26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Rintis Studio Rekaman 90 Track

Gaza Renato Gibran Nainggolan

Berawal dari kecintaan terhadap dunia musik, lelaki muda ini memutuskan mendalami sekolah audio di Singapura. Dari sinilah dia bercita-cita mendirikan studio rekaman, dan harapan itu terwujud sudah.

Ya, demi menuntaskan obsesinya, Gaza mengawinkan ilmu audio yang direguknya di School of Audio Engineering (SAE) Singapura dengan kecanggihan perangkat digital yang bisa menembus hingga 90 track. Dalam dunia rekaman jumlah track ini tentulah amat mengagumkan. Artinya 90 jenis sound atau suara instrumen bisa masuk dalam satu lagu yang produksi akhirnya bisa didengarkan lewat compact disc (CD).

Banyak persiapan yang dilakukan Gaza sebelum studio rekaman ini dinyatakan selesai akhir pekan silam. Salah satunya mendatangkan perangkat yang sebagian harus dipesan dari luar negeri. ‘’Ada juga yang dipesan dari Jakarta. Tapi tak semuanya bisa diperoleh. Sebagian saya order dari luar, ya, terpaksa sabar menunggu barangnya datang,’’ ujar Gaza.

Dia mengaku tak mau tanggung-tanggung membangun studio rekaman. Apalagi ilmu audio yang diperolehnya membuat dia harus idealis dalam menciptakan studio yang berstandar internasional. ‘’Minimal mendekati,’’ katanya.
Semenjak duduk di bangku SMP, Gaza memang sudah membentuk band bersama rekan-rekan sekolahnya. Kecintaannya bermain band ini terus berlanjut hingga dia lulus SMA. Tak kurang dari 5 band dengan nama dan formasi berbeda-beda sudah didirikannya. Alirannya mengikuti keinginan pasar anak muda yang tren ketika itu, dari mulai grunge, hard core,  hingga alternative. ‘’Sulit rasanya melepaskan musik dari kepala saya,’’ katanya saat mengajak Sumut Pos berkeliling di studio rekaman miliknya di Jalan Ksatria No 21 Gaperta, Medan.

Bagi penyandang titel Diploma of Audio Enegineer (DAE) ini cukup banyak impian yang ingin dibangunnya bersama anak-anak band di Kota Medan. Gaza mengaku agak obsesif soal ini. Sebabnya, dia melihat Medan adalah salah satu barometer musik di tanah air selain Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sayang,  jarang sekali band asal Medan yang bisa menembus industri musik nasional. ‘’Jakarta atau Bandung sudah lama jadi barometer, tapi bukan berarti Medan tidak bisa eksis sebagai alternatif. Kita bisa hadir sebagai kompetitor baru, asalkan banyak medium yang menghidupkannya,’’ ujar Gaza.

Selain even, studio rekaman yang memadai adalah jalan lain menapak kompetisi yang lebih hidup dalam industri musik. ‘’Demo band baru yang di-sounding di radio itu kan harus diproduksi studio rekaman. Kalau rekamannya jelek, lagu sebagus apapun akan hilang begitu saja,’’ katanya.

Nah, dari demo ini pula banyak lahir musisi atau band asal daerah yang berkiprah di pasar musik nasional. ‘’Saya tak mau band-band yang bagus sebatas rekaman saja, tapi kita bantu pasarkan kepada pemilik major label,’’ dia menambahkan.

Saat diminta menunjukkan perangkat rekamannya, Gaza begitu fasih menjelaskan secara detil. Dia misalnya, menunjukkan komputer merek Apple sebagai mesin pintar yang mengedit berbagai suara instrumen dari mixer di Studio 1.  Kini, boleh dibilang Ganagi Recording Studio miliknya merupakan studio rekaman tercanggih di Medan. ‘’Ganagi’’ diambil dari akronim namanya Gaza Renato Gibran. ‘’Ganagi tak cuma menjadi studio rekaman, tapi juga mampu memproduseri band atau musisi berkualitas di Sumut. Saya yakin bisa,’’ pungkas putera bungsu mantan Sekdaprovsu DR RE Nainggolan ini. (jul)

Gaza Renato Gibran Nainggolan

Berawal dari kecintaan terhadap dunia musik, lelaki muda ini memutuskan mendalami sekolah audio di Singapura. Dari sinilah dia bercita-cita mendirikan studio rekaman, dan harapan itu terwujud sudah.

Ya, demi menuntaskan obsesinya, Gaza mengawinkan ilmu audio yang direguknya di School of Audio Engineering (SAE) Singapura dengan kecanggihan perangkat digital yang bisa menembus hingga 90 track. Dalam dunia rekaman jumlah track ini tentulah amat mengagumkan. Artinya 90 jenis sound atau suara instrumen bisa masuk dalam satu lagu yang produksi akhirnya bisa didengarkan lewat compact disc (CD).

Banyak persiapan yang dilakukan Gaza sebelum studio rekaman ini dinyatakan selesai akhir pekan silam. Salah satunya mendatangkan perangkat yang sebagian harus dipesan dari luar negeri. ‘’Ada juga yang dipesan dari Jakarta. Tapi tak semuanya bisa diperoleh. Sebagian saya order dari luar, ya, terpaksa sabar menunggu barangnya datang,’’ ujar Gaza.

Dia mengaku tak mau tanggung-tanggung membangun studio rekaman. Apalagi ilmu audio yang diperolehnya membuat dia harus idealis dalam menciptakan studio yang berstandar internasional. ‘’Minimal mendekati,’’ katanya.
Semenjak duduk di bangku SMP, Gaza memang sudah membentuk band bersama rekan-rekan sekolahnya. Kecintaannya bermain band ini terus berlanjut hingga dia lulus SMA. Tak kurang dari 5 band dengan nama dan formasi berbeda-beda sudah didirikannya. Alirannya mengikuti keinginan pasar anak muda yang tren ketika itu, dari mulai grunge, hard core,  hingga alternative. ‘’Sulit rasanya melepaskan musik dari kepala saya,’’ katanya saat mengajak Sumut Pos berkeliling di studio rekaman miliknya di Jalan Ksatria No 21 Gaperta, Medan.

Bagi penyandang titel Diploma of Audio Enegineer (DAE) ini cukup banyak impian yang ingin dibangunnya bersama anak-anak band di Kota Medan. Gaza mengaku agak obsesif soal ini. Sebabnya, dia melihat Medan adalah salah satu barometer musik di tanah air selain Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sayang,  jarang sekali band asal Medan yang bisa menembus industri musik nasional. ‘’Jakarta atau Bandung sudah lama jadi barometer, tapi bukan berarti Medan tidak bisa eksis sebagai alternatif. Kita bisa hadir sebagai kompetitor baru, asalkan banyak medium yang menghidupkannya,’’ ujar Gaza.

Selain even, studio rekaman yang memadai adalah jalan lain menapak kompetisi yang lebih hidup dalam industri musik. ‘’Demo band baru yang di-sounding di radio itu kan harus diproduksi studio rekaman. Kalau rekamannya jelek, lagu sebagus apapun akan hilang begitu saja,’’ katanya.

Nah, dari demo ini pula banyak lahir musisi atau band asal daerah yang berkiprah di pasar musik nasional. ‘’Saya tak mau band-band yang bagus sebatas rekaman saja, tapi kita bantu pasarkan kepada pemilik major label,’’ dia menambahkan.

Saat diminta menunjukkan perangkat rekamannya, Gaza begitu fasih menjelaskan secara detil. Dia misalnya, menunjukkan komputer merek Apple sebagai mesin pintar yang mengedit berbagai suara instrumen dari mixer di Studio 1.  Kini, boleh dibilang Ganagi Recording Studio miliknya merupakan studio rekaman tercanggih di Medan. ‘’Ganagi’’ diambil dari akronim namanya Gaza Renato Gibran. ‘’Ganagi tak cuma menjadi studio rekaman, tapi juga mampu memproduseri band atau musisi berkualitas di Sumut. Saya yakin bisa,’’ pungkas putera bungsu mantan Sekdaprovsu DR RE Nainggolan ini. (jul)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/