25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Temukan Arti Hidup di Kota Medan

Baby Rivona, Pengidap HIV/AIDS yang Memiliki Masa Lalu Kelam

Masa lalu yang kelam membuat Baby Rivona terjangkit HIV/AIDS. Namun, itu tak membuat dirinya putus asa. Dia tetap menjalani hidupnya dengan semangat. Dia menikah dengan sesama pengidap HIV dan punya anak. Tapi, berkat upayanya yang gigih, tak satu pun anaknya tertular.

 AGUNG P-THOMAS K, Jakarta

Penampilan Baby tidak seperti mereka yang sedang sakit serius. Pembawaannya riang, ceria, bahkan sering melontarkan guyonan. Rambutnya disemir semu cokelat dengan beberapa gelang dari anyaman tali di pergelangan tangan kanan. Ibu dua anak tersebut tak terlihat sedang menanggung penyakit berat yang bisa melumpuhkan sistem kekebalan tubuh itu.

“Saya ingin memberikan pemahaman bahwa HIV/AIDS tidak akan pernah mencuri semangat hidup kita,” kata Baby saat ditemui di Sekretariat Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) di Menara Topas, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (26/10).

Ruangan IPPI lumayan mungil. Seukuran 4×4 meter persegi. Tapi, ruangan mungil itu tak membuat kiprah organisasi yang didirikan Baby tersebut menjadi terbatas. Dia memiliki jaringan aktivis HIV/AIDS  dari berbagai pelosok daerah. Bahkan, sebelum IPPI, dia mendirikan Permata (Perempuan Medan Tegar) untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di kawasan Sumatera Utara.

Selain aktif memberikan sosialisasi agar masyarakat tidak paranoid dengan HIV/AIDS, Baby getol menyosialisasikan bahwa para ODHA juga bisa memiliki anak yang negatif HIV/AIDS. Caranya, penanganan prakehamilan dan terapi ARV (antiretroviral, obat untuk menekan perkembangan virus HIV pada ODHA). Jika sang ibu tidak mengalami infeksi selama kehamilan, sangat mungkin jabang bayi tidak diwarisi virus tersebut.

Baby mencontohkan pengalaman dirinya. Di tengah aktivitas advokasi ODHA di Medan, dirinya bertemu soulmate-nya di ibu kota Sumatera Utara itu. Dia mengetahui bahwa calon suaminya tersebut positif HIV. Namun, mereka tetap memutuskan untuk menikah pada 2006. “Saat lagi ngobrol-ngobrol itu, kami bercanda gimana ya kalau kita punya anak,” ujarnya lantas terkekeh.

Suami Baby sempat khawatir. Sebab, virus di tubuh mereka bisa ikut bermigrasi kepada anaknya. Sang suami cemas si anak akan kaget dan down begitu lahir membawa virus mematikan tersebut. “Saya justru santai. Di luar negeri, anak-anak positif HIV tetap bisa hidup sampai usia 20-an tahun. Sekarang juga ada ARV yang berbentuk sirup,” jelas lulusan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Bandung pada 1994 tersebut.

Mereka berdua akhirnya bersepakat untuk memiliki keturunan. Namun, mereka berusaha agar anaknya tidak ikut-ikutan positif HIV. Sebelum hamil, Baby rutin menjalani terapi ARV. Dia juga terus menjaga kondisi tubuhnya agar terhindar dari penyakit-penyakit yang bisa menimbulkan infeksi.

Akhirnya, suatu ketika dia terlambat haid. Perempuan 43 tahun itu lantas memeriksakan diri ke dokter. Dia khawatir terjadi infeksi pada tubuhnya. Dokter kemudian menyatakan bahwa kandungan Baby sudah berusia tiga bulan. “Saya kaget. Ternyata, becandaan kita jadi beneran,” katanya lantas tersenyum.

Tak ingin jabang bayi mewarisi virus, Baby terus kontrol kesehatan. Dia juga melanjutkan terapi ARV. Jangan sampai konsumsi obat dua kali dalam 24 jam itu terlambat. Sebab, selain jabang bayi bisa terancam, virus tersebut bisa jadi resistan alias kebal terhadap obat-obatan. Akhirnya, pada 2009, bayi cowok tersebut lahir. Yang membuat mereka sangat bahagia, bayi itu ternyata negatif HIV.

Sang suami gembira bukan main. Kekhawatirannya selama ini tidak terbukti. Begitu juga Baby. Memiliki anak negatif HIV dari pernikahan sesama ODHA sangat berarti bagi dirinya. “Anak saya negatif, bagi saya sudah alhamdulillah banget,” katanya.

Saat baru lahir, Baby meminta dokter untuk mengetes anaknya dengan pemeriksaan viral load alias tes HIV RNA. Tes tersebut menguji muatan virus di darah bayi. Hasilnya negatif. Baby sengaja tidak memeriksa anaknya dengan tes HIV ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) alias tes uji kekebalan tubuh. Untuk bayi di bawah usia 18 bulan, tes tersebut biasanya kurang akurat. Sebab, kekebalan tubuh bayi biasanya masih mengikuti sistem ibu yang mengandung.
“Setelah lebih dari 18 bulan, saya tes pakai ELISA lagi. Ternyata juga negatif. Sebab, setelah lebih dari 18 bulan, sistem kekebalan tubuh mereka sudah mandiri, tidak ikut ibu yang mengandung dia,” jelasnya.

Masa lalu Baby memang kelam. Dia berasal dari keluarga broken home. Baby bahkan secara satir menyebut dirinya ‘ditakdirkan sebagai pengguna obat-obatan’. “Bayangin aja, kelas 5 SD sudah kenal rokok, SMP sudah tahu alkohol, nge-pil, ekstasi, dan sebagainya,” ungkapnya.

Saat berusia 18 tahun, Baby kawin lari dengan temannya satu SMA pada 1986. Pernikahan tersebut tidak pernah direstui orangtuanya. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang putri manis. Baby sempat bekerja sebagai public relation di sebuah perusahaan. Saat itu pula, kadang-kadang dia menyambi mengonsumsi heroin.

Candu heroin juga membuat rumah tangganya berantakan. Dia sering kedapatan mengonsumsi heroin di depan anaknya. Akhirnya, dia menyerah. Dia tidak ingin putri kesayangannya itu terkena imbas negatif. “Saya bilang kepada suami, saya titip anak. Saya sedang tidak bisa mengontrol diri saya. Saya akan kembali menjemput dia kalau sudah baik,” ungkapnya. Mereka akhirnya bercerai pada 1993.

Awal 2000, pemerintah sedang getol memberantas peredaran narkoba. Baby yang takut bukan kepalang pun kabur ke Medan. Di sana, dia mendaftar ke sebuah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Saat itulah kali terakhir Baby membuang semua perkakas untuk mengonsumsi obat-obatan.

Selama tinggal di asrama PJTKI, Baby mengalami sakauw berat. Dia bahkan jumpalitan tidak keruan. “Saya tidur di pojok sini, tiba-tiba bangun di ujung yang lain. Rasanya mau lompat saja dari lantai tiga,” katanya.

Tapi, sakauw tersebut hanya bertahan seminggu. Dua minggu kemudian, dia mulai bisa tidur nyenyak. Pada minggu ketiga, dia mulai bisa makan teratur. Akhirnya, dia ke Malaysia dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) pada 2002. Setahun kemudian, ketika sedang menjalani pemeriksaan kesehatan untuk memperpanjang kontrak kerjanya, baru diketahui bahwa Baby positif HIV.

“Rasanya, saat itu saya merasa besok pasti mati. Setelah bertemu teman-teman aktivis HIV di Medan, saya sadar bahwa kita harus ikhlas menerima situasi apa pun. Tuhan tetap bersama kita selama kita tidak menyalahkan orang-orang dan percaya bahwa ini adalah yang terbaik untuk saya,” katanya.(*)

Baby Rivona, Pengidap HIV/AIDS yang Memiliki Masa Lalu Kelam

Masa lalu yang kelam membuat Baby Rivona terjangkit HIV/AIDS. Namun, itu tak membuat dirinya putus asa. Dia tetap menjalani hidupnya dengan semangat. Dia menikah dengan sesama pengidap HIV dan punya anak. Tapi, berkat upayanya yang gigih, tak satu pun anaknya tertular.

 AGUNG P-THOMAS K, Jakarta

Penampilan Baby tidak seperti mereka yang sedang sakit serius. Pembawaannya riang, ceria, bahkan sering melontarkan guyonan. Rambutnya disemir semu cokelat dengan beberapa gelang dari anyaman tali di pergelangan tangan kanan. Ibu dua anak tersebut tak terlihat sedang menanggung penyakit berat yang bisa melumpuhkan sistem kekebalan tubuh itu.

“Saya ingin memberikan pemahaman bahwa HIV/AIDS tidak akan pernah mencuri semangat hidup kita,” kata Baby saat ditemui di Sekretariat Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) di Menara Topas, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (26/10).

Ruangan IPPI lumayan mungil. Seukuran 4×4 meter persegi. Tapi, ruangan mungil itu tak membuat kiprah organisasi yang didirikan Baby tersebut menjadi terbatas. Dia memiliki jaringan aktivis HIV/AIDS  dari berbagai pelosok daerah. Bahkan, sebelum IPPI, dia mendirikan Permata (Perempuan Medan Tegar) untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di kawasan Sumatera Utara.

Selain aktif memberikan sosialisasi agar masyarakat tidak paranoid dengan HIV/AIDS, Baby getol menyosialisasikan bahwa para ODHA juga bisa memiliki anak yang negatif HIV/AIDS. Caranya, penanganan prakehamilan dan terapi ARV (antiretroviral, obat untuk menekan perkembangan virus HIV pada ODHA). Jika sang ibu tidak mengalami infeksi selama kehamilan, sangat mungkin jabang bayi tidak diwarisi virus tersebut.

Baby mencontohkan pengalaman dirinya. Di tengah aktivitas advokasi ODHA di Medan, dirinya bertemu soulmate-nya di ibu kota Sumatera Utara itu. Dia mengetahui bahwa calon suaminya tersebut positif HIV. Namun, mereka tetap memutuskan untuk menikah pada 2006. “Saat lagi ngobrol-ngobrol itu, kami bercanda gimana ya kalau kita punya anak,” ujarnya lantas terkekeh.

Suami Baby sempat khawatir. Sebab, virus di tubuh mereka bisa ikut bermigrasi kepada anaknya. Sang suami cemas si anak akan kaget dan down begitu lahir membawa virus mematikan tersebut. “Saya justru santai. Di luar negeri, anak-anak positif HIV tetap bisa hidup sampai usia 20-an tahun. Sekarang juga ada ARV yang berbentuk sirup,” jelas lulusan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Bandung pada 1994 tersebut.

Mereka berdua akhirnya bersepakat untuk memiliki keturunan. Namun, mereka berusaha agar anaknya tidak ikut-ikutan positif HIV. Sebelum hamil, Baby rutin menjalani terapi ARV. Dia juga terus menjaga kondisi tubuhnya agar terhindar dari penyakit-penyakit yang bisa menimbulkan infeksi.

Akhirnya, suatu ketika dia terlambat haid. Perempuan 43 tahun itu lantas memeriksakan diri ke dokter. Dia khawatir terjadi infeksi pada tubuhnya. Dokter kemudian menyatakan bahwa kandungan Baby sudah berusia tiga bulan. “Saya kaget. Ternyata, becandaan kita jadi beneran,” katanya lantas tersenyum.

Tak ingin jabang bayi mewarisi virus, Baby terus kontrol kesehatan. Dia juga melanjutkan terapi ARV. Jangan sampai konsumsi obat dua kali dalam 24 jam itu terlambat. Sebab, selain jabang bayi bisa terancam, virus tersebut bisa jadi resistan alias kebal terhadap obat-obatan. Akhirnya, pada 2009, bayi cowok tersebut lahir. Yang membuat mereka sangat bahagia, bayi itu ternyata negatif HIV.

Sang suami gembira bukan main. Kekhawatirannya selama ini tidak terbukti. Begitu juga Baby. Memiliki anak negatif HIV dari pernikahan sesama ODHA sangat berarti bagi dirinya. “Anak saya negatif, bagi saya sudah alhamdulillah banget,” katanya.

Saat baru lahir, Baby meminta dokter untuk mengetes anaknya dengan pemeriksaan viral load alias tes HIV RNA. Tes tersebut menguji muatan virus di darah bayi. Hasilnya negatif. Baby sengaja tidak memeriksa anaknya dengan tes HIV ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) alias tes uji kekebalan tubuh. Untuk bayi di bawah usia 18 bulan, tes tersebut biasanya kurang akurat. Sebab, kekebalan tubuh bayi biasanya masih mengikuti sistem ibu yang mengandung.
“Setelah lebih dari 18 bulan, saya tes pakai ELISA lagi. Ternyata juga negatif. Sebab, setelah lebih dari 18 bulan, sistem kekebalan tubuh mereka sudah mandiri, tidak ikut ibu yang mengandung dia,” jelasnya.

Masa lalu Baby memang kelam. Dia berasal dari keluarga broken home. Baby bahkan secara satir menyebut dirinya ‘ditakdirkan sebagai pengguna obat-obatan’. “Bayangin aja, kelas 5 SD sudah kenal rokok, SMP sudah tahu alkohol, nge-pil, ekstasi, dan sebagainya,” ungkapnya.

Saat berusia 18 tahun, Baby kawin lari dengan temannya satu SMA pada 1986. Pernikahan tersebut tidak pernah direstui orangtuanya. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang putri manis. Baby sempat bekerja sebagai public relation di sebuah perusahaan. Saat itu pula, kadang-kadang dia menyambi mengonsumsi heroin.

Candu heroin juga membuat rumah tangganya berantakan. Dia sering kedapatan mengonsumsi heroin di depan anaknya. Akhirnya, dia menyerah. Dia tidak ingin putri kesayangannya itu terkena imbas negatif. “Saya bilang kepada suami, saya titip anak. Saya sedang tidak bisa mengontrol diri saya. Saya akan kembali menjemput dia kalau sudah baik,” ungkapnya. Mereka akhirnya bercerai pada 1993.

Awal 2000, pemerintah sedang getol memberantas peredaran narkoba. Baby yang takut bukan kepalang pun kabur ke Medan. Di sana, dia mendaftar ke sebuah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Saat itulah kali terakhir Baby membuang semua perkakas untuk mengonsumsi obat-obatan.

Selama tinggal di asrama PJTKI, Baby mengalami sakauw berat. Dia bahkan jumpalitan tidak keruan. “Saya tidur di pojok sini, tiba-tiba bangun di ujung yang lain. Rasanya mau lompat saja dari lantai tiga,” katanya.

Tapi, sakauw tersebut hanya bertahan seminggu. Dua minggu kemudian, dia mulai bisa tidur nyenyak. Pada minggu ketiga, dia mulai bisa makan teratur. Akhirnya, dia ke Malaysia dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) pada 2002. Setahun kemudian, ketika sedang menjalani pemeriksaan kesehatan untuk memperpanjang kontrak kerjanya, baru diketahui bahwa Baby positif HIV.

“Rasanya, saat itu saya merasa besok pasti mati. Setelah bertemu teman-teman aktivis HIV di Medan, saya sadar bahwa kita harus ikhlas menerima situasi apa pun. Tuhan tetap bersama kita selama kita tidak menyalahkan orang-orang dan percaya bahwa ini adalah yang terbaik untuk saya,” katanya.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/