25 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

 “Aku akan baik-baik saja,” kataku sambil tersenyum. Walau palsu, itulah terakhir kali aku dapat tersenyum. Senyum yang sengaja kutempel di bibirku agar kau benar-benar yakin bahwa aku memang baik-baik saja. Senyum yang kuharap dapat memantapkan hatimu saat meninggalkanku. Aku tidak benar-benar yakin bahwa kau tidak menyadari senyum palsu itu. Yang pasti, kulihat kau juga tersenyum, berbalik, lalu melangkah.

Oleh: DEDY PURWONO 

“AKU akan baik-baik saja, kataku sambil tersenyum.

Baik-baiksaja. Sungguh mudah kalimat itu kuucap. Semudah menempelkan senyum palsu itu di bibirku. Tapi kenyataannya? Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Kalau memang aku baik-baik, tentu saat ini, aku pasti sudah bisa tersenyum. Nyatanya, sudah lebih dari satu tahun ini aku tidak tersenyum.

Atau tepatnya, tidak bisa tersenyum. Entah mengapa, walau telah kucoba sekuat tenaga, bibirku tak mampu lagi menyunggingkan senyum. Bahkan, senyum palsu sekalipun.

Jadi, itulah terakhir kali aku tersenyum. Senyum yang menjadi instrumen langkah kakimu yang kian menjauh.

*** Aku mengerjap-kerjapkan mataku. Kutemukan sosokmu yang sesenggukan di depan cermin di sudut kamar. Setengah telanjang. Hanya mengenakan bra dan celana dalam. Tidak jauh beda denganku yang hanya mengenakan celana pendek.

Aku bangkit dari ranjang yang sepreinya acakacakan itu. Decit langkah kakiku membuatmu menoleh. Beberapa detik kemudian, aku telah larut dalam dekapmu. Pori-pori di dadaku menangkap bulir hangat yang menitik dari sepasang matamu yang sendu.

“Mas…,” hanya kata, yang lebih mirip desahan itulah yang keluar dari bibirmu.

“Aku pasti akan bertanggung jawab,” ucapku dengan nada tergetar. Getar yang mengandung keraguan.

Kurasakan dekapmu yang semakin erat. Aku tau, di luar, matahari telah meninggi. Namun, udara di Kaliurang tetap dingin. Dan tanpa bisa kita cegah, adegan semalam itu, terulang pagi ini.

1 Januari tahun ini, kuawali dengan menodaimu.

*** “Aku tidak akan menikah selain denganmu. Kalaupun aku menikahi perempuan lain, itu hanya akan kulakukan setelah melihatmu menikah,” begitulah janji yang meluncur dari mulutku, seminggu setelah peristiwa di malam tahun baru itu. Kali ini, aku mengucapkannya dengan penuh kesungguhan.

Aku memang benar-benar mencintaimu.

Dan aku menyesal telah menodaimu. Tapi, dalam kisah manapun, penyesalan selalu datang terlambat.

*** Setelah itu, hubungan kita kembali seperti sedia kala. Seperti saat sebelum malam yang menorehkan nyeri yang begitu indah itu. Aku mencoba selalu ada di sampingmu. Begitupun sebaliknya, kau luangkan waktumu untuk selalu ada dalam setiap langkahku.

Semangat yang saling terjaga membuat waktu untuk menyelesaikan studi menjadi terasa lebih singkat. Kita berhasil lulus pada periode yang sama.

Atau lebih tepatnya, memang kita usahakan sama.

Kita bahkan sama-sama meraih predikat cumlaude.

Aku dengan gelar S.S, kau menyandang gelar S.I.P.

*** Sementara kau melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, aku memilih untuk menempuh pendidikan akta IV. Pikirku, di tahun-tahun ini, pendidik merupakan profesi yang cukup menjanjikan.

Apalagi jika nanti, aku bisa menjadi pendidik dengan status Pegawai Negri Sipil. Dalam benakku, jika status PNS ini berhasil kuraih, tentu orang tuamu tidak akan keberatan jika aku meminangmu. Jadi, aku bisa segera memenuhi janjiku untuk menikahimu.

Dengan motivasi inilah, sertifikat akta IV, berhasil kudapatkan dalam waktu yang relatif cepat.

Sembari menunggu adanya ujian CPNS yang masih lama, aku mengajar di sebuah SMP swasta di Kota Jogja. Sebenarnya, orang tuaku kurang setuju dengan pilihanku ini. Mereka menginginkan supaya aku menjadi GTT 1) di sekolah negri di kota kelahiranku. Menurut mereka, dengan menjadi GTT di sekolah negri, peluangku menjadi PNS akan semakin terbuka. Akan tetapi, aku bersikukuh untuk mengajar di Jogja.

Reputasi Jogja sebagai Kota pendidikan kujadikan senjata untuk menyakinkan orang tuaku. Alasan sebenarnya, tentu saja, agar aku bisa tetap dekat denganmu.

*** Hari ini pengumuman CPNS. Pagi-pagi sekali, aku bergegas menuju loper Koran. Dengan degub jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya, aku buka lembar demi lembar Koran yang memuat pengumuman CPNS itu.

“Alhamdulillahhirabbil’alamin,” aku segera bersujud saat kutemukan namaku diantara deret ratusan nama dalam koran itu. Tiada kupedulikan orang-orang yang menatap heran melihat tingkahku. Pagi ini, aku benar- benar bahagia, sebahagia-bahagianya.

*** “Besok, aku akan meminta ayah melamar dirimu untukmu,” kataku seraya menyodorkan koran yang memuat namaku.

Kau menatapku dengan sorot mata yang aneh.

Sorot mata yang, sungguh, tidak kuduga. Dalam otakku, kau akan berbinar saat melihat pengumuman itu.

“Aku turut bahagia Mas, tapi ….” “Tapi apa?” sergahku.

“Tapi …,” kau menghela nafas. “Tapi, untuk melamarku, sebaiknya Mas urungkan saja,” katamu dengan nada yang sulit untuk kuterjemahkan.

“Maksudmu?” aku tergagap.

“Aku tak mungkin menerimamu Mas.” Aku hanya bengong, tak tahu apa yang mesti kuperbuat.

“Aku memang mencintaimu Mas. Sangat mencintaimu.

Tapi, keyakinan kita beda Mas,” lanjutmu dengan suara terbata.

“Bukankah agama kita sama? Sholat kita sama? Apa yang kita sembah juga sama?” aku tak terlalu paham dengan apa yang kutanyakan, dan terutama juga, dengan apa yang kau katakan.

“Itu benar Mas,” kau diam sejenak. “Tapi bagi golonganku, Mas tetap orang luar,” kau mulai terisak.” Aku mencintaimu Mas. Mas adalah pria terbaik yang pernah kukenal. Tapi kita tidak sekufu2) Mas. Kita beda Mas. Kalau aku menikah Mas, aku akan dianggap menjual keyakinanku Mas. Dan aku tidak mau itu terjadi. Bagiku, telah disediakan seorang lelaki yang akan menyempurnakan separuh dien-ku,” isakmu semakin jelas.

Kini nalarku mulai tersadar. Sayup-sayup, aku mulai bisa mencerna apa yang kau ucapkan. Sudah beberapa tahun ini, kau aktif dalam sebuah kelompok pengajian. Aku bukannya tidak tau itu. Namun, aku membiarkan semua berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Begitupun ketika waktu itu, selama tiga hari, kau hilang tanpa jejak. Usut punya usut, ternyata kau pergi ke Bandung. Hijrah, ujarmu singkat saat aku mendesakmu untuk menjelaskan perihal kepergianmu.

Jadi, apa yang ucapkan hari ini seharusnya telah kuprediksi. Namun, aku menutup mata dari semua aktivitasmu.

Dan kini? “Ini bukan keputusan yang mudah bagiku Mas,” lanjutmu di sela bulir air matamu.

*** Siang itu, kau datang ke rumahku. Sendiri. Sepucuk undangan terselip di antara jemari tangan kananmu. Undangan pernikahanmu. Sambil menyerahkan undangan tersebut kau berkata bahwa aku berhak untuk tidak datang.

“Aku akan baik-baik saja,” kataku sambil tersenyum, saat kau terlihat bimbang untuk segera pergi.

*** “Ini Pak, tugasnya,” kata-kata muridmu membuyarkan lamunanku.

“Oh i …iya. Tar … eh … letakkan di situ,” jawabku reflek sambil menunjuk meja kerjaku. Melihat tingkah gurunya yang terlihat kaget, ia tersenyum simpul.

“Mikirin cewe ya Pak Guru?” godanya sambil berlarikeluarruangguru.

Ini membuat guru-guruyang lain turut tersenyum kepadaku.

Aku pun ingin membalas senyum mereka. Tapi aku benar-benar tak mampu. Hanya gerak bibir kulah yang menandakan bahwa aku sedang berusaha keras untuk tersenyum.

Begitulah aktivitasku dalam setahun belakangan ini. Menjadi guru di SMP negri yang terletak di pesisir selatan Jawa Tengah. Sebagai pendidik, semestinya aku harus banyak tersenyum. Simpatik, itulah sifat yang harus dimiliki seorang pendidik seperti yang pernah kupelajari saat menempuh pendidikan akta IV.

*** Tok … tok … tok. Pintu kontrakanku diketuk.

“Assalamu’alaikum” terdengar suara orang mengucap salam.

“Wa’alaikum salam,” jawabku sambil tergopohgopoh ke ruang depan.

Segera kubuka pintu. Nampak seorang pemuda berdiri di depan pintu. Sosoknya gagah. Wajahnya bersih, seolah memancarkan cahaya yang menyejukkan. Ia mengenakan baju koko berwarna putih. Sesaat kemudian, dia mengulurkan tangan dan tersenyum. Kuulurkan tanganku untuk menjabatnya. Kubalas senyumnya.

Kubalas senyumnya? Aku tak percaya dengan apa yang kulakukan. Tapi memang benar. Bibirku melengkung ke atas. Ajaib. Bibirku benar-benar menyunggingkan senyum. Senyum pertama setelah satu tahun lebih tak bisa kulakukan.

“Maaf mas, perkenalkan, nama saya Izrail3), dia memperkenalkan diri.

Dan entah mengapa, mendengar nama itu, senyumku semakin mengembang.

Yogyakarta, 2Januari2013   Keterangan 1)GTT: Guru Tidak Tetap 2)Sekufu: Seimbang/sedejarat.

Konsep ketika mencari jodoh, sebaiknya memilih pasangan yang kedudukannya hampir sama. Dalam cerpen ini, sekufu dapat diartikan sebagai sealiran.

3)Izrail: Malaikat pencabut nyawa.

 “Aku akan baik-baik saja,” kataku sambil tersenyum. Walau palsu, itulah terakhir kali aku dapat tersenyum. Senyum yang sengaja kutempel di bibirku agar kau benar-benar yakin bahwa aku memang baik-baik saja. Senyum yang kuharap dapat memantapkan hatimu saat meninggalkanku. Aku tidak benar-benar yakin bahwa kau tidak menyadari senyum palsu itu. Yang pasti, kulihat kau juga tersenyum, berbalik, lalu melangkah.

Oleh: DEDY PURWONO 

“AKU akan baik-baik saja, kataku sambil tersenyum.

Baik-baiksaja. Sungguh mudah kalimat itu kuucap. Semudah menempelkan senyum palsu itu di bibirku. Tapi kenyataannya? Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Kalau memang aku baik-baik, tentu saat ini, aku pasti sudah bisa tersenyum. Nyatanya, sudah lebih dari satu tahun ini aku tidak tersenyum.

Atau tepatnya, tidak bisa tersenyum. Entah mengapa, walau telah kucoba sekuat tenaga, bibirku tak mampu lagi menyunggingkan senyum. Bahkan, senyum palsu sekalipun.

Jadi, itulah terakhir kali aku tersenyum. Senyum yang menjadi instrumen langkah kakimu yang kian menjauh.

*** Aku mengerjap-kerjapkan mataku. Kutemukan sosokmu yang sesenggukan di depan cermin di sudut kamar. Setengah telanjang. Hanya mengenakan bra dan celana dalam. Tidak jauh beda denganku yang hanya mengenakan celana pendek.

Aku bangkit dari ranjang yang sepreinya acakacakan itu. Decit langkah kakiku membuatmu menoleh. Beberapa detik kemudian, aku telah larut dalam dekapmu. Pori-pori di dadaku menangkap bulir hangat yang menitik dari sepasang matamu yang sendu.

“Mas…,” hanya kata, yang lebih mirip desahan itulah yang keluar dari bibirmu.

“Aku pasti akan bertanggung jawab,” ucapku dengan nada tergetar. Getar yang mengandung keraguan.

Kurasakan dekapmu yang semakin erat. Aku tau, di luar, matahari telah meninggi. Namun, udara di Kaliurang tetap dingin. Dan tanpa bisa kita cegah, adegan semalam itu, terulang pagi ini.

1 Januari tahun ini, kuawali dengan menodaimu.

*** “Aku tidak akan menikah selain denganmu. Kalaupun aku menikahi perempuan lain, itu hanya akan kulakukan setelah melihatmu menikah,” begitulah janji yang meluncur dari mulutku, seminggu setelah peristiwa di malam tahun baru itu. Kali ini, aku mengucapkannya dengan penuh kesungguhan.

Aku memang benar-benar mencintaimu.

Dan aku menyesal telah menodaimu. Tapi, dalam kisah manapun, penyesalan selalu datang terlambat.

*** Setelah itu, hubungan kita kembali seperti sedia kala. Seperti saat sebelum malam yang menorehkan nyeri yang begitu indah itu. Aku mencoba selalu ada di sampingmu. Begitupun sebaliknya, kau luangkan waktumu untuk selalu ada dalam setiap langkahku.

Semangat yang saling terjaga membuat waktu untuk menyelesaikan studi menjadi terasa lebih singkat. Kita berhasil lulus pada periode yang sama.

Atau lebih tepatnya, memang kita usahakan sama.

Kita bahkan sama-sama meraih predikat cumlaude.

Aku dengan gelar S.S, kau menyandang gelar S.I.P.

*** Sementara kau melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, aku memilih untuk menempuh pendidikan akta IV. Pikirku, di tahun-tahun ini, pendidik merupakan profesi yang cukup menjanjikan.

Apalagi jika nanti, aku bisa menjadi pendidik dengan status Pegawai Negri Sipil. Dalam benakku, jika status PNS ini berhasil kuraih, tentu orang tuamu tidak akan keberatan jika aku meminangmu. Jadi, aku bisa segera memenuhi janjiku untuk menikahimu.

Dengan motivasi inilah, sertifikat akta IV, berhasil kudapatkan dalam waktu yang relatif cepat.

Sembari menunggu adanya ujian CPNS yang masih lama, aku mengajar di sebuah SMP swasta di Kota Jogja. Sebenarnya, orang tuaku kurang setuju dengan pilihanku ini. Mereka menginginkan supaya aku menjadi GTT 1) di sekolah negri di kota kelahiranku. Menurut mereka, dengan menjadi GTT di sekolah negri, peluangku menjadi PNS akan semakin terbuka. Akan tetapi, aku bersikukuh untuk mengajar di Jogja.

Reputasi Jogja sebagai Kota pendidikan kujadikan senjata untuk menyakinkan orang tuaku. Alasan sebenarnya, tentu saja, agar aku bisa tetap dekat denganmu.

*** Hari ini pengumuman CPNS. Pagi-pagi sekali, aku bergegas menuju loper Koran. Dengan degub jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya, aku buka lembar demi lembar Koran yang memuat pengumuman CPNS itu.

“Alhamdulillahhirabbil’alamin,” aku segera bersujud saat kutemukan namaku diantara deret ratusan nama dalam koran itu. Tiada kupedulikan orang-orang yang menatap heran melihat tingkahku. Pagi ini, aku benar- benar bahagia, sebahagia-bahagianya.

*** “Besok, aku akan meminta ayah melamar dirimu untukmu,” kataku seraya menyodorkan koran yang memuat namaku.

Kau menatapku dengan sorot mata yang aneh.

Sorot mata yang, sungguh, tidak kuduga. Dalam otakku, kau akan berbinar saat melihat pengumuman itu.

“Aku turut bahagia Mas, tapi ….” “Tapi apa?” sergahku.

“Tapi …,” kau menghela nafas. “Tapi, untuk melamarku, sebaiknya Mas urungkan saja,” katamu dengan nada yang sulit untuk kuterjemahkan.

“Maksudmu?” aku tergagap.

“Aku tak mungkin menerimamu Mas.” Aku hanya bengong, tak tahu apa yang mesti kuperbuat.

“Aku memang mencintaimu Mas. Sangat mencintaimu.

Tapi, keyakinan kita beda Mas,” lanjutmu dengan suara terbata.

“Bukankah agama kita sama? Sholat kita sama? Apa yang kita sembah juga sama?” aku tak terlalu paham dengan apa yang kutanyakan, dan terutama juga, dengan apa yang kau katakan.

“Itu benar Mas,” kau diam sejenak. “Tapi bagi golonganku, Mas tetap orang luar,” kau mulai terisak.” Aku mencintaimu Mas. Mas adalah pria terbaik yang pernah kukenal. Tapi kita tidak sekufu2) Mas. Kita beda Mas. Kalau aku menikah Mas, aku akan dianggap menjual keyakinanku Mas. Dan aku tidak mau itu terjadi. Bagiku, telah disediakan seorang lelaki yang akan menyempurnakan separuh dien-ku,” isakmu semakin jelas.

Kini nalarku mulai tersadar. Sayup-sayup, aku mulai bisa mencerna apa yang kau ucapkan. Sudah beberapa tahun ini, kau aktif dalam sebuah kelompok pengajian. Aku bukannya tidak tau itu. Namun, aku membiarkan semua berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Begitupun ketika waktu itu, selama tiga hari, kau hilang tanpa jejak. Usut punya usut, ternyata kau pergi ke Bandung. Hijrah, ujarmu singkat saat aku mendesakmu untuk menjelaskan perihal kepergianmu.

Jadi, apa yang ucapkan hari ini seharusnya telah kuprediksi. Namun, aku menutup mata dari semua aktivitasmu.

Dan kini? “Ini bukan keputusan yang mudah bagiku Mas,” lanjutmu di sela bulir air matamu.

*** Siang itu, kau datang ke rumahku. Sendiri. Sepucuk undangan terselip di antara jemari tangan kananmu. Undangan pernikahanmu. Sambil menyerahkan undangan tersebut kau berkata bahwa aku berhak untuk tidak datang.

“Aku akan baik-baik saja,” kataku sambil tersenyum, saat kau terlihat bimbang untuk segera pergi.

*** “Ini Pak, tugasnya,” kata-kata muridmu membuyarkan lamunanku.

“Oh i …iya. Tar … eh … letakkan di situ,” jawabku reflek sambil menunjuk meja kerjaku. Melihat tingkah gurunya yang terlihat kaget, ia tersenyum simpul.

“Mikirin cewe ya Pak Guru?” godanya sambil berlarikeluarruangguru.

Ini membuat guru-guruyang lain turut tersenyum kepadaku.

Aku pun ingin membalas senyum mereka. Tapi aku benar-benar tak mampu. Hanya gerak bibir kulah yang menandakan bahwa aku sedang berusaha keras untuk tersenyum.

Begitulah aktivitasku dalam setahun belakangan ini. Menjadi guru di SMP negri yang terletak di pesisir selatan Jawa Tengah. Sebagai pendidik, semestinya aku harus banyak tersenyum. Simpatik, itulah sifat yang harus dimiliki seorang pendidik seperti yang pernah kupelajari saat menempuh pendidikan akta IV.

*** Tok … tok … tok. Pintu kontrakanku diketuk.

“Assalamu’alaikum” terdengar suara orang mengucap salam.

“Wa’alaikum salam,” jawabku sambil tergopohgopoh ke ruang depan.

Segera kubuka pintu. Nampak seorang pemuda berdiri di depan pintu. Sosoknya gagah. Wajahnya bersih, seolah memancarkan cahaya yang menyejukkan. Ia mengenakan baju koko berwarna putih. Sesaat kemudian, dia mengulurkan tangan dan tersenyum. Kuulurkan tanganku untuk menjabatnya. Kubalas senyumnya.

Kubalas senyumnya? Aku tak percaya dengan apa yang kulakukan. Tapi memang benar. Bibirku melengkung ke atas. Ajaib. Bibirku benar-benar menyunggingkan senyum. Senyum pertama setelah satu tahun lebih tak bisa kulakukan.

“Maaf mas, perkenalkan, nama saya Izrail3), dia memperkenalkan diri.

Dan entah mengapa, mendengar nama itu, senyumku semakin mengembang.

Yogyakarta, 2Januari2013   Keterangan 1)GTT: Guru Tidak Tetap 2)Sekufu: Seimbang/sedejarat.

Konsep ketika mencari jodoh, sebaiknya memilih pasangan yang kedudukannya hampir sama. Dalam cerpen ini, sekufu dapat diartikan sebagai sealiran.

3)Izrail: Malaikat pencabut nyawa.

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Tukang Foto Mayat

Tali, Kembang Tanjung

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/