30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ups, Kabarnya Mau Dijadikan Mall

Banyak masyarakat yang bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Rumah Sakit Tembakau Deli saat ini. Mengapa bangunannya kosong, mengapa aktivitas dihentikan dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Seperti tanda tanya besar yang muncul dari seorang warga Binjai Km 12. Sierly Nolia (25) yang pernah dirawat di RSTD tersebut. “Saya sudah tahu lama RSTD ini tidak beroperasi lagi, yah sudah lama jugakan nampak sepi dan kosong. Namun saya tidak terlalu mengerti apan

masalah atau alasan ditutupnya RS ini. Kalau benar isunya mau dialihfungsikan sebagai mall, sayang sekali. Apalagi saat saya dirawat di sini karena kecelakaan beberapa tahun lalu, pelayanannya sangat bagus. Bukan hanya itu, nilai sejarah RS inikan juga tinggi, “ kata Sierly.

Yah, pertanyaan itu memang kerap dirasakan oleh masyarakat awam lainnya. Untuk melihat lebih dekat.  Pada tanggal 17 Oktober 2011, Dana Pensiun Perkebunan (Dapenbun) melayangkan surat kepada PTPN II tentang rencana penyelesaian kewajiban PTPN II. Surat tersebut adalah kelanjutan dari pertemuan antara direksi Dapenbun dengan direksi PTPN II pada tanggal 7 Juni 2011 lalu yang membahas tentang kondisi perdanaan dan kewajiban PTPN II kepada Dependum.

“Ini awal mula ditutupnya RSTD, surat dari Dapendum itu ada fotokopiannya sama kami. Ternyata sejak tahun 2010, saldo utangiuran PTPN II pertanggal 30 September 2011 kepada Dapenbun sebesar Rp 789.026.420.945. Ini tunggakan dari tahun 2003 sampai 2011,” kata Achiro Johan, seorang pegawai RSTD.

Sambil menunjukkan berkas dan lampiran, ia terus bercerita, “Untuk membayar utang-utang itulah, Direksi PTPN II memandang swap RSTD sebagai langkah yang optimalisasi aset dalam Penyelesaian Kewajiban PTPN II kepada Dapunbun. Itu dituangkan oleh direksi di surat Nomor II.0/Kpts/07/XI/2011, tanggal 4 November,” ujar Achiro yang juga sebagai bendahara  Serikat Pekerja RSTD ini.
Tidak hanya itu, Achiro menambahkan bahwa saat beberapa kali melakukan pertemuan dengan Direksi PTPN II bahwa RSTD juga selalu mengalami kerugian, sehingga tidak berguna lagi bila tetap diteruskan. “Direksi bilang, RSTD selalu merugi. Parahnya lagi, selama ini sejak tahun 2003 sampai saat ini, seluruh pegawai itu dipotong gajinya untuk Iuran Dana Pensiunan (IDP).  Jadi tidak tepat alasannya melakukan swap aset. Tapi akhirnya, RSTD ditutup pada tanggal 1 Januari 2012,” katanya.

Lanjutnya, setelah RSTD dinyatakan ditutup, ratusan pegawai biasa harus berhenti bekerja. Sementara itu, ia dan hampir 200 rekannya sebagai pegawai tetap dipindahtugaskan ke Klinik RSTD. Hal yang sama juga disampaikan oleh pensiunan PTPN II, HM Yusuf Sembiring, yang dahulunya menjabat sebagai Asisten Kepala (Askep) ini mengatakan, melalui surat dari Dapenbun, jumlah kekayaan PTPN II per 30 Juni 2012 tercatat Rp 178,4 miliar, dimana angka itu termaksud piutang iuran 3 bulan sebesar Rp 53,1 miliar, sehingga, hanya tinggal Rp 125,3 miliar.

“Jumlah peserta aktif PTPN II saat ini tercatat sebanyak 16.208 orang dan jumlah peserta pasif ada 17.664 orang. Bilamana tidak tercapai penyelesaian tunggakan iuran tersebut, diperkirakan pada bulan pebruari 2015 kekayaan PTPN2 akan habis dan pembayaran manfaat pensiunan untuk 21.878 orang pensiunan terhenti dan manfaat pensiunan paserta aktif sebanyak 12.090 orang tidak akan terbayar,” katanya saat ditemui disela-sela diskusi bersama beberapa rekannya di Jalan Sei Musi Medan, beberapa hari lalu.

Tidak hanya itu, uang bulanan atau uang beras yang biasnya mereka dapatkan, sudah tidak mereka dapatkan lagi sejak tahun 2008 lalu. “Kita kecewa karena dengan Direksi PTPN II, uang pensiunan serta uang bulanan atau uang beras perbulan itu bukan sebuah belas kasihan, tapi itu memang hak para pensiunan yang berasal dari uang yang sudah belasan tahun tersimpan yang dipotong dari gaji pensiunan. Tapi itu telah dihentikan, dan uang pensiunan tidak lagi dibayar pada tahun 2015 nanti,” katanya.

Menambahkan, Edith Dumasi Tobing Nababan, istri mantan Inpekstur Kepala Bagian Pengembangan PTPN II, tahun 1984-1987,  Sahat Luban Tobing mengatakan bahwa hal yang dilakukan oleh Direksi PTPN II tidak menghargai para pensiunan. Bahkan rencana penjualan RSTD untuk melunasi utang kepada Dapenbun karena dianggap RSTD tidak menghasilkan keuntungan adalah salah. Karena menurut pengamatan mantan dekan FE USU, Tafbu Ritonga bahwa selain meningkatkan dan memelihara kesehatan warga Sumut, RSTD juga menghasilkan Rp3 Miliar tiap tahun dan sanggup memberikan bonus kepada karyawan sebesar Rp2 juta per tahun.

“Tapi nyatanya, seperti disambar petir, kami sangat terkejut dan merasa sangat dirugikan dan dihinakan karena tanggal 1 Januari 2012 lalu, RSTD milik Negara RI yang dipersayakan dikelola oleh salah satu badan perusahaan milik Negara, PTPN2 akan ditutup dengan alasan yang diberitahukan ke para karyawan bahwa RS merugi,” katanya.

Lanjutnya, pensiunan yang ingin berobat pun disarankan untuk ke Tanjungmorawa yang akreditasnya adalah C. “Bahkan di sana, dokter spesialisnya hanya datang siang, itupun sudah habis tenaganya, karena sudah capek di Medan, bahkan fasilitasnya tidak sama seperti RSTD dahulu, yang memeiliki kamar operasi, laboratorium, farmasi, ISU, spesialis ronsen dan lainnya,” katanya.

Segala upaya dilakukan untuk dapat mencegah dihancurkan atau dialihfungsikannya RSTD. Beberapa pegawai RSTD juga telah melaporkan hal ini kepada Lembaga Bantuan Hukum. Melihat keseriusan ini, aktivis di Medan juga membentuk Aliansi Gerakan Penyelamat RSTD. Berbagai kegiatan sebagai aksi penyelamatan RS dilakukan, baik mengumpulkan poin, lomba foto, tulisan dan beberapa usaha lainnya. Hanya satu tujuan ‘Kembalikan RSTD’.

Bicara secara normatif, dengan lahirnya Perda Nomor 2 tahun 2012, tentang perlindungan bangunan bersejarah di Kota Medan, juga telah ditetepkannya RSTD sebagai tempat bersejarah urutan ke-34, seharusnya sudah tidak dibenarkan lagi adanya perlakuan apapun, khususnya perlakuan yang mengarah pada bentuk penghancuran.
Hal ini disampaikan oleh Edi Ikhsan, selaku kordinator Gerakan Penyelamat RSTD kepada Sumut Pos di Medan, Sabtu, (18/5) lalu. “Seharusnya pihak kepolisian dan aparat hukum lainnya, sudah bisa bekerja untuk menguak ada apa sebenarnya yang terjadi terkait RSTD ini,” katanya.

Lanjutnya, Edy mengaku ia pernah ditunjukkan oleh Direktur keuangan PTPN II, Naif Ali Dabul sebuah market bangunan yang disebutkan sebagai Medan Town Square. “Saya ditunjukkan loh melalui ipadnya. Di situ, bangunannya habis, hanya ada satu tower,” katanya. Tower itu nantinya akan diberi nama sesuai dengan nama pengusaha di Medan yang sebelumnya telah menguasai gedung Tembakau Deli PTPN IX. “Nah, itu diambil lagi dan ditukar oleh tower itu,” katanya.
Kalau tidak mampu, tambahnya, PTPN II seharusnya dapat menyerahkan RSTD ke Negara. “Karena menurut Perda itu, bangunan bersejarah lebih dari 50 tahun ada kewajiban negara untuk melindunginya. Bayangkan saja, usia RSTD itu sudah sama dengan usia kota Medan. Tahun 1870 sampai tahun 2013 udah berapa tahun. Atau bisa saja dikoordinasikan oleh swasta, tapi harus tetap difungsikan. Ada yang bilang mau diubah, wah itu sulit, RSTD ini dibuat untuk kesehatan bukan mall atau diskotik. “Bayangi aja nanti mayat-mayat itu ikut masuk ke diskotek,” ujar Edi sembali tertawa. (bersambung)

Banyak masyarakat yang bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Rumah Sakit Tembakau Deli saat ini. Mengapa bangunannya kosong, mengapa aktivitas dihentikan dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Seperti tanda tanya besar yang muncul dari seorang warga Binjai Km 12. Sierly Nolia (25) yang pernah dirawat di RSTD tersebut. “Saya sudah tahu lama RSTD ini tidak beroperasi lagi, yah sudah lama jugakan nampak sepi dan kosong. Namun saya tidak terlalu mengerti apan

masalah atau alasan ditutupnya RS ini. Kalau benar isunya mau dialihfungsikan sebagai mall, sayang sekali. Apalagi saat saya dirawat di sini karena kecelakaan beberapa tahun lalu, pelayanannya sangat bagus. Bukan hanya itu, nilai sejarah RS inikan juga tinggi, “ kata Sierly.

Yah, pertanyaan itu memang kerap dirasakan oleh masyarakat awam lainnya. Untuk melihat lebih dekat.  Pada tanggal 17 Oktober 2011, Dana Pensiun Perkebunan (Dapenbun) melayangkan surat kepada PTPN II tentang rencana penyelesaian kewajiban PTPN II. Surat tersebut adalah kelanjutan dari pertemuan antara direksi Dapenbun dengan direksi PTPN II pada tanggal 7 Juni 2011 lalu yang membahas tentang kondisi perdanaan dan kewajiban PTPN II kepada Dependum.

“Ini awal mula ditutupnya RSTD, surat dari Dapendum itu ada fotokopiannya sama kami. Ternyata sejak tahun 2010, saldo utangiuran PTPN II pertanggal 30 September 2011 kepada Dapenbun sebesar Rp 789.026.420.945. Ini tunggakan dari tahun 2003 sampai 2011,” kata Achiro Johan, seorang pegawai RSTD.

Sambil menunjukkan berkas dan lampiran, ia terus bercerita, “Untuk membayar utang-utang itulah, Direksi PTPN II memandang swap RSTD sebagai langkah yang optimalisasi aset dalam Penyelesaian Kewajiban PTPN II kepada Dapunbun. Itu dituangkan oleh direksi di surat Nomor II.0/Kpts/07/XI/2011, tanggal 4 November,” ujar Achiro yang juga sebagai bendahara  Serikat Pekerja RSTD ini.
Tidak hanya itu, Achiro menambahkan bahwa saat beberapa kali melakukan pertemuan dengan Direksi PTPN II bahwa RSTD juga selalu mengalami kerugian, sehingga tidak berguna lagi bila tetap diteruskan. “Direksi bilang, RSTD selalu merugi. Parahnya lagi, selama ini sejak tahun 2003 sampai saat ini, seluruh pegawai itu dipotong gajinya untuk Iuran Dana Pensiunan (IDP).  Jadi tidak tepat alasannya melakukan swap aset. Tapi akhirnya, RSTD ditutup pada tanggal 1 Januari 2012,” katanya.

Lanjutnya, setelah RSTD dinyatakan ditutup, ratusan pegawai biasa harus berhenti bekerja. Sementara itu, ia dan hampir 200 rekannya sebagai pegawai tetap dipindahtugaskan ke Klinik RSTD. Hal yang sama juga disampaikan oleh pensiunan PTPN II, HM Yusuf Sembiring, yang dahulunya menjabat sebagai Asisten Kepala (Askep) ini mengatakan, melalui surat dari Dapenbun, jumlah kekayaan PTPN II per 30 Juni 2012 tercatat Rp 178,4 miliar, dimana angka itu termaksud piutang iuran 3 bulan sebesar Rp 53,1 miliar, sehingga, hanya tinggal Rp 125,3 miliar.

“Jumlah peserta aktif PTPN II saat ini tercatat sebanyak 16.208 orang dan jumlah peserta pasif ada 17.664 orang. Bilamana tidak tercapai penyelesaian tunggakan iuran tersebut, diperkirakan pada bulan pebruari 2015 kekayaan PTPN2 akan habis dan pembayaran manfaat pensiunan untuk 21.878 orang pensiunan terhenti dan manfaat pensiunan paserta aktif sebanyak 12.090 orang tidak akan terbayar,” katanya saat ditemui disela-sela diskusi bersama beberapa rekannya di Jalan Sei Musi Medan, beberapa hari lalu.

Tidak hanya itu, uang bulanan atau uang beras yang biasnya mereka dapatkan, sudah tidak mereka dapatkan lagi sejak tahun 2008 lalu. “Kita kecewa karena dengan Direksi PTPN II, uang pensiunan serta uang bulanan atau uang beras perbulan itu bukan sebuah belas kasihan, tapi itu memang hak para pensiunan yang berasal dari uang yang sudah belasan tahun tersimpan yang dipotong dari gaji pensiunan. Tapi itu telah dihentikan, dan uang pensiunan tidak lagi dibayar pada tahun 2015 nanti,” katanya.

Menambahkan, Edith Dumasi Tobing Nababan, istri mantan Inpekstur Kepala Bagian Pengembangan PTPN II, tahun 1984-1987,  Sahat Luban Tobing mengatakan bahwa hal yang dilakukan oleh Direksi PTPN II tidak menghargai para pensiunan. Bahkan rencana penjualan RSTD untuk melunasi utang kepada Dapenbun karena dianggap RSTD tidak menghasilkan keuntungan adalah salah. Karena menurut pengamatan mantan dekan FE USU, Tafbu Ritonga bahwa selain meningkatkan dan memelihara kesehatan warga Sumut, RSTD juga menghasilkan Rp3 Miliar tiap tahun dan sanggup memberikan bonus kepada karyawan sebesar Rp2 juta per tahun.

“Tapi nyatanya, seperti disambar petir, kami sangat terkejut dan merasa sangat dirugikan dan dihinakan karena tanggal 1 Januari 2012 lalu, RSTD milik Negara RI yang dipersayakan dikelola oleh salah satu badan perusahaan milik Negara, PTPN2 akan ditutup dengan alasan yang diberitahukan ke para karyawan bahwa RS merugi,” katanya.

Lanjutnya, pensiunan yang ingin berobat pun disarankan untuk ke Tanjungmorawa yang akreditasnya adalah C. “Bahkan di sana, dokter spesialisnya hanya datang siang, itupun sudah habis tenaganya, karena sudah capek di Medan, bahkan fasilitasnya tidak sama seperti RSTD dahulu, yang memeiliki kamar operasi, laboratorium, farmasi, ISU, spesialis ronsen dan lainnya,” katanya.

Segala upaya dilakukan untuk dapat mencegah dihancurkan atau dialihfungsikannya RSTD. Beberapa pegawai RSTD juga telah melaporkan hal ini kepada Lembaga Bantuan Hukum. Melihat keseriusan ini, aktivis di Medan juga membentuk Aliansi Gerakan Penyelamat RSTD. Berbagai kegiatan sebagai aksi penyelamatan RS dilakukan, baik mengumpulkan poin, lomba foto, tulisan dan beberapa usaha lainnya. Hanya satu tujuan ‘Kembalikan RSTD’.

Bicara secara normatif, dengan lahirnya Perda Nomor 2 tahun 2012, tentang perlindungan bangunan bersejarah di Kota Medan, juga telah ditetepkannya RSTD sebagai tempat bersejarah urutan ke-34, seharusnya sudah tidak dibenarkan lagi adanya perlakuan apapun, khususnya perlakuan yang mengarah pada bentuk penghancuran.
Hal ini disampaikan oleh Edi Ikhsan, selaku kordinator Gerakan Penyelamat RSTD kepada Sumut Pos di Medan, Sabtu, (18/5) lalu. “Seharusnya pihak kepolisian dan aparat hukum lainnya, sudah bisa bekerja untuk menguak ada apa sebenarnya yang terjadi terkait RSTD ini,” katanya.

Lanjutnya, Edy mengaku ia pernah ditunjukkan oleh Direktur keuangan PTPN II, Naif Ali Dabul sebuah market bangunan yang disebutkan sebagai Medan Town Square. “Saya ditunjukkan loh melalui ipadnya. Di situ, bangunannya habis, hanya ada satu tower,” katanya. Tower itu nantinya akan diberi nama sesuai dengan nama pengusaha di Medan yang sebelumnya telah menguasai gedung Tembakau Deli PTPN IX. “Nah, itu diambil lagi dan ditukar oleh tower itu,” katanya.
Kalau tidak mampu, tambahnya, PTPN II seharusnya dapat menyerahkan RSTD ke Negara. “Karena menurut Perda itu, bangunan bersejarah lebih dari 50 tahun ada kewajiban negara untuk melindunginya. Bayangkan saja, usia RSTD itu sudah sama dengan usia kota Medan. Tahun 1870 sampai tahun 2013 udah berapa tahun. Atau bisa saja dikoordinasikan oleh swasta, tapi harus tetap difungsikan. Ada yang bilang mau diubah, wah itu sulit, RSTD ini dibuat untuk kesehatan bukan mall atau diskotik. “Bayangi aja nanti mayat-mayat itu ikut masuk ke diskotek,” ujar Edi sembali tertawa. (bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/