26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Kekuatan di Balik Eksekusi Cebongan

Kasus eksekusi kelompok bersenjata ke LP Cebongan Sleman nampaknya berbuntut panjang. Pihak Polri terus melakukan penyelidikan yang telah dimulai dari TKP, hingga kini belum mengumumkan hasilnya, hanya menyampaikan keterangan dari penemuan 31 selongsong peluru dan 16 anak peluru yang di TKP, kaliber yang dipergunakan diketahui berukuran 7,62 mm.

Oleh: PRAYITNO RAMELAN

KAPOLRI telah melaporkan kepada presiden semua hasil olah TKP, temuan selongsong peluru serta pemeriksaan 25 saksi. Semua masih terus didalami, hanya perlu waktu bagi laboratorium forensik untuk menyampaikan kesimpulannya. Polri selalu berangkat penyelidikan dan penyidikan dari Tempat Kejadian Perkara (TKP), aturan dan tehniknya memang demikian.

Penyelidikan dilakukan oleh intelijen taktis juga dari TKP dan dikembangkan melingkar keluar melebar ke area yang lebih luas, ke wilayah propinsi, nasional dan seterusnya. Berbeda dengan tehnik analisa intelijen strategis, yang memulai menganalisa dari sisi internasional, menyempit ke regional, nasional dan provinsional. Apabila intelijen strategis dan taktis di sinergikan, maka analisa keduanya akan bertemu disatu titik yang menghasilkan sebuah kesimpulan.

Nah, dalam kasus Cebongan, pergerakan intelijen taktis dan olah TKP oleh Polri jelas berangkat dari fakta-fakta lapangan, kesimpulan polisi harus tepat karena kasus hukum fakta dan bukti harus jelas, yaitu siapa korban, kasus-kasus yang melibatkan korban dalam beberapa waktu terakhir, bukti lain seperti saksi, HP, CCTV, longsong peluru, anak peluru, sidik jari dan banyak lainnya. Intelijen taktis menelusuri sebuah kasus dengan melihat fakta the past, the present, kaitan keduanya, yang apabila fakta penguat belum lengkap maka indikasi akan dipergunakan sebagai bahan penyelidikan lebih lanjut.

Langkah intelijen harus lebih cepat dibandingkan langkah hukum, maksudnya untuk mengetahui seberapa besar perkiraan ancaman yang ada. Dimaksudkan disini agar intelijen dapat memberikan input berupa kirpat (perkiraan cepat) untuk melokalisir dan melakukan counter kemungkinan ancaman yang lebih besar terhadap bangsa dan negara. Serangan bersenjata terhadap instansi pemerintah adalah kasus yang sangat serius.

Nampaknya para penyerang memang kelompok terlatih, melihat perlengkapan dan serangan terencana dengan baik. Mereka mendapat info akurat bahwa prominent target (target utama), yaitu Dicky (Deki) dan kawan-kawan berada di Lapas Cebongan Sleman. Kelompok penyerang memilikibapul (badan pengumpul informasi) yang cukup baik, karena mampu mendeteksi empat target mereka telah digeser ke LP Cebongan dari ruang tahanan Polda DIY.

Dari beberapa saksi, kelompok tersebut diketahui bersenjata panjang dan pendek (pistol) serta granat, menggunakan tutup muka (sebo), rompi anti peluru dan sarung tangan. Fakta penting yang didapat adalah senjata yang dipergunakan untuk melakukan eksekusi dari kaliber 7,62 mm. Di Indonesia, senjata yang ada dengan kaliber peluru tersebut adalah jenis AK47, SS-1 (Senapan Serbu) dari varian SS-1 Sabhara V1-V2. Senjata SS-1 adalah buatanPindad, SS-1diproduksi dalam 2 konfigurasi utama, yaitu senapan standard dan karabin pendek. Versi senapan standar disebut SS1-V1 (FNC “Standard” Model 2000) dan karabin disebut SS1-V2 (FNC “Short” Model 7000).

SS-1 varian V1 s/V5, R5 Raider (khusus pasukan Raider) serta Seri M (khusus Marinir), menggunakan peluru 5,56 x 45 mm. Khusus untuk Pengembangan varian SS-1 Sabhara ini dikhususkan untuk kepolisian, menggunakan peluru 7,62 x 45 mm Pindad, yaitu perlunya kemampuan melumpuhkan bukan membunuh, daya penetrasinya lebih rendah.

Siapa pemilik senjata-senjata dengan kaliber 7,62mm tersebut?.

Yang pertama adalah TNI, dimana kini AK47 secara umum sudah sudah digudangkan dan diganti dengan SS-1 Produksi Pindad. AK47 sering disebut sebagai senapan pembawa kebebasan, sangat dikenal di daerah konflik karena bandel dan akurasinya sangat baik. Saat ini AK47 digunakan secara terbatas di satuan-satuan TNI sebagai senjata latihan dan untuk misi-misi khusus. Latihan Dopper (merayap sambil ditembaki) Kopassus menggunakan senjata AK47 dengan alasan peluru kaliber 7,62 mm tidak akan pecah atau mental (rekoset) saat mengenai tanah. AK47 juga masih digunakan oleh Polairud.

Menurut SWATT-online.com (Persenjataan Kopassus, 14 Juni 2002), senapan yang dimiliki Kopassus adalah MP5, HK, AK47, Steyr AUG dan yang terbaru adalah SS-1 yang di modifikasi menjadi SS- 2000 (SS3-v1), menggunakan peluru 5,56 x 45 mm NATO/MU5 TJ Pindad. Kopassus juga memesan SS2 V5 Commando dan Brimob SS2 V5AI. Pengumpulan dan analisis intelijen strategis (Intelstrat) pada umumnya diawali dari perkembangan dunia internasional, yang menyempit ke regional, nasional dan provinsional.

Intelstrat merupakan ilmu yang membahas 9 komponen intelstrat.

Khusus ancaman terhadap bangsa dan negara Indonesia, kemudian Badan yang bertanggung jawab (BIN dan Bais TNI) menganalisa kemungkinan ancaman dikaitkan dengan perkembangan 9 komponen tadi di tanah air. Nah, dalam kasus terjadinya sebuah serangan bersenjata, Badan Intelstrat mendasarkan kirintelstrat (perkiraan intelijen strategis) serta keterkaitan ancaman dengan situasi yang berlaku.

Kirpat di Cebongan bisa terkait dengan beberapa kasus seperti persaingan kasus narkoba, premanisme, terorisme, dan balas dendam.

Ancaman terhadap Indonesia yang paling berbahaya dan merugikan dari luar kini adalah aliran narkoba, disusul terorisme, penyelundupan, pembajakan, pencucian uang (money laundering), masuknya sindikat penjahat internasional serta pembentukan kartel yang terkait dengan kelompok sindikat dunia internasional. Ancaman perang merupakan bagian lain dari komponen Intelstrat yaitu penyiapan negara dalam menghadapi kemungkinan konflik serta meningkatkan kekuatan pertahanan agar tercipta balance of power untuk meningkatkan bargaining power Indonesia dengan negaranegara tetangga.

Dari empat tahanan di Lapas Cebongan, yang ditembak mati kelompok bersenjata tersebut, salah satu korbannya adalah Yohanis Juan Mambait. Mabes Polri menyatakan, Juan merupakan mantan anggota Polresta Yogyakarta. Juan dipecat karena melakukan pelanggaran hukum. ”Namanya Juan. Dia dulu anggota Polresta Yogyakarta, Yohanis Juan Mambait alias Juan dipecat karena terlibat kasus narkoba,” kata Kabag Penum Mabes Polri, Kombes Pol Agus Riyanto, Sabtu (23/3).

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman menilai aksi penyerangan yang dilakukan kelompok bersenjata terhadap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, tidak dapat ditolerir. Mengenai dugaan oknum TNI sebagai pelaku penyerangan tersebut, menurutnya, dugaan demikian harus disertai bukti yang kuat.

”Kalau menduga kan bisa saja. Tetapi kan itu harus dibuktikan melalui suatu proses yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait,” katanya.

BIN, lanjutnya, mendukung kepolisian untuk melakukan proses penyelidikan. “Kita tunggu hasilnya,” tegasnya. Mengenai jenis peluru yang digunakan para pelaku, Marciano mengatakan kalau pelurunya kaliber 7,62 mm. Menurutnya, peluru kaliber 7,62 mm, bukan lagi standar TNI.Presiden SBY menilai, serangan kelompok bersenjata tersebut adalah persoalan serius. Kelompok itu telah menghancurkan sendi-sendi negara. Staf khusus Presiden bidang politik Daniel Sparinga, dalam pesan singkatnya, Selasa (26/3/2013) mengatakan, “Presiden SBY menyatakan pembunuhan brutal terhadap empat tahanan LP Cebongan di Sleman sebagai serangan langsung terhadap kewibawaan negara.” Kasus pembantaian bersenjata di LP Cebongan Sleman merupakan sebuah serangan yang dilakukan oleh sekelompok orang bersenjata lengkap, berupa senapan serbu, pistol serta beberapa granat.

Kelompok yang diperkirakan berjumlah antara 15-17 orang tersebut merencanakan penyerangan dengan rapi dan terencana baik.

Pola yang digunakan adalah sebuah serangan komando terlatih yang mampu memetakan dan menganalisa wilayah serangan dalam waktu singkat.

Mereka melengkapi cover dengan surat dari Polda DIY, dan kemudian melakukan penyerangan awal terhadap petugas Lapas. Intimidasi yang dilakukan, melukai tanpa membunuh adalah taktik penjatuhan mental petugas lapas (sipir penjara) yang mereka ketahui terbiasa dengan kehidupan keras. Kesengajaan melukai keseluruhan sipir membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Para sipir menjadi lemah dan tidak berdaya, kemudian pasrah dan menujukkan target yang dimaksud, yang langsung ditembak mati.

Menurut beberapa informasi, rangkaian serangan hanya memakan waktu selama 15 menit dan mereka mampu escape dengan aman tanpa hambatan.

Sebenarnya apa yang berada dibalik penyerangan mematikan tersebut? Seperti yang di prihatinkan presiden, serangan terhadap sebuah lapas adalah serangan terhadap kewibawaan negara. Pertanyaannya, apabila dikaitkan dengan kasus terbunuhnya Sertu Santoso yang tewas dibunuh keempat korban tadi, benarkah ada seseorang atau kelompok yang demikian nekat mengambil resiko menyerang lapas yang dijaga dan diketahui dilengkapi dengan senjata api, hanya untuk membalas kematian?. Sedangkan menurut Pangdam IV Diponegoro, Mayjen TNI Hardiono Saroso, Sertu Santoso saat terbunuh bukan anggota Kopassus lagi tetapi sudah dipindahkan menjadi anggota Detasemen Intel jajaran Kodam-IV. Berbeda kondisinya, esprit de corps patut diduga apabila Santoso masih aktif menjadi anggota Kopassus.

Menurut penulis, serangan ke Cebongan adalah serangan Teror yang dilakukan oleh personil yang berkemampuan melakukan penyerangan sekelas raid komando. Singkat, ringkas, sukses, kerugian kecil dan mission accomplished. Nampaknya serangan bukan hanya dendam dan aksi balas dendam belaka, ada tujuan yang lebih besar dibelakangnya.

Sebuah aksi teror terlebih apabila dilakukan kedalam instansi pemerintah yang dijaga dan dipersenjatai, menunjukkan bahwa pimpinan operasi (principle agent) akan menunjukkan dan mengirimkan pesan terhadap siapapun dan dimanapun bisa mereka sentuh dan cederai serta dihabisi. Setiap aksi teror bersenjata, merupakan event yang mahal bagi media. Kini kita lihat di media, kasus Cebongan terus diberitakan. Media elektronik mempunyai pengaruh kuat. Falsafah China yang terkenal menyebutkan “Bunuh satu dan menakutnakuti 10.000,” dapat ditulis ulang untuk dibaca“Bunuh satu dan menakut-nakuti10.000.000.” Jadiefekseranganterorsemacaminidemikian menggiriskan, menimbulkan rasa takut yang amat sangat.

Jaringan Narkoba gentayangan kemana-mana, Nusakambangan tempat tahanan kelas beratpun berhasil mereka taklukkan. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Narkotika Nusakambangan Marwan Adli mampu mereka dikte dan kendalikan. Tercatat dari hasil pengusutan, dua napi narkoba di Lapas itu, Hertoni dan Yoyok selama delapan tahun dapat dengan bebas mengendalikan bisnis haramnya dari dalam Lapas.

Setiap hari keduanya mendistribusikan 10 kg narkoba, dengan omset Rp 15 miliar. Pasarnya hingga ke luar negeri. Keduanya pun mendapat julukan “jenderal besar” di kalangan napi Nusakambangan.

Beritaterakhiryangberedar, bandarnarkobaF(35) yangditangkapBNN dengan mobil Porche Panamera di Jakarta, berusaha menyogok petugas BNN dengan imbalan Rp 10 miliar. F diketahui memiliki aset berupa 1 unit rumah di Raffles Hills Cibubur, Porsche Panemara nopol B 99 FAI, BMW 640i nopol B 99 FAL, Honda City nopol B 2229 GI, sebuah pom bensin, lahan yang ditaksir seharga Rp 10 miliar, ruko, dan hotel yang ditaksir seharga Rp 20 miliar. Properti tersebut seluruhnya berada di Aceh.

Nah, tanpa mengesampingkan faktor ancaman lainnya, sangat dimungkinkan dibelakang pembunuhan tersebut latar belakangnya adalah sebuah bisnis atau persaingan perdagangan narkoba. Salah satu korban yang mantan anggota Polri (Juan) juga dipecat karena terlibat masalah narkoba. Memang kita tidak bisa menyebutkan bahwa sebuah satuan terlibat, seperti yang diberitakan. Langsung menduga tanpa bukti yang nyata. Sebagai negara hukum, kejahatan sadis ini memang harus diusut tuntas. (*)

Kasus eksekusi kelompok bersenjata ke LP Cebongan Sleman nampaknya berbuntut panjang. Pihak Polri terus melakukan penyelidikan yang telah dimulai dari TKP, hingga kini belum mengumumkan hasilnya, hanya menyampaikan keterangan dari penemuan 31 selongsong peluru dan 16 anak peluru yang di TKP, kaliber yang dipergunakan diketahui berukuran 7,62 mm.

Oleh: PRAYITNO RAMELAN

KAPOLRI telah melaporkan kepada presiden semua hasil olah TKP, temuan selongsong peluru serta pemeriksaan 25 saksi. Semua masih terus didalami, hanya perlu waktu bagi laboratorium forensik untuk menyampaikan kesimpulannya. Polri selalu berangkat penyelidikan dan penyidikan dari Tempat Kejadian Perkara (TKP), aturan dan tehniknya memang demikian.

Penyelidikan dilakukan oleh intelijen taktis juga dari TKP dan dikembangkan melingkar keluar melebar ke area yang lebih luas, ke wilayah propinsi, nasional dan seterusnya. Berbeda dengan tehnik analisa intelijen strategis, yang memulai menganalisa dari sisi internasional, menyempit ke regional, nasional dan provinsional. Apabila intelijen strategis dan taktis di sinergikan, maka analisa keduanya akan bertemu disatu titik yang menghasilkan sebuah kesimpulan.

Nah, dalam kasus Cebongan, pergerakan intelijen taktis dan olah TKP oleh Polri jelas berangkat dari fakta-fakta lapangan, kesimpulan polisi harus tepat karena kasus hukum fakta dan bukti harus jelas, yaitu siapa korban, kasus-kasus yang melibatkan korban dalam beberapa waktu terakhir, bukti lain seperti saksi, HP, CCTV, longsong peluru, anak peluru, sidik jari dan banyak lainnya. Intelijen taktis menelusuri sebuah kasus dengan melihat fakta the past, the present, kaitan keduanya, yang apabila fakta penguat belum lengkap maka indikasi akan dipergunakan sebagai bahan penyelidikan lebih lanjut.

Langkah intelijen harus lebih cepat dibandingkan langkah hukum, maksudnya untuk mengetahui seberapa besar perkiraan ancaman yang ada. Dimaksudkan disini agar intelijen dapat memberikan input berupa kirpat (perkiraan cepat) untuk melokalisir dan melakukan counter kemungkinan ancaman yang lebih besar terhadap bangsa dan negara. Serangan bersenjata terhadap instansi pemerintah adalah kasus yang sangat serius.

Nampaknya para penyerang memang kelompok terlatih, melihat perlengkapan dan serangan terencana dengan baik. Mereka mendapat info akurat bahwa prominent target (target utama), yaitu Dicky (Deki) dan kawan-kawan berada di Lapas Cebongan Sleman. Kelompok penyerang memilikibapul (badan pengumpul informasi) yang cukup baik, karena mampu mendeteksi empat target mereka telah digeser ke LP Cebongan dari ruang tahanan Polda DIY.

Dari beberapa saksi, kelompok tersebut diketahui bersenjata panjang dan pendek (pistol) serta granat, menggunakan tutup muka (sebo), rompi anti peluru dan sarung tangan. Fakta penting yang didapat adalah senjata yang dipergunakan untuk melakukan eksekusi dari kaliber 7,62 mm. Di Indonesia, senjata yang ada dengan kaliber peluru tersebut adalah jenis AK47, SS-1 (Senapan Serbu) dari varian SS-1 Sabhara V1-V2. Senjata SS-1 adalah buatanPindad, SS-1diproduksi dalam 2 konfigurasi utama, yaitu senapan standard dan karabin pendek. Versi senapan standar disebut SS1-V1 (FNC “Standard” Model 2000) dan karabin disebut SS1-V2 (FNC “Short” Model 7000).

SS-1 varian V1 s/V5, R5 Raider (khusus pasukan Raider) serta Seri M (khusus Marinir), menggunakan peluru 5,56 x 45 mm. Khusus untuk Pengembangan varian SS-1 Sabhara ini dikhususkan untuk kepolisian, menggunakan peluru 7,62 x 45 mm Pindad, yaitu perlunya kemampuan melumpuhkan bukan membunuh, daya penetrasinya lebih rendah.

Siapa pemilik senjata-senjata dengan kaliber 7,62mm tersebut?.

Yang pertama adalah TNI, dimana kini AK47 secara umum sudah sudah digudangkan dan diganti dengan SS-1 Produksi Pindad. AK47 sering disebut sebagai senapan pembawa kebebasan, sangat dikenal di daerah konflik karena bandel dan akurasinya sangat baik. Saat ini AK47 digunakan secara terbatas di satuan-satuan TNI sebagai senjata latihan dan untuk misi-misi khusus. Latihan Dopper (merayap sambil ditembaki) Kopassus menggunakan senjata AK47 dengan alasan peluru kaliber 7,62 mm tidak akan pecah atau mental (rekoset) saat mengenai tanah. AK47 juga masih digunakan oleh Polairud.

Menurut SWATT-online.com (Persenjataan Kopassus, 14 Juni 2002), senapan yang dimiliki Kopassus adalah MP5, HK, AK47, Steyr AUG dan yang terbaru adalah SS-1 yang di modifikasi menjadi SS- 2000 (SS3-v1), menggunakan peluru 5,56 x 45 mm NATO/MU5 TJ Pindad. Kopassus juga memesan SS2 V5 Commando dan Brimob SS2 V5AI. Pengumpulan dan analisis intelijen strategis (Intelstrat) pada umumnya diawali dari perkembangan dunia internasional, yang menyempit ke regional, nasional dan provinsional.

Intelstrat merupakan ilmu yang membahas 9 komponen intelstrat.

Khusus ancaman terhadap bangsa dan negara Indonesia, kemudian Badan yang bertanggung jawab (BIN dan Bais TNI) menganalisa kemungkinan ancaman dikaitkan dengan perkembangan 9 komponen tadi di tanah air. Nah, dalam kasus terjadinya sebuah serangan bersenjata, Badan Intelstrat mendasarkan kirintelstrat (perkiraan intelijen strategis) serta keterkaitan ancaman dengan situasi yang berlaku.

Kirpat di Cebongan bisa terkait dengan beberapa kasus seperti persaingan kasus narkoba, premanisme, terorisme, dan balas dendam.

Ancaman terhadap Indonesia yang paling berbahaya dan merugikan dari luar kini adalah aliran narkoba, disusul terorisme, penyelundupan, pembajakan, pencucian uang (money laundering), masuknya sindikat penjahat internasional serta pembentukan kartel yang terkait dengan kelompok sindikat dunia internasional. Ancaman perang merupakan bagian lain dari komponen Intelstrat yaitu penyiapan negara dalam menghadapi kemungkinan konflik serta meningkatkan kekuatan pertahanan agar tercipta balance of power untuk meningkatkan bargaining power Indonesia dengan negaranegara tetangga.

Dari empat tahanan di Lapas Cebongan, yang ditembak mati kelompok bersenjata tersebut, salah satu korbannya adalah Yohanis Juan Mambait. Mabes Polri menyatakan, Juan merupakan mantan anggota Polresta Yogyakarta. Juan dipecat karena melakukan pelanggaran hukum. ”Namanya Juan. Dia dulu anggota Polresta Yogyakarta, Yohanis Juan Mambait alias Juan dipecat karena terlibat kasus narkoba,” kata Kabag Penum Mabes Polri, Kombes Pol Agus Riyanto, Sabtu (23/3).

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman menilai aksi penyerangan yang dilakukan kelompok bersenjata terhadap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, tidak dapat ditolerir. Mengenai dugaan oknum TNI sebagai pelaku penyerangan tersebut, menurutnya, dugaan demikian harus disertai bukti yang kuat.

”Kalau menduga kan bisa saja. Tetapi kan itu harus dibuktikan melalui suatu proses yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait,” katanya.

BIN, lanjutnya, mendukung kepolisian untuk melakukan proses penyelidikan. “Kita tunggu hasilnya,” tegasnya. Mengenai jenis peluru yang digunakan para pelaku, Marciano mengatakan kalau pelurunya kaliber 7,62 mm. Menurutnya, peluru kaliber 7,62 mm, bukan lagi standar TNI.Presiden SBY menilai, serangan kelompok bersenjata tersebut adalah persoalan serius. Kelompok itu telah menghancurkan sendi-sendi negara. Staf khusus Presiden bidang politik Daniel Sparinga, dalam pesan singkatnya, Selasa (26/3/2013) mengatakan, “Presiden SBY menyatakan pembunuhan brutal terhadap empat tahanan LP Cebongan di Sleman sebagai serangan langsung terhadap kewibawaan negara.” Kasus pembantaian bersenjata di LP Cebongan Sleman merupakan sebuah serangan yang dilakukan oleh sekelompok orang bersenjata lengkap, berupa senapan serbu, pistol serta beberapa granat.

Kelompok yang diperkirakan berjumlah antara 15-17 orang tersebut merencanakan penyerangan dengan rapi dan terencana baik.

Pola yang digunakan adalah sebuah serangan komando terlatih yang mampu memetakan dan menganalisa wilayah serangan dalam waktu singkat.

Mereka melengkapi cover dengan surat dari Polda DIY, dan kemudian melakukan penyerangan awal terhadap petugas Lapas. Intimidasi yang dilakukan, melukai tanpa membunuh adalah taktik penjatuhan mental petugas lapas (sipir penjara) yang mereka ketahui terbiasa dengan kehidupan keras. Kesengajaan melukai keseluruhan sipir membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Para sipir menjadi lemah dan tidak berdaya, kemudian pasrah dan menujukkan target yang dimaksud, yang langsung ditembak mati.

Menurut beberapa informasi, rangkaian serangan hanya memakan waktu selama 15 menit dan mereka mampu escape dengan aman tanpa hambatan.

Sebenarnya apa yang berada dibalik penyerangan mematikan tersebut? Seperti yang di prihatinkan presiden, serangan terhadap sebuah lapas adalah serangan terhadap kewibawaan negara. Pertanyaannya, apabila dikaitkan dengan kasus terbunuhnya Sertu Santoso yang tewas dibunuh keempat korban tadi, benarkah ada seseorang atau kelompok yang demikian nekat mengambil resiko menyerang lapas yang dijaga dan diketahui dilengkapi dengan senjata api, hanya untuk membalas kematian?. Sedangkan menurut Pangdam IV Diponegoro, Mayjen TNI Hardiono Saroso, Sertu Santoso saat terbunuh bukan anggota Kopassus lagi tetapi sudah dipindahkan menjadi anggota Detasemen Intel jajaran Kodam-IV. Berbeda kondisinya, esprit de corps patut diduga apabila Santoso masih aktif menjadi anggota Kopassus.

Menurut penulis, serangan ke Cebongan adalah serangan Teror yang dilakukan oleh personil yang berkemampuan melakukan penyerangan sekelas raid komando. Singkat, ringkas, sukses, kerugian kecil dan mission accomplished. Nampaknya serangan bukan hanya dendam dan aksi balas dendam belaka, ada tujuan yang lebih besar dibelakangnya.

Sebuah aksi teror terlebih apabila dilakukan kedalam instansi pemerintah yang dijaga dan dipersenjatai, menunjukkan bahwa pimpinan operasi (principle agent) akan menunjukkan dan mengirimkan pesan terhadap siapapun dan dimanapun bisa mereka sentuh dan cederai serta dihabisi. Setiap aksi teror bersenjata, merupakan event yang mahal bagi media. Kini kita lihat di media, kasus Cebongan terus diberitakan. Media elektronik mempunyai pengaruh kuat. Falsafah China yang terkenal menyebutkan “Bunuh satu dan menakutnakuti 10.000,” dapat ditulis ulang untuk dibaca“Bunuh satu dan menakut-nakuti10.000.000.” Jadiefekseranganterorsemacaminidemikian menggiriskan, menimbulkan rasa takut yang amat sangat.

Jaringan Narkoba gentayangan kemana-mana, Nusakambangan tempat tahanan kelas beratpun berhasil mereka taklukkan. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Narkotika Nusakambangan Marwan Adli mampu mereka dikte dan kendalikan. Tercatat dari hasil pengusutan, dua napi narkoba di Lapas itu, Hertoni dan Yoyok selama delapan tahun dapat dengan bebas mengendalikan bisnis haramnya dari dalam Lapas.

Setiap hari keduanya mendistribusikan 10 kg narkoba, dengan omset Rp 15 miliar. Pasarnya hingga ke luar negeri. Keduanya pun mendapat julukan “jenderal besar” di kalangan napi Nusakambangan.

Beritaterakhiryangberedar, bandarnarkobaF(35) yangditangkapBNN dengan mobil Porche Panamera di Jakarta, berusaha menyogok petugas BNN dengan imbalan Rp 10 miliar. F diketahui memiliki aset berupa 1 unit rumah di Raffles Hills Cibubur, Porsche Panemara nopol B 99 FAI, BMW 640i nopol B 99 FAL, Honda City nopol B 2229 GI, sebuah pom bensin, lahan yang ditaksir seharga Rp 10 miliar, ruko, dan hotel yang ditaksir seharga Rp 20 miliar. Properti tersebut seluruhnya berada di Aceh.

Nah, tanpa mengesampingkan faktor ancaman lainnya, sangat dimungkinkan dibelakang pembunuhan tersebut latar belakangnya adalah sebuah bisnis atau persaingan perdagangan narkoba. Salah satu korban yang mantan anggota Polri (Juan) juga dipecat karena terlibat masalah narkoba. Memang kita tidak bisa menyebutkan bahwa sebuah satuan terlibat, seperti yang diberitakan. Langsung menduga tanpa bukti yang nyata. Sebagai negara hukum, kejahatan sadis ini memang harus diusut tuntas. (*)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/