25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Konspirasi

Saat engkau sendiri, jangan sekali-kali merindukan bulan di kala hujan, lantas berharap seorang bidadari datang membawa kabar suka dari padang perburuan. Jangan, cukup pesan secangkir kopi hangat untukmu, lalu duduklah manis di bangku panjang itu sambil mengisap rokok kretek beraroma cengkeh, menikmati gerimis malam sisa hujan sore tadi. Ya, bersikaplah seperti orang-orang itu yang membiarkan kedua kaki mereka terjuntai ke lantai yang tergenang luberan air selokan, tanpa sedikitpun merasa cemas kaki-kaki mereka akan terluka.

Cerpen  Hasudungan Rudy Yanto Sitohang

“Bencana ini tidak akan terjadi jika aku terpilih menjadi walikota, bukannya Si Kumis itu! Kalian tahu, aku akan membangun terowongan besar di bawah sana agar banjir sial ini tidak lagi membuat pusing seisi kota,” umpat lelaki berjaket biru kelam itu saat baru tiba, dan tengah berdiri di mulut pintu. Lamunanku buyar seketika. Orang-orang di kedai ini sejenak menghentikan aktivitasnya, beralih melihat lelaki itu, diam-diam. Kehadiran lelaki itu ternyata telah membuat suasana yang tadinya nyaman menjadi penuh gelisah.

Dia, lelaki kurus berwajah tirus yang kulitnya legam diterpa cahaya lampu kedai itu, telah menebar hawa panas dan membuat kedai kopi berlantai tanah ini menjadi gerah. Di keningnya melintang codet bergaris datar. Itu makanya, aku tak ingin berlama-lama menatap wajah lelaki itu. Sedangkan kedua tangannya masih sibuk mengibas-ngibaskan sisa air hujan di rambut dan bajunya. Dari mulutnya tak henti-henti menyembur makian, mengeluarkan kutukan. Lelaki itu mengutuk hujan, juga mengutuk langit yang dirasanya tidak adil karena telah menurunkan hujan tanpa memberitahunya lebih dulu.
“Langit telah menurunkan bencana! Langit akan membunuh kita semua!” teriaknya berkali-kali dengan tangan teracung ke langit, bagai Nabi di tengah lautan biru yang ganas. Pengunjung kedai yang tak seramai biasanya itu-kuperkirakan tak lebih enam orang,- serentak memperbaiki posisi duduknya. Wajah mereka berselimut tegang. Binatang malam terdiam. Semua menunggu petaka yang bakal terjadi lagi hari ini selepas luapan banjir masuk ke dalam kedai.

Tatapannya berhenti di wajahku. Kedua kakiku sedikit gemetar, tapi semakin lama kurasakan semakin kencang, dan meja ini pun ikut bergoyang tidak karuan. Kucoba menahan meja sekuat tenaga sekaligus menahan tekanan yang menyesak di dada. Rasanya udara semakin menghangat di sekitarku. Keningku mulai dijatuhi butir-butir keringat. Astaga!

Monang, begitu lelaki itu dipanggil. Namanya sungguh tak asing di kota ini, nama yang sempat terkenal dan menghiasi koran-koran maupun televisi nasional ketika dia mencoba kabur dari penjara Tanjung Gusta beberapa tahun lalu. Menurut berita, Monang memanjat tembok tebal penjara setinggi 20 meter itu menggunakan sarung teman-temannya satu sel yang dipotongnya panjang, dan kemudian membuatnya sambung-menyambung seperti tali. Monang hanya sendiri, nyaris berhasil.

Sayang, saat dia memotong kawat duri pembatas di bagian luar tembok, dia kepergok petugas. Monang terkepung, tetapi dia tak peduli. Monang berlari menerobos terjangan peluru yang berdesing-desing memangsa tubuhnya. Peluru yang tak bermata, peluru yang saling berkejaran. Dia dan peluru berlomba saling mendahului. Monang berguling-guling di atas jalan beraspal menghindari peluru pencabut nyawa. Lumpur dan darah membasahi bajunya. Monang baru menyerah ketika sebutir peluru menyerempet selangkangannya. Ajaibnya, Monang tidak mati.
***
Mata kami saling beradu. Aku berhadapan dengan sepasang mata yang mampu menilik peluru-peluru yang beterbangan, membuat siapa pun akan kembali berhitung jika ingin menghadapinya. Seperti mata Burung Elang.

Monang segera melangkah ke mejaku, kemudian langsung duduk tanpa basa-basi. Senyumnya mengembang dingin, menusuk ke jantungku paling dalam. Kuperhatikan tubuhnya lekat-lekat. Tak ada yang berubah, masih seperti tujuh tahun silam. Bajunya hitam pudar, celananya pun penuh tambalan yang sebagian jahitannya mulai lepas. Tetapi, wajahnya sekarang ditumbuhi jambang lebat dan kumis yang tak terawat. Seingatku dulu, Monang sangat peduli membersihkan wajahnya saat dia tergila-gila kepada Iyem, janda penjual bensin eceran di simpang jalan Gajah Mada itu. Cintanya tak bersambut. Iyem lebih memilih Legiman, tukang becak yang sering mangkal di samping kios bensinnya. Monang patah hati.

Sungguh tak kusangka, ternyata aku kembali berjumpa dengannya saat aku berusaha menghilangkan bayangannya. Ya, di sinilah tempat kami dulu berbincang dan mendebatkan sesuatu yang selalu berujung pada pertengkaran. Entah itu puisiku atau cerita para pemimpin negeri antah berantah ini. Tapi tunggu! Apakah dia masih menyimpan belati yang gagangnya berukir ular beludak, yang dulu sering dia tunjukkan padaku? Apakah dia masih menyimpan belati itu?

“Masih menulis puisi?” tanyanya lugas.

“Aku sekarang menulis cerita,” sahutku agak pelan. Wajahnya tampak kaget, seolah dari matanya keluar kilatan api yang membakar.
“Cerita?” Monang berseru heran. ”Kau menulis cerita! Sungguh bodoh! Aku tahu penyair kumal sepertimu tak berbakat jadi seorang penulis cerita, “ ucapnya dengan nada sinis, seolah tak percaya. Aku terdiam, berpikir agak lama.

Monang tak sabar menunggu jawabanku. Tangannya seketika menggebrak meja, ”Prakk….” Meja berbunyi seperti batang pohon yang patah. Cangkir di meja menggelinding jatuh ke lantai. Hilang ditelan luberan air berwarna hitam kecoklatan.

Aku terkejut. Pikiranku membuncah. Si Tukang Kedai bergegas datang takut-takut mengambil cangkir itu, membersihkan tumpahan kopi di meja, lantas berlalu dengan cepat ke belakang. Kemarahan Monang tak menyurut. Aku kini terjebak dalam perangkapnya.

Brengsek! Mengapa Monang begitu gusar dengan kebebasanku berkreasi dan tak pernah berhenti menggangguku? Bukankah dia juga merasakan hal serupa ketika dia terkungkung dalam ruang sempit itu, hingga akhirnya mencari kebebasannya sendiri dengan mencoba kabur dari penjara?
***
“Aku juga seorang pembunuh bukan penyair sampah. Ibuku korban pertama yang kubunuh dalam cerita-ceritaku.” Monang terperanjat mendengar ucapanku, tak menduga. Bola matanya melotot seolah ingin keluar dari ceruk matanya. Bagiku tak penting dia percaya atau tidak, apa masuk logikanya atau tidak. Aku hanya berhati-hati agar dia tak lagi menjebakku kedua kalinya, menyeretku ke ujung terdalam di kedua bola matanya. Sebab kilatan itu masih menyala-nyala di sana. Kilatan yang membuat orang-orang takjub, terpesona, dan tanpa sadar masuk dalam perangkapnya.

Monang mengangguk pelan. Kami, seolah dua musuh abadi yang tengah bertarung di arena pembantaian paling berdarah. Pertarungan yang nyaris tidak seimbang. Tapi Monang tampaknya mulai memperhitungkan aku, sebagai sesama pembunuh!
“Kau membunuh Ibumu sendiri?”

“Apa pedulimu tentang Ibuku! Dia sudah berakhir. Ibuku hanya tinggal sebuah cerita,” sahutku menolak pertanyaannya.
“Aku ingin tahu bagaimana kau melakukannya,” desaknya, sedikit memaksa.

“Tak penting kau tahu, itu bukan urusanmu!” ujarku ngotot tak mau kalah.

“Brengsek! Kau penyair keras kepala!” Monang kembali memukul meja. Bara di hatinya semakin sulit dikendalikan.

Sebenarnya tabu buatku bercerita bagaimana ibuku terbunuh. Harusnya Monang lebih kreatif menggunakan imajinasinya. Ruang imajinasi itu sangat luas dan melimpah. Jadi, kenapa harus memaksa? Apa dia tak pernah berpikir tentang alur yang dia ciptakan sendiri saat menghabisi lawan-lawannya selama ini? Ah, cerita tentang ibuku sangat tidak mengerikan jika diumbar sembarang. Termasuk kepadanya.

Malam semakin larut. Angin berhembus dingin, membawa bau sampah dan bangkai binatang yang mati. Mungkin itu bangkai tikus-tikus dari gorong-gorong yang terbawa arus. Kematian tikus tak perlu ditangisi. Mereka beranak-pinak bagai bakteri. Mati satu tumbuh seribu, lantas kembali menggerogoti apa yang mereka sukai tanpa bisa dihempang siapapun. Tikus adalah binatang jalang seperti pembunuh dalam cerita. Seperti tokoh cerita yang kuletakkan di relung imajinasi. Mereka akan terjerat walau akhirnya mati tanpa berarti. Menjadi bangkai-bangkai busuk seperti korban keganasan Monang.

Kami sekarang tinggal berdua. Si Tukang Kedai tertidur di bangku panjangnya. Orang-orang di kedai ini tadi, telah pergi tanpa kami sadari. Monang tampak kecewa. Dia ingin segera tahu bagaimana aku melakukan pembunuhan itu. Sebagai seorang pembunuh, teknik dan modus membunuh sangat penting, karena selalu ada cara baru yang harus dipelajari. Sedangkan menurutku, seorang pembunuh hanya membutuhkan hati seekor singa; mengaum, lantas merobek-robek tubuh mangsanya. Selesai. Membuat kisah menjadi lebih dramatis. Bukankah itu yang kau suka?

Aku sudah tak tahan menahan angin malam yang menyergap tubuhku. Aku merasa menyesal mengapa harus terjebak di kedai sial ini. Padahal dokter selalu berpesan agar aku tidak berlama-lama di luar rumah menunggu bulan di kala hujan. Itu pekerjaan sia-sia, katanya. Dokter hanya memperbolehkan aku pergi ke taman kota di pagi hari, di mana bunga-bunga tumbuh bermekaran dan mengeluarkan semerbak wangi di sana. Juga melihat kumbang-kumbang mengepakkan kedua sayapnya sambil berharap ada bidadari berparas jelita menemaniku duduk bersama di taman. Bukan lelaki itu.
“Beri aku kesempatan seturut denganmu menjadi pembunuh di setiap ceritamu. Mungkin itu lebih baik untukku daripada apa yang telah kulakukan selama ini,” bisiknya berharap. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Di matanya, kilatan itu tampak bersinar lemah, redup.
“Aku tak bisa! Jangan paksa aku,” tegasku menolak.

“Kita ini kan teman lama. Apa tak ada cara lain?” keluhnya, memohon. Kami memang teman lama, bahkan dia pernah menyelamatkan aku dari para penagih utang yang mengincarku berbulan-bulan setelah aku kalah besar di meja judi. Tetapi, dia juga merayu istriku, membuat perempuan jalang itu berpaling padanya. Tidak sepadan. Sejak itu, aku harus merangkak di tubir kesunyian. Melipat dendam di ujung penantian. Bajingan!

Monang semakin putus asa. Di matanya tertancap kekalahan. Dengan susah payah, dia mengeluarkan berbagai macam belati dari balik pinggangnya ke atas meja. Oh, mataku terbelalak melihat benda-benda terkutuk itu. Bukan hanya satu, tapi lebih, dengan aneka macam bentuk yang membuatku terpesona. Benda yang telah membuat tangis-tangis menyayat, melahirkan luka-luka baru, menumpahkan darah berserak di mana-mana. Tiba-tiba kepalanya rebah di atas meja.

Aku tersenyum dingin. Racun yang kuberikan pada si tukang kedai tadi bekerja sempurna. Sudah lama kami, pengunjung kedai ini, bersekongkol menunggu bajingan ini datang menjemput ajalnya. Penantianku ternyata tak sia-sia. Walau hanya setengah cangkir yang dia minum, tapi sudah membuatnya tak berdaya. Kuambil satu-persatu belati itu, lantas memasukkannya ke balik pinggangku. Dengan belati itu, aku akan menghabisi perempuan jalang yang telah mengkhianatiku. Dia akan menjadi korban dalam cerita lainnya. Dan berikutnya adalah kau!

Medan, Desember 2012

Saat engkau sendiri, jangan sekali-kali merindukan bulan di kala hujan, lantas berharap seorang bidadari datang membawa kabar suka dari padang perburuan. Jangan, cukup pesan secangkir kopi hangat untukmu, lalu duduklah manis di bangku panjang itu sambil mengisap rokok kretek beraroma cengkeh, menikmati gerimis malam sisa hujan sore tadi. Ya, bersikaplah seperti orang-orang itu yang membiarkan kedua kaki mereka terjuntai ke lantai yang tergenang luberan air selokan, tanpa sedikitpun merasa cemas kaki-kaki mereka akan terluka.

Cerpen  Hasudungan Rudy Yanto Sitohang

“Bencana ini tidak akan terjadi jika aku terpilih menjadi walikota, bukannya Si Kumis itu! Kalian tahu, aku akan membangun terowongan besar di bawah sana agar banjir sial ini tidak lagi membuat pusing seisi kota,” umpat lelaki berjaket biru kelam itu saat baru tiba, dan tengah berdiri di mulut pintu. Lamunanku buyar seketika. Orang-orang di kedai ini sejenak menghentikan aktivitasnya, beralih melihat lelaki itu, diam-diam. Kehadiran lelaki itu ternyata telah membuat suasana yang tadinya nyaman menjadi penuh gelisah.

Dia, lelaki kurus berwajah tirus yang kulitnya legam diterpa cahaya lampu kedai itu, telah menebar hawa panas dan membuat kedai kopi berlantai tanah ini menjadi gerah. Di keningnya melintang codet bergaris datar. Itu makanya, aku tak ingin berlama-lama menatap wajah lelaki itu. Sedangkan kedua tangannya masih sibuk mengibas-ngibaskan sisa air hujan di rambut dan bajunya. Dari mulutnya tak henti-henti menyembur makian, mengeluarkan kutukan. Lelaki itu mengutuk hujan, juga mengutuk langit yang dirasanya tidak adil karena telah menurunkan hujan tanpa memberitahunya lebih dulu.
“Langit telah menurunkan bencana! Langit akan membunuh kita semua!” teriaknya berkali-kali dengan tangan teracung ke langit, bagai Nabi di tengah lautan biru yang ganas. Pengunjung kedai yang tak seramai biasanya itu-kuperkirakan tak lebih enam orang,- serentak memperbaiki posisi duduknya. Wajah mereka berselimut tegang. Binatang malam terdiam. Semua menunggu petaka yang bakal terjadi lagi hari ini selepas luapan banjir masuk ke dalam kedai.

Tatapannya berhenti di wajahku. Kedua kakiku sedikit gemetar, tapi semakin lama kurasakan semakin kencang, dan meja ini pun ikut bergoyang tidak karuan. Kucoba menahan meja sekuat tenaga sekaligus menahan tekanan yang menyesak di dada. Rasanya udara semakin menghangat di sekitarku. Keningku mulai dijatuhi butir-butir keringat. Astaga!

Monang, begitu lelaki itu dipanggil. Namanya sungguh tak asing di kota ini, nama yang sempat terkenal dan menghiasi koran-koran maupun televisi nasional ketika dia mencoba kabur dari penjara Tanjung Gusta beberapa tahun lalu. Menurut berita, Monang memanjat tembok tebal penjara setinggi 20 meter itu menggunakan sarung teman-temannya satu sel yang dipotongnya panjang, dan kemudian membuatnya sambung-menyambung seperti tali. Monang hanya sendiri, nyaris berhasil.

Sayang, saat dia memotong kawat duri pembatas di bagian luar tembok, dia kepergok petugas. Monang terkepung, tetapi dia tak peduli. Monang berlari menerobos terjangan peluru yang berdesing-desing memangsa tubuhnya. Peluru yang tak bermata, peluru yang saling berkejaran. Dia dan peluru berlomba saling mendahului. Monang berguling-guling di atas jalan beraspal menghindari peluru pencabut nyawa. Lumpur dan darah membasahi bajunya. Monang baru menyerah ketika sebutir peluru menyerempet selangkangannya. Ajaibnya, Monang tidak mati.
***
Mata kami saling beradu. Aku berhadapan dengan sepasang mata yang mampu menilik peluru-peluru yang beterbangan, membuat siapa pun akan kembali berhitung jika ingin menghadapinya. Seperti mata Burung Elang.

Monang segera melangkah ke mejaku, kemudian langsung duduk tanpa basa-basi. Senyumnya mengembang dingin, menusuk ke jantungku paling dalam. Kuperhatikan tubuhnya lekat-lekat. Tak ada yang berubah, masih seperti tujuh tahun silam. Bajunya hitam pudar, celananya pun penuh tambalan yang sebagian jahitannya mulai lepas. Tetapi, wajahnya sekarang ditumbuhi jambang lebat dan kumis yang tak terawat. Seingatku dulu, Monang sangat peduli membersihkan wajahnya saat dia tergila-gila kepada Iyem, janda penjual bensin eceran di simpang jalan Gajah Mada itu. Cintanya tak bersambut. Iyem lebih memilih Legiman, tukang becak yang sering mangkal di samping kios bensinnya. Monang patah hati.

Sungguh tak kusangka, ternyata aku kembali berjumpa dengannya saat aku berusaha menghilangkan bayangannya. Ya, di sinilah tempat kami dulu berbincang dan mendebatkan sesuatu yang selalu berujung pada pertengkaran. Entah itu puisiku atau cerita para pemimpin negeri antah berantah ini. Tapi tunggu! Apakah dia masih menyimpan belati yang gagangnya berukir ular beludak, yang dulu sering dia tunjukkan padaku? Apakah dia masih menyimpan belati itu?

“Masih menulis puisi?” tanyanya lugas.

“Aku sekarang menulis cerita,” sahutku agak pelan. Wajahnya tampak kaget, seolah dari matanya keluar kilatan api yang membakar.
“Cerita?” Monang berseru heran. ”Kau menulis cerita! Sungguh bodoh! Aku tahu penyair kumal sepertimu tak berbakat jadi seorang penulis cerita, “ ucapnya dengan nada sinis, seolah tak percaya. Aku terdiam, berpikir agak lama.

Monang tak sabar menunggu jawabanku. Tangannya seketika menggebrak meja, ”Prakk….” Meja berbunyi seperti batang pohon yang patah. Cangkir di meja menggelinding jatuh ke lantai. Hilang ditelan luberan air berwarna hitam kecoklatan.

Aku terkejut. Pikiranku membuncah. Si Tukang Kedai bergegas datang takut-takut mengambil cangkir itu, membersihkan tumpahan kopi di meja, lantas berlalu dengan cepat ke belakang. Kemarahan Monang tak menyurut. Aku kini terjebak dalam perangkapnya.

Brengsek! Mengapa Monang begitu gusar dengan kebebasanku berkreasi dan tak pernah berhenti menggangguku? Bukankah dia juga merasakan hal serupa ketika dia terkungkung dalam ruang sempit itu, hingga akhirnya mencari kebebasannya sendiri dengan mencoba kabur dari penjara?
***
“Aku juga seorang pembunuh bukan penyair sampah. Ibuku korban pertama yang kubunuh dalam cerita-ceritaku.” Monang terperanjat mendengar ucapanku, tak menduga. Bola matanya melotot seolah ingin keluar dari ceruk matanya. Bagiku tak penting dia percaya atau tidak, apa masuk logikanya atau tidak. Aku hanya berhati-hati agar dia tak lagi menjebakku kedua kalinya, menyeretku ke ujung terdalam di kedua bola matanya. Sebab kilatan itu masih menyala-nyala di sana. Kilatan yang membuat orang-orang takjub, terpesona, dan tanpa sadar masuk dalam perangkapnya.

Monang mengangguk pelan. Kami, seolah dua musuh abadi yang tengah bertarung di arena pembantaian paling berdarah. Pertarungan yang nyaris tidak seimbang. Tapi Monang tampaknya mulai memperhitungkan aku, sebagai sesama pembunuh!
“Kau membunuh Ibumu sendiri?”

“Apa pedulimu tentang Ibuku! Dia sudah berakhir. Ibuku hanya tinggal sebuah cerita,” sahutku menolak pertanyaannya.
“Aku ingin tahu bagaimana kau melakukannya,” desaknya, sedikit memaksa.

“Tak penting kau tahu, itu bukan urusanmu!” ujarku ngotot tak mau kalah.

“Brengsek! Kau penyair keras kepala!” Monang kembali memukul meja. Bara di hatinya semakin sulit dikendalikan.

Sebenarnya tabu buatku bercerita bagaimana ibuku terbunuh. Harusnya Monang lebih kreatif menggunakan imajinasinya. Ruang imajinasi itu sangat luas dan melimpah. Jadi, kenapa harus memaksa? Apa dia tak pernah berpikir tentang alur yang dia ciptakan sendiri saat menghabisi lawan-lawannya selama ini? Ah, cerita tentang ibuku sangat tidak mengerikan jika diumbar sembarang. Termasuk kepadanya.

Malam semakin larut. Angin berhembus dingin, membawa bau sampah dan bangkai binatang yang mati. Mungkin itu bangkai tikus-tikus dari gorong-gorong yang terbawa arus. Kematian tikus tak perlu ditangisi. Mereka beranak-pinak bagai bakteri. Mati satu tumbuh seribu, lantas kembali menggerogoti apa yang mereka sukai tanpa bisa dihempang siapapun. Tikus adalah binatang jalang seperti pembunuh dalam cerita. Seperti tokoh cerita yang kuletakkan di relung imajinasi. Mereka akan terjerat walau akhirnya mati tanpa berarti. Menjadi bangkai-bangkai busuk seperti korban keganasan Monang.

Kami sekarang tinggal berdua. Si Tukang Kedai tertidur di bangku panjangnya. Orang-orang di kedai ini tadi, telah pergi tanpa kami sadari. Monang tampak kecewa. Dia ingin segera tahu bagaimana aku melakukan pembunuhan itu. Sebagai seorang pembunuh, teknik dan modus membunuh sangat penting, karena selalu ada cara baru yang harus dipelajari. Sedangkan menurutku, seorang pembunuh hanya membutuhkan hati seekor singa; mengaum, lantas merobek-robek tubuh mangsanya. Selesai. Membuat kisah menjadi lebih dramatis. Bukankah itu yang kau suka?

Aku sudah tak tahan menahan angin malam yang menyergap tubuhku. Aku merasa menyesal mengapa harus terjebak di kedai sial ini. Padahal dokter selalu berpesan agar aku tidak berlama-lama di luar rumah menunggu bulan di kala hujan. Itu pekerjaan sia-sia, katanya. Dokter hanya memperbolehkan aku pergi ke taman kota di pagi hari, di mana bunga-bunga tumbuh bermekaran dan mengeluarkan semerbak wangi di sana. Juga melihat kumbang-kumbang mengepakkan kedua sayapnya sambil berharap ada bidadari berparas jelita menemaniku duduk bersama di taman. Bukan lelaki itu.
“Beri aku kesempatan seturut denganmu menjadi pembunuh di setiap ceritamu. Mungkin itu lebih baik untukku daripada apa yang telah kulakukan selama ini,” bisiknya berharap. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Di matanya, kilatan itu tampak bersinar lemah, redup.
“Aku tak bisa! Jangan paksa aku,” tegasku menolak.

“Kita ini kan teman lama. Apa tak ada cara lain?” keluhnya, memohon. Kami memang teman lama, bahkan dia pernah menyelamatkan aku dari para penagih utang yang mengincarku berbulan-bulan setelah aku kalah besar di meja judi. Tetapi, dia juga merayu istriku, membuat perempuan jalang itu berpaling padanya. Tidak sepadan. Sejak itu, aku harus merangkak di tubir kesunyian. Melipat dendam di ujung penantian. Bajingan!

Monang semakin putus asa. Di matanya tertancap kekalahan. Dengan susah payah, dia mengeluarkan berbagai macam belati dari balik pinggangnya ke atas meja. Oh, mataku terbelalak melihat benda-benda terkutuk itu. Bukan hanya satu, tapi lebih, dengan aneka macam bentuk yang membuatku terpesona. Benda yang telah membuat tangis-tangis menyayat, melahirkan luka-luka baru, menumpahkan darah berserak di mana-mana. Tiba-tiba kepalanya rebah di atas meja.

Aku tersenyum dingin. Racun yang kuberikan pada si tukang kedai tadi bekerja sempurna. Sudah lama kami, pengunjung kedai ini, bersekongkol menunggu bajingan ini datang menjemput ajalnya. Penantianku ternyata tak sia-sia. Walau hanya setengah cangkir yang dia minum, tapi sudah membuatnya tak berdaya. Kuambil satu-persatu belati itu, lantas memasukkannya ke balik pinggangku. Dengan belati itu, aku akan menghabisi perempuan jalang yang telah mengkhianatiku. Dia akan menjadi korban dalam cerita lainnya. Dan berikutnya adalah kau!

Medan, Desember 2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/