27 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Amerika Latin Paling Bahagia, Singapura Paling Menderita

Hasil Survei Tingkat Kebahagiaan Penduduk di Dunia

Tidak selamanya kekayaan menjadi ukuran kebahagiaan. Tinggal di Qatar yang kaya raya atau Singapura yang serba-canggih tidak otomatis membuat individu merasa bahagia. Setidaknya demikianlah hasil survei Gallup Inc. terhadap sekitar seribu penduduk sekitar 148 negara di dunia.

KONTRAS: Warga Brazil merayakan karnaval  jalanan kota Rio De Janeiro (atas), sementara warga Singapura bergegas kerja. Kehidupan dua kota ini sangat kontras.//google.com
KONTRAS: Warga Brazil merayakan karnaval di jalanan kota Rio De Janeiro (atas), sementara warga Singapura bergegas kerja. Kehidupan dua kota ini sangat kontras.//google.com

RABU lalu (19/12) Gallup Inc. merilis hasil surveinya tentang masyarakat paling bahagia di dunia. Di luar dugaan masyarakat Amerika Latin yang mendominasi sepuluh peringkat teratas. Yang lebih mengejutkan, negara-negara tersebut bukanlah negara kaya atau negara sukses. Tujuh di antara sepuluh negara yang masuk dalam peringkat teratas justru tercatat sebagai negara miskin.

Salah satu negara yang bertengger pada peringkat sepuluh besar adalah Guatemala. “Guatemala menduduki peringkat ketujuh,” terang Associated Press mengutip dokumen resmi Gallup Inc.

Padahal, negara bekas koloni Spanyol itu tidak pernah sepi dari aksi kejahatan, khususnya pembunuhan. Selama beberapa dekade, Guatemala juga terjebak dalam perang sipil yang sampai sekarang masih memantik banyak konflik.
Tetapi, masyarakat Guatemala tampaknya tidak peduli dengan masalah yang membelit negaranya. Mereka punya cara sendiri untuk bahagia. “Di Guatemala, sudah menjadi budaya bahwa orang yang ramah selalu tersenyum,” tutur Luz Castillo. Pemuda 30 tahun yang berprofesi sebagai instruktur selancar itu memilih untuk mensyukuri keindahan alam Guatemala daripada mengeluhkan kondisi sosial ekonominya.

Dalam surveinya, Gallup Inc. mengukur kebahagiaan sebuah negara dari perilaku warganya. Jika warga suatu negara hidup dengan damai dan saling menghormati serta suka tersenyum, lembaga yang berkantor pusat di Kota Washington, Amerika Serikat (AS), itu menganggapnya sebagai masyarakat bahagia. Sebaliknya, jika penduduk satu negara jarang berinteraksi, masyarakat tersebut dianggap tidak bahagia.

Gallup Inc. menggunakan lima parameter untuk mengukur kadar bahagia masyarakat suatu negara. Dua hal yang paling penting adalah penduduk negara tersebut memiliki cukup waktu istirahat dan merasa diperlakukan dengan baik. Tiga parameter lainnya adalah frekuensi tersenyum atau tertawa, seringnya warga melakukan hal-hal yang menyenangkan, dan menikmati hari yang telah berlalu.

Terhadap lima pertanyaan itu, mayoritas penduduk Panama dan Paraguay menjawab ya. Artinya, mereka merasa bahagia dengan kondisi yang sekarang dialami. Sebanyak 85 persen warga Panama dan Paraguay mengaku bahagia tinggal di negara mereka. Setelah Panama dan Paraguay, ada El Salvador, Venezuela, Trinidad Tobago, Thailand, Guatemala, Filipina, Ekuador dan Kostarika.

Berkebalikan dengan masyarakat Panama dan Paraguay yang menikmati hidup mereka dengan bahagia, warga Singapura justru tercatat sebagai penduduk yang paling tidak bahagia. Padahal, negara maju di kawasan Asia Tenggara itu memiliki banyak fasilitas yang bisa membuat masyarakatnya merasa bahagia. Tidak hanya kaya, Singapura pun tercatat sebagai negara yang bersih, tertib, dan modern.

Hanya 46 persen penduduk Singapura yang menjawab “ya” pada lima pertanyaan inti Gallup Inc. Angka tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan Syria yang 60 persen warganya mengaku bahagia meski negara mereka terjerat krisis. Tetapi, bukanlah hal baru bagi masyarakat Singapura jika mereka dicap sebagai warga negara yang tidak bahagia.

Secara terpisah, Eduardo Lora, pakar dari Amerika Latin menganggap hasil survei Gallup Inc. bias. Menurut Lora, hasil survei itu tak bisa menjadi acuan pasti mengenai arti bahagia. “Survei tersebut terkait dengan budaya. Ada beberapa negara yang masyarakatnya cenderung memberikan jawaban positif karena pengaruh budaya mereka,” papar mantan ekonom Inter-American Development Bank itu. (ap/cnn/jpnn)

Hasil Survei Tingkat Kebahagiaan Penduduk di Dunia

Tidak selamanya kekayaan menjadi ukuran kebahagiaan. Tinggal di Qatar yang kaya raya atau Singapura yang serba-canggih tidak otomatis membuat individu merasa bahagia. Setidaknya demikianlah hasil survei Gallup Inc. terhadap sekitar seribu penduduk sekitar 148 negara di dunia.

KONTRAS: Warga Brazil merayakan karnaval  jalanan kota Rio De Janeiro (atas), sementara warga Singapura bergegas kerja. Kehidupan dua kota ini sangat kontras.//google.com
KONTRAS: Warga Brazil merayakan karnaval di jalanan kota Rio De Janeiro (atas), sementara warga Singapura bergegas kerja. Kehidupan dua kota ini sangat kontras.//google.com

RABU lalu (19/12) Gallup Inc. merilis hasil surveinya tentang masyarakat paling bahagia di dunia. Di luar dugaan masyarakat Amerika Latin yang mendominasi sepuluh peringkat teratas. Yang lebih mengejutkan, negara-negara tersebut bukanlah negara kaya atau negara sukses. Tujuh di antara sepuluh negara yang masuk dalam peringkat teratas justru tercatat sebagai negara miskin.

Salah satu negara yang bertengger pada peringkat sepuluh besar adalah Guatemala. “Guatemala menduduki peringkat ketujuh,” terang Associated Press mengutip dokumen resmi Gallup Inc.

Padahal, negara bekas koloni Spanyol itu tidak pernah sepi dari aksi kejahatan, khususnya pembunuhan. Selama beberapa dekade, Guatemala juga terjebak dalam perang sipil yang sampai sekarang masih memantik banyak konflik.
Tetapi, masyarakat Guatemala tampaknya tidak peduli dengan masalah yang membelit negaranya. Mereka punya cara sendiri untuk bahagia. “Di Guatemala, sudah menjadi budaya bahwa orang yang ramah selalu tersenyum,” tutur Luz Castillo. Pemuda 30 tahun yang berprofesi sebagai instruktur selancar itu memilih untuk mensyukuri keindahan alam Guatemala daripada mengeluhkan kondisi sosial ekonominya.

Dalam surveinya, Gallup Inc. mengukur kebahagiaan sebuah negara dari perilaku warganya. Jika warga suatu negara hidup dengan damai dan saling menghormati serta suka tersenyum, lembaga yang berkantor pusat di Kota Washington, Amerika Serikat (AS), itu menganggapnya sebagai masyarakat bahagia. Sebaliknya, jika penduduk satu negara jarang berinteraksi, masyarakat tersebut dianggap tidak bahagia.

Gallup Inc. menggunakan lima parameter untuk mengukur kadar bahagia masyarakat suatu negara. Dua hal yang paling penting adalah penduduk negara tersebut memiliki cukup waktu istirahat dan merasa diperlakukan dengan baik. Tiga parameter lainnya adalah frekuensi tersenyum atau tertawa, seringnya warga melakukan hal-hal yang menyenangkan, dan menikmati hari yang telah berlalu.

Terhadap lima pertanyaan itu, mayoritas penduduk Panama dan Paraguay menjawab ya. Artinya, mereka merasa bahagia dengan kondisi yang sekarang dialami. Sebanyak 85 persen warga Panama dan Paraguay mengaku bahagia tinggal di negara mereka. Setelah Panama dan Paraguay, ada El Salvador, Venezuela, Trinidad Tobago, Thailand, Guatemala, Filipina, Ekuador dan Kostarika.

Berkebalikan dengan masyarakat Panama dan Paraguay yang menikmati hidup mereka dengan bahagia, warga Singapura justru tercatat sebagai penduduk yang paling tidak bahagia. Padahal, negara maju di kawasan Asia Tenggara itu memiliki banyak fasilitas yang bisa membuat masyarakatnya merasa bahagia. Tidak hanya kaya, Singapura pun tercatat sebagai negara yang bersih, tertib, dan modern.

Hanya 46 persen penduduk Singapura yang menjawab “ya” pada lima pertanyaan inti Gallup Inc. Angka tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan Syria yang 60 persen warganya mengaku bahagia meski negara mereka terjerat krisis. Tetapi, bukanlah hal baru bagi masyarakat Singapura jika mereka dicap sebagai warga negara yang tidak bahagia.

Secara terpisah, Eduardo Lora, pakar dari Amerika Latin menganggap hasil survei Gallup Inc. bias. Menurut Lora, hasil survei itu tak bisa menjadi acuan pasti mengenai arti bahagia. “Survei tersebut terkait dengan budaya. Ada beberapa negara yang masyarakatnya cenderung memberikan jawaban positif karena pengaruh budaya mereka,” papar mantan ekonom Inter-American Development Bank itu. (ap/cnn/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/