26 C
Medan
Monday, September 30, 2024

IP Hardoni Sitohang Mengajar dan Terus Belajar

Deretan alat musik tradisi Batak Toba seperti taganing dan garantung tampak menghiasi bahagian belakang rumah kontrakannya di Jalan Pasar VI Padang Bulan No 54B Medan. Di situ lah pria yang akrab disapa Doni ini membagi pengetahuan tentang musik tradisi Batak Toba dalam satu pelatihan.

Kebetulan, Jumat (8/4) lalu dirinya menggelar pelatihan musik batak kepada komunitas ‘Siboru Uluan’. Komunitas yang memainkan musik tradisional Batak Toba diperankan oleh remaja putri. “Dari pengalaman saya, kesenian tradisional butuh sentuhan-sentuhan entertainment untuk mendapat perhatian masyarakat. Apalagi di tengah era modernisasi saat ini dimana generasi muda lebih senang dengan budaya-budaya urban. Hanya demikian kesenian tradisi itu bisa merebut hati masyarakat khususnya generasi muda,” ucapnya.

Untuk itu Doni pun mengadopsi konsep entertainment tadi dalam setiap gebrakannya. Dan cara itu terbukti berhasil di setiap penampilannya baik secara individu maupun kelompok yang mendapat aplaus penonton. Begitu juga untuk karya-karya yang sudah mendapat pengakuan hingga dari kalangan Istana Negara ketika grup binaannya meraih Juara Favorit pada Festival Musik Tradisional Tingkat Anak-Anak se-Indonesia 2006 silam.

Kiprah Doni di musik tradisional sendiri dimulai 2003. Pengalaman saat menjadi pengajar di Universitas Utara Malaysia (UUM) selama satu caturwulan menjadi satu pukulan sekaligus motivasi baginya. Bagaimana tidak, musik tradisional dari suku bangsa di Indonesia ini justru mendapat antusias dari mahasiswa negara tetangga.
“Justru mahasiswa di sana (Malaysia) bersemangat belajar. Saya pun jadi termotivasi untuk belajar yang lain. Buktinya dalam empat bulan, mereka sudah bisa konser,” kenangnya.

Saat pulang ke Kota Medan, Doni yang juga staf pengajar di Fakultas Seni Universitas Negeri Medan ini pun bertekad mewujudkan keberhasilan tersebut. Satu per satu orang coba direkrut untuk mulai berlatih. Menanam benih yang siap dipanen di masa yang akan datang. Meskipun ajakan itu lebih sering disambut dingin.

Kenyataan tadi tidak membuat putra dari musisi tradisional Batak Toba Guntur Sitohang ini mundur. Hasil dari menanam tadi diperlihatkan melalui dirinya. Selain aktif di berbagai kelompok musisi tradisional, Doni pun tampil solo di beberapa konser. Seperti pada Konser Concordia dan Old & New 2010 lalu. “Ibaratnya menanam padi yang pasti berbuah. Dengan berlatih serius, saya yakin rezeki juga akan datang,” tukasnya.

Keinginan tadi pun dilanjutkan pada Neo Tradisi bentukan sang abang Martogi Sitohang. Di situ dirinya melanjutkan eksperimen untuk membuat kesenian tradisional tetap menarik perhatian masyarakat pemiliknya. Dengan demikian kaderisasi dapat dilakukan untuk pelestarian budaya yang merupakan jati diri bangsa ini. Dengan itu pula dirinya menginjakkan kaki di berbagai negara di belahan dunia ini. Asia hingga Eropa.

Perjuangan itu pun terwujud pada komunitas Siboru Uluan yang tampil memikat saat mewakili Kabupaten Samosir pada Pekan Raya Sumatera Utara 2011. Bahkan untuk itu dirinya mendatangkan sendiri instrumen-instrumen yang dibutuhkan. Seperti garantung, sarune etek, hasapi, sulim, dan taganing dari kampung halaman di Samosir. Begitu pun dirinya tidak akan menunggu untuk mewujudkan ambisi lainnya yaitu kelompok uning-uningan putra.(jul)

Prihatin dengan Harga Instrumen Batak

Kelestarian budaya juga dipengaruhi oleh pengenalan masyarakat pemiliknya. Semakin masyarakat mengenal maka kebudayaan tadi pun akan tetap hidup begitu juga sebaliknya.

“Kalau mau ditanya, tidak semua orang Batak tau apa itu garantung, hasapi, atau sarunai. Jangankan memainkannya. Dan saya sendiri akan sangat menyayangkan bila alat musik tadi dibeli hanya untuk pajangan di rumah karena mahalnya,” ucap Doni.

Minimnya minat dan kemauan masyarakat Batak untuk belajar justru membuat instrumen batak seperti hasapi yang dijual di Tuk-Tuk terkesan murahan. Apalagi jumlah Rp800 ribu untuk membuat satu set garantung hanya sebagai aksesoris di rumah dianggap Doni masih cukup besar. Untuk masalah itu alumni Fakultas Seni Unimed ini berinisiatif mengangkat kebudayaan tadi lebih berharga.

Di sela-sela kesibukan mengiringi acara dan pelatihan musik tradisional, Doni mengasah kreativitasnya dengan membuat miniatur dari instrumen tradisional Batak. Dari hasapi, taganing, dan garantung. Dengan menjadikan sebagai cendramata, Doni berharap masyarakat bisa lebih dekat dengan budaya yang dimilikinya.

Selain itu sebagai cenderamata diyakini dapat mengangkat nilai benda-benda kebudayaan tadi. Begitu pun dari sisi ekonomi yang memberi keuntungan. “Misalnya hasapi yang dijual di Tuk-Tuk hanya Rp100 ribu. Tapi hasapi miniatur ini sudah ditawar Rp300 ribu. Yang pasti, siapa pun bisa membawa alat musiknya ke rumah karena pasti bisa lebih murah harganya,” pungkasnya. (jul)

Deretan alat musik tradisi Batak Toba seperti taganing dan garantung tampak menghiasi bahagian belakang rumah kontrakannya di Jalan Pasar VI Padang Bulan No 54B Medan. Di situ lah pria yang akrab disapa Doni ini membagi pengetahuan tentang musik tradisi Batak Toba dalam satu pelatihan.

Kebetulan, Jumat (8/4) lalu dirinya menggelar pelatihan musik batak kepada komunitas ‘Siboru Uluan’. Komunitas yang memainkan musik tradisional Batak Toba diperankan oleh remaja putri. “Dari pengalaman saya, kesenian tradisional butuh sentuhan-sentuhan entertainment untuk mendapat perhatian masyarakat. Apalagi di tengah era modernisasi saat ini dimana generasi muda lebih senang dengan budaya-budaya urban. Hanya demikian kesenian tradisi itu bisa merebut hati masyarakat khususnya generasi muda,” ucapnya.

Untuk itu Doni pun mengadopsi konsep entertainment tadi dalam setiap gebrakannya. Dan cara itu terbukti berhasil di setiap penampilannya baik secara individu maupun kelompok yang mendapat aplaus penonton. Begitu juga untuk karya-karya yang sudah mendapat pengakuan hingga dari kalangan Istana Negara ketika grup binaannya meraih Juara Favorit pada Festival Musik Tradisional Tingkat Anak-Anak se-Indonesia 2006 silam.

Kiprah Doni di musik tradisional sendiri dimulai 2003. Pengalaman saat menjadi pengajar di Universitas Utara Malaysia (UUM) selama satu caturwulan menjadi satu pukulan sekaligus motivasi baginya. Bagaimana tidak, musik tradisional dari suku bangsa di Indonesia ini justru mendapat antusias dari mahasiswa negara tetangga.
“Justru mahasiswa di sana (Malaysia) bersemangat belajar. Saya pun jadi termotivasi untuk belajar yang lain. Buktinya dalam empat bulan, mereka sudah bisa konser,” kenangnya.

Saat pulang ke Kota Medan, Doni yang juga staf pengajar di Fakultas Seni Universitas Negeri Medan ini pun bertekad mewujudkan keberhasilan tersebut. Satu per satu orang coba direkrut untuk mulai berlatih. Menanam benih yang siap dipanen di masa yang akan datang. Meskipun ajakan itu lebih sering disambut dingin.

Kenyataan tadi tidak membuat putra dari musisi tradisional Batak Toba Guntur Sitohang ini mundur. Hasil dari menanam tadi diperlihatkan melalui dirinya. Selain aktif di berbagai kelompok musisi tradisional, Doni pun tampil solo di beberapa konser. Seperti pada Konser Concordia dan Old & New 2010 lalu. “Ibaratnya menanam padi yang pasti berbuah. Dengan berlatih serius, saya yakin rezeki juga akan datang,” tukasnya.

Keinginan tadi pun dilanjutkan pada Neo Tradisi bentukan sang abang Martogi Sitohang. Di situ dirinya melanjutkan eksperimen untuk membuat kesenian tradisional tetap menarik perhatian masyarakat pemiliknya. Dengan demikian kaderisasi dapat dilakukan untuk pelestarian budaya yang merupakan jati diri bangsa ini. Dengan itu pula dirinya menginjakkan kaki di berbagai negara di belahan dunia ini. Asia hingga Eropa.

Perjuangan itu pun terwujud pada komunitas Siboru Uluan yang tampil memikat saat mewakili Kabupaten Samosir pada Pekan Raya Sumatera Utara 2011. Bahkan untuk itu dirinya mendatangkan sendiri instrumen-instrumen yang dibutuhkan. Seperti garantung, sarune etek, hasapi, sulim, dan taganing dari kampung halaman di Samosir. Begitu pun dirinya tidak akan menunggu untuk mewujudkan ambisi lainnya yaitu kelompok uning-uningan putra.(jul)

Prihatin dengan Harga Instrumen Batak

Kelestarian budaya juga dipengaruhi oleh pengenalan masyarakat pemiliknya. Semakin masyarakat mengenal maka kebudayaan tadi pun akan tetap hidup begitu juga sebaliknya.

“Kalau mau ditanya, tidak semua orang Batak tau apa itu garantung, hasapi, atau sarunai. Jangankan memainkannya. Dan saya sendiri akan sangat menyayangkan bila alat musik tadi dibeli hanya untuk pajangan di rumah karena mahalnya,” ucap Doni.

Minimnya minat dan kemauan masyarakat Batak untuk belajar justru membuat instrumen batak seperti hasapi yang dijual di Tuk-Tuk terkesan murahan. Apalagi jumlah Rp800 ribu untuk membuat satu set garantung hanya sebagai aksesoris di rumah dianggap Doni masih cukup besar. Untuk masalah itu alumni Fakultas Seni Unimed ini berinisiatif mengangkat kebudayaan tadi lebih berharga.

Di sela-sela kesibukan mengiringi acara dan pelatihan musik tradisional, Doni mengasah kreativitasnya dengan membuat miniatur dari instrumen tradisional Batak. Dari hasapi, taganing, dan garantung. Dengan menjadikan sebagai cendramata, Doni berharap masyarakat bisa lebih dekat dengan budaya yang dimilikinya.

Selain itu sebagai cenderamata diyakini dapat mengangkat nilai benda-benda kebudayaan tadi. Begitu pun dari sisi ekonomi yang memberi keuntungan. “Misalnya hasapi yang dijual di Tuk-Tuk hanya Rp100 ribu. Tapi hasapi miniatur ini sudah ditawar Rp300 ribu. Yang pasti, siapa pun bisa membawa alat musiknya ke rumah karena pasti bisa lebih murah harganya,” pungkasnya. (jul)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/