25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Sidang Lanjutan Kasus BNI SKM Medan

MEDAN- Perkara kredit tidak terpasang di BNI SKM Medan seharusnya tidak masuk dalam ranah tindak pidana korupsi melainkan masuk ranah perdata. Sebab tidak ada kerugian negara dalam perkara itu.

Setidaknya hal itu disampaikan saksi ahli perbankan dan hukum perdata, Dr.Susanti Adi Nugroho yang dihadirkan tim penasehat hukum terdakwa tiga pejabat BNI SKM Medan di Pengadilan Tipikor Medan, Selasa (26/3).

“Sebenarnya kasus kredit macet ini sudah banyak di Perbankan. Sewaktu saya menjadi hakim agung, saya banyak menangani perkara seperti ini. Kalau kredit macet Perbankan masuk ke ranah Tipikor apalagi yang perusahaan negara, maka pihak bank akan takut mencari keuntungan. Padahal fungsi dari perusahaan itu untuk mencari keuntungan.

Perkara ini berawal dari pemblokiran yang dilakukan M.Aka terhadap SHGU 102 itu. Maka seharusnya perkara itu masuk dalam perdata. Dan ini seharusnya menjadi urusan M.Aka dengan Boy Hermansyah. Tidak ada lagi urusan dengan BNI. Karena pengucuran kredit di BNI sudah sesuai pedoman,” ujarnya.

Mantan hakim agung itu juga menyatakan ada keanehan dengan masalah pengelolaan kebun. “Kenapa tiba-tiba SHGU itu dikuasai PT Atakana kembali? Padahal sudah ada hak kuasa dari PT Atakana ke Boy Hermansyah. Kalau saya melihatnya ini ada itikad tidak baik M.Aka yang tersembunyi untuk menguasai kebun itu. Setelah dia menikmati uangnya tapi dia menguasai kembali SHGU 102,” jelasnya.
Lantas hakim anggota mempertanyakan bagaimana dengan kepemilikan SHGU 102 tersebut?

“SHGU itu telah menjadi BDKL. Bahkan pihak BDKL juga telah membayar hutang Atakana di BNI SKM Medan sebesar Rp61 miliar. Selain itu ada cicilan kredit yang sampai sekarang masih dibayarkan Boy Hermansyah di BNI SKM Medan. Lalu kenapa hasil dari kebun tidak dikuasai BDKL? Itu yang perlu dipertanyakan,” ungkap saksi.
Mendengar pernyatakan saksi, baik majelis hakim maupun jaksa hanya bisa terdiam.

Menurutnya, tindakan yang di ambil oleh BNI SKM Medan dengan memberikan pengucuran kredit kepada Boy Hermasyah tidak bermasalah. “Sebab pada umumnya jika jaminan itu dilelang, pihak bank akan rugi. Jadi mereka lebih senang ada pihak ketiga yang membeli aset itu.

Memang sebaiknya ada akte jual beli, namun ini sulit karena ini kan HGU memakan waktu lama. Karena setiap Bank ingin memperoleh jaminan sebanyak mungkin agar bila terjadi sesuatu tetap ada yang mencovernya,” terangnya. (far)

MEDAN- Perkara kredit tidak terpasang di BNI SKM Medan seharusnya tidak masuk dalam ranah tindak pidana korupsi melainkan masuk ranah perdata. Sebab tidak ada kerugian negara dalam perkara itu.

Setidaknya hal itu disampaikan saksi ahli perbankan dan hukum perdata, Dr.Susanti Adi Nugroho yang dihadirkan tim penasehat hukum terdakwa tiga pejabat BNI SKM Medan di Pengadilan Tipikor Medan, Selasa (26/3).

“Sebenarnya kasus kredit macet ini sudah banyak di Perbankan. Sewaktu saya menjadi hakim agung, saya banyak menangani perkara seperti ini. Kalau kredit macet Perbankan masuk ke ranah Tipikor apalagi yang perusahaan negara, maka pihak bank akan takut mencari keuntungan. Padahal fungsi dari perusahaan itu untuk mencari keuntungan.

Perkara ini berawal dari pemblokiran yang dilakukan M.Aka terhadap SHGU 102 itu. Maka seharusnya perkara itu masuk dalam perdata. Dan ini seharusnya menjadi urusan M.Aka dengan Boy Hermansyah. Tidak ada lagi urusan dengan BNI. Karena pengucuran kredit di BNI sudah sesuai pedoman,” ujarnya.

Mantan hakim agung itu juga menyatakan ada keanehan dengan masalah pengelolaan kebun. “Kenapa tiba-tiba SHGU itu dikuasai PT Atakana kembali? Padahal sudah ada hak kuasa dari PT Atakana ke Boy Hermansyah. Kalau saya melihatnya ini ada itikad tidak baik M.Aka yang tersembunyi untuk menguasai kebun itu. Setelah dia menikmati uangnya tapi dia menguasai kembali SHGU 102,” jelasnya.
Lantas hakim anggota mempertanyakan bagaimana dengan kepemilikan SHGU 102 tersebut?

“SHGU itu telah menjadi BDKL. Bahkan pihak BDKL juga telah membayar hutang Atakana di BNI SKM Medan sebesar Rp61 miliar. Selain itu ada cicilan kredit yang sampai sekarang masih dibayarkan Boy Hermansyah di BNI SKM Medan. Lalu kenapa hasil dari kebun tidak dikuasai BDKL? Itu yang perlu dipertanyakan,” ungkap saksi.
Mendengar pernyatakan saksi, baik majelis hakim maupun jaksa hanya bisa terdiam.

Menurutnya, tindakan yang di ambil oleh BNI SKM Medan dengan memberikan pengucuran kredit kepada Boy Hermasyah tidak bermasalah. “Sebab pada umumnya jika jaminan itu dilelang, pihak bank akan rugi. Jadi mereka lebih senang ada pihak ketiga yang membeli aset itu.

Memang sebaiknya ada akte jual beli, namun ini sulit karena ini kan HGU memakan waktu lama. Karena setiap Bank ingin memperoleh jaminan sebanyak mungkin agar bila terjadi sesuatu tetap ada yang mencovernya,” terangnya. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/