul sembilan pagi saya baru tidur, dan pukul setengah empat sore saya harus sudah ada di kantor lagi. Nah, kapan saya nulis cerita saya? Jika saya paksakan, maka jam tidur yang harus dikorbankan. Dan, untuk mengorbankan jam tidur adalah pekerjaan berat. Pasalnya, bagaimana kerjaan saya di kantor kalau saya tak tidur? Bisa hancur badan ini kan?
Begitulah, akhirnya saya biarkan keinginan kepala saya. Saya edit saja tulisan kawan tadi. Maksud saya, setelah selesai, baru saya akan menulis cerita.
Tapi, rencana tetap rencana. Sepekan setelah pekerjaan sampingan itu selesai, cerita saya belum juga selesai. Bagaimana tidak, hingga hari ini saya malah belum menghidupkan lagi komputer saya. Ha ha ha.
Sudahlah…, intinya cerita memang selalu membuat saya terjaga; entah kalau orang lain. Terlepas cerita itu bagus atau tidak, rangsangan dari cerita yang saya baca atau dengar bisa menghilangkan waktu. Tidak percaya? Percaya sajalah. Selesai. (*)