25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Perang di Syria Tertunda Reses

BEIRUT- Iraq dan Afghanistan sudah porak-poranda oleh perang bertahun-tahun, kini giliran Syria yang akan mengalami nasib serupa.
Dugaan penggunaan senjata kimia terhadap oposisi oleh pemerintahan Presiden Syria Bashar Al Assad pada 21 Agustus lalu mendorongn
beberapa negara siap mengerahkan persenjataannya untuk menumbangkan rezim Assad. Sedikitnya 355 orang, sebagian besar anak-anak, dilaporkan tewas dalam serangan brutal di kawasan Ghouta, luar Kota Damaskus.

ARAHKAN SENJATA: Pemberontak membidikkan senjatanya  arah pasukan rezim  kota Syria, kemarin (1/9). //LOUAI ABO AL-JOD/AFP PHOTO
ARAHKAN SENJATA: Pemberontak membidikkan senjatanya ke arah pasukan rezim di kota Syria, kemarin (1/9). //LOUAI ABO AL-JOD/AFP PHOTO

Kapal militer Amerika Serikat yang siaga di Laut Mediterania sudah siap melepaskan misilnya untuk menyerang Syria. Namun, militer Amerika harus bersabar karena sang presiden, Barack Obama masih menunggu persetujuan Kongres untuk menyerang negara Timur Tengah tersebut.
Presiden Obama secara resmi meminta Kongres AS untuk merestui keputusannya untuk menyerang Suriah, Sabtu (31/8). Intervensi militer ini adalah respon Obama atas serangan di pinggiran Damaskus yang menewaskan 1.429 orang. Ia percaya serangan tersebut menggunakan senjata kimia.
Seperti dilansir dari AP, Minggu (1/9), Obama mengatakan bahwa sebagai panglima tertinggi, dirinya berwenang melancarkan aksi militer tanpa pengesahan dari Kongres.

“Saya tahu negara ini akan lebih kuat jika kita mengambil jalan ini dan aksi kita akan lebih efektif,” kata Obama dalam pernyataan resminya yang ditayangkan secara langsung di saluran televisi AS.

Saat ini anggota Kongres AS tengah memasuki masa reses. Mereka dijadwalkan kembali bersidang pada tanggal 9 September mendatang.
Seorang pejabat Gedung Putih  mengungkapkan, hingga Jumat (30/8) petang Obama masih mempersiapkan operasi serangan ke Suriah. Setelah berkomunikasi dengan Kepala Staf Gedung Putih, Denis McDonough, Obama mengatakan kepada para bawahannya bahwa ia telah berubah pikiran.
Masih menurut pejabat tersebut, awalnya Obama menggelar pertemuan di Gedung Putih selama dua jam. Pertemuan dihadiri oleh Wakil Presiden Joe Biden, Menteri Pertahanan Chuck Hagel, Direktur Lembaga Intelijen Nasional James Klapper, Direktur CIA John Brennan, Penasihat Keamanan Nasional Susan Rice, dan Penasihat Keamanan Tanah Air Lisa Monaco. Tidak disebutkan siapa peserta rapat yang menentang rencana Obama menyerang Suriah.

Keputusan Obama menunda aksi militer menginspirasi Presiden Francois Hollande. Dia berharap parlemen Prancis merestui rencananya untuk mendukung aksi militer AS. Sementara itu, Israel mengaku siap dengan skenario apa pun atas Syria.

“Dalam situasi seperti ini, Prancis tidak bisa terlibat dalam pertempuran tanpa dukungan penuh parlemen,” kata Francois Fillon, mantan Perdana Menteri (PM) Prancis, kepada Journal du Dimanche kemarin (1/9).

Padahal, konstitusi Negeri Anggur tersebut tidak mewajibkan parlemen untuk melakukan voting atas keterlibatan militer dalam pertempuran apa pun yang berlangsung kurang dari empat bulan.

Namun, harapan Hollande soal restu parlemen Prancis menyiratkan bahwa aksi militer terhadap Syria bakal berlangsung lebih dari empat bulan. Sejak mendengar kabar soal dugaan penggunaan senjata kimia dalam serangan di Ghouta pada 21 Agustus lalu, Prancis bersiap melancarkan aksi kimia ke republik yang terletak di tepi Laut Mediterania tersebut. Padahal, saat itu AS belum angkat bicara.

Ketika itu, Prancis menyebutkan bahwa pemakaian gas kimia merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat. Atas nama kemanusiaan, Hollande pun lantas merapatkan barisan dan menyiapkan aksi militer ke Syria. Menurut dia, pasukan Prancis akan bertolak ke Syria demi melindungi warga sipil yang ada di sana. Juga, untuk menghukum pasukan Assad yang tega menyemprotkan gas kimia dan merenggut sedikitnya 100 nyawa.

Israel yang sibuk melakukan antisipasi sejak kabar aksi militer ke Syria berembus mengaku siap menghadapi skenario apa pun. Kemarin PM Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat Israel sudah percaya diri dengan persiapan yang sekitar dua pekan terakhir ini mereka lakukan untuk mengantisipasi perang.

“Israel cukup tenang dan percaya diri. Rakyat kami sudah sangat siap menghadapi skenario apa pun terhadap Syria,” papar pemimpin 63 tahun tersebut dalam rapat mingguan kabinet kemarin.

Apalagi, lanjut dia, Obama memutuskan menunda serangan rudal ke Syria dan menanti restu Kongres AS. Rencananya, Kongres AS baru membahas aksi militer itu pasca reses 9 September nanti.

Kemarin Netanyahu mengimbau masyarakat untuk tetap tenang. Menurut dia, pemerintah dan rakyat Israel tidak perlu terlalu mengkhawatirkan dampak aksi militer AS ke Syria terhadap negerinya. “Musuh-musuh kami punya cukup banyak alasan yang baik untuk tidak bermain-main dengan kami, menjajal kekuatan kami, atau menguji kemampuan kami,” tegasnya.

Sebagai sekutu dekat AS di kawasan tersebut, wajar jika Israel sempat mengkhawatirkan dampak aksi militer Negeri Paman Sam ke Syria. Sebab, Israel bukan tidak mungkin akan menjadi sasaran serangan balasan dari sekutu Assad di wilayah itu. Hizbullah, kelompok pendukung Assad di Lebanon, sudah pasti langsung melancarkan serangan ke Israel jika Syria diserang.

Namun, Netanyahu yakin bahwa Israel tidak akan menjadi sasaran serangan balasan. “Mereka tahu alasannya,” kata pengganti Ehud Olmert tersebut tanpa menyebutkan alasan yang dimaksud. Yang pasti, lanjut Ehud, Israel tidak akan tinggal diam. Pasukan Israel akan langsung membalas segala bentuk serangan dari luar. Termasuk jika serangan itu melibatkan senjata kimia yang kabarnya juga dimiliki oposisi Syria.

Sekitar dua pekan terakhir, rakyat Israel berbondong-bondong membeli masker gas. Bahkan, mereka rela antre panjang untuk mendapat masker. Tren memborong masker gas tersebut mulai muncul pada Perang Teluk 1991. Tepatnya setelah Iraq menembakkan sedikitnya 39 rudal Scud ke Israel sebagai balasan atas Operasi Badai Gurun yang dilancarkan pasukan AS.

Evakuasi WNI

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) masih terus berupaya memulangkan warga negara Indonesia di Suriah. Seluruh KBRI terdekat disiagakan untuk pemulangan 344 WNI yang masih tersisa disana. Sebelumnya, proses evakuasi juga telah dilakukan saat konflik mulai pecah tahun 2012 lalu.

“Proses evakuasi masih terus kita lakukan. Sejak tahun Mei 2012 hingga 2013 sudah sekitar 8000 orang yang telah kita evakuasi dari sana,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemenlu, Tatang B Razak saat dihubungi kemarin (1/9).

Ia menjelaskan, saat ini KBRI Damaskus terus bekerja sama dengan KBRI Beirut dan KBRI Angkara untuk memulangkan para WNI yang masih tersisa. Hal tersebut dikarenakan, sudah tidak ada lagi penerbangan langsung dari Suriah ke Indonesia semenjak konflik terjadi. Sehingga, para WNI harus dievakuasi melalui jalur darat ke KBRI-KBRI terdekat sebelum diterbangkan pulang ke tanah air. Saat ini tercatat sebanyak 144 orang WNI yang berada di KBRI Damaskus (Suriah), 156 orang di KBRI Beirut (Lebanon), dan 44 orang di KBRI Angkara (Turki).

“Mereka harus kita pindahkan terlebih dahulu ke Lebanon dan Turki, baru selanjutnya kita terbangkan ke Indonesia,” tutur Tatang. Dan, lanjutnya, petugas KBRI Beirut dan Angkara terus bersiap penuh untuk menjemput mereka di perbatasan.

Evakuasi terakhir yang dilakukan dari Beirut yakni sebanyak 15 orang pada tanggal 23 Agustus lalu. Yang kemudian disusul dengan satu orang pada tanggal 30 Agustus. Tercatat dari Bulan Januari hingga Agustus 2013 sebanyak 3.101 WNI yang telah dipulangkan dari KBRI Beirut. Kebanyak dari mereka adalah tenaga kerja perempuan.

“Semua sedang diurus oleh KBRI, mulai dari dokumen dan lain-lainnya. Mereka sekarang hanya tinggal menunggu penerbangan untuk kembali ke Indonesia,” ujar Tatang.

Pemulangan kali ini terus diintensifkan menyusul pernyataan negera-negara Barat yang bermaksut menyerang Suriah. Ide serangan tersebut muncul setelah diduga rezim pemerintah menggunakan senjata kimia untuk melawan para pemberontak. Diketahui pula, beberapa kapal perang Rusia yang merupakan sekutu Suriah telah tiba di perairan Suriah. Pihak Suriah juga terlihat sangat siap jika perperangan harus terjadi melalui pernyataan-pernyataan yang dilontarkan para petinggi negara tersebut.  (ap/afp/hep/c15/tia/dil/mia/jpnn)

BEIRUT- Iraq dan Afghanistan sudah porak-poranda oleh perang bertahun-tahun, kini giliran Syria yang akan mengalami nasib serupa.
Dugaan penggunaan senjata kimia terhadap oposisi oleh pemerintahan Presiden Syria Bashar Al Assad pada 21 Agustus lalu mendorongn
beberapa negara siap mengerahkan persenjataannya untuk menumbangkan rezim Assad. Sedikitnya 355 orang, sebagian besar anak-anak, dilaporkan tewas dalam serangan brutal di kawasan Ghouta, luar Kota Damaskus.

ARAHKAN SENJATA: Pemberontak membidikkan senjatanya  arah pasukan rezim  kota Syria, kemarin (1/9). //LOUAI ABO AL-JOD/AFP PHOTO
ARAHKAN SENJATA: Pemberontak membidikkan senjatanya ke arah pasukan rezim di kota Syria, kemarin (1/9). //LOUAI ABO AL-JOD/AFP PHOTO

Kapal militer Amerika Serikat yang siaga di Laut Mediterania sudah siap melepaskan misilnya untuk menyerang Syria. Namun, militer Amerika harus bersabar karena sang presiden, Barack Obama masih menunggu persetujuan Kongres untuk menyerang negara Timur Tengah tersebut.
Presiden Obama secara resmi meminta Kongres AS untuk merestui keputusannya untuk menyerang Suriah, Sabtu (31/8). Intervensi militer ini adalah respon Obama atas serangan di pinggiran Damaskus yang menewaskan 1.429 orang. Ia percaya serangan tersebut menggunakan senjata kimia.
Seperti dilansir dari AP, Minggu (1/9), Obama mengatakan bahwa sebagai panglima tertinggi, dirinya berwenang melancarkan aksi militer tanpa pengesahan dari Kongres.

“Saya tahu negara ini akan lebih kuat jika kita mengambil jalan ini dan aksi kita akan lebih efektif,” kata Obama dalam pernyataan resminya yang ditayangkan secara langsung di saluran televisi AS.

Saat ini anggota Kongres AS tengah memasuki masa reses. Mereka dijadwalkan kembali bersidang pada tanggal 9 September mendatang.
Seorang pejabat Gedung Putih  mengungkapkan, hingga Jumat (30/8) petang Obama masih mempersiapkan operasi serangan ke Suriah. Setelah berkomunikasi dengan Kepala Staf Gedung Putih, Denis McDonough, Obama mengatakan kepada para bawahannya bahwa ia telah berubah pikiran.
Masih menurut pejabat tersebut, awalnya Obama menggelar pertemuan di Gedung Putih selama dua jam. Pertemuan dihadiri oleh Wakil Presiden Joe Biden, Menteri Pertahanan Chuck Hagel, Direktur Lembaga Intelijen Nasional James Klapper, Direktur CIA John Brennan, Penasihat Keamanan Nasional Susan Rice, dan Penasihat Keamanan Tanah Air Lisa Monaco. Tidak disebutkan siapa peserta rapat yang menentang rencana Obama menyerang Suriah.

Keputusan Obama menunda aksi militer menginspirasi Presiden Francois Hollande. Dia berharap parlemen Prancis merestui rencananya untuk mendukung aksi militer AS. Sementara itu, Israel mengaku siap dengan skenario apa pun atas Syria.

“Dalam situasi seperti ini, Prancis tidak bisa terlibat dalam pertempuran tanpa dukungan penuh parlemen,” kata Francois Fillon, mantan Perdana Menteri (PM) Prancis, kepada Journal du Dimanche kemarin (1/9).

Padahal, konstitusi Negeri Anggur tersebut tidak mewajibkan parlemen untuk melakukan voting atas keterlibatan militer dalam pertempuran apa pun yang berlangsung kurang dari empat bulan.

Namun, harapan Hollande soal restu parlemen Prancis menyiratkan bahwa aksi militer terhadap Syria bakal berlangsung lebih dari empat bulan. Sejak mendengar kabar soal dugaan penggunaan senjata kimia dalam serangan di Ghouta pada 21 Agustus lalu, Prancis bersiap melancarkan aksi kimia ke republik yang terletak di tepi Laut Mediterania tersebut. Padahal, saat itu AS belum angkat bicara.

Ketika itu, Prancis menyebutkan bahwa pemakaian gas kimia merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat. Atas nama kemanusiaan, Hollande pun lantas merapatkan barisan dan menyiapkan aksi militer ke Syria. Menurut dia, pasukan Prancis akan bertolak ke Syria demi melindungi warga sipil yang ada di sana. Juga, untuk menghukum pasukan Assad yang tega menyemprotkan gas kimia dan merenggut sedikitnya 100 nyawa.

Israel yang sibuk melakukan antisipasi sejak kabar aksi militer ke Syria berembus mengaku siap menghadapi skenario apa pun. Kemarin PM Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat Israel sudah percaya diri dengan persiapan yang sekitar dua pekan terakhir ini mereka lakukan untuk mengantisipasi perang.

“Israel cukup tenang dan percaya diri. Rakyat kami sudah sangat siap menghadapi skenario apa pun terhadap Syria,” papar pemimpin 63 tahun tersebut dalam rapat mingguan kabinet kemarin.

Apalagi, lanjut dia, Obama memutuskan menunda serangan rudal ke Syria dan menanti restu Kongres AS. Rencananya, Kongres AS baru membahas aksi militer itu pasca reses 9 September nanti.

Kemarin Netanyahu mengimbau masyarakat untuk tetap tenang. Menurut dia, pemerintah dan rakyat Israel tidak perlu terlalu mengkhawatirkan dampak aksi militer AS ke Syria terhadap negerinya. “Musuh-musuh kami punya cukup banyak alasan yang baik untuk tidak bermain-main dengan kami, menjajal kekuatan kami, atau menguji kemampuan kami,” tegasnya.

Sebagai sekutu dekat AS di kawasan tersebut, wajar jika Israel sempat mengkhawatirkan dampak aksi militer Negeri Paman Sam ke Syria. Sebab, Israel bukan tidak mungkin akan menjadi sasaran serangan balasan dari sekutu Assad di wilayah itu. Hizbullah, kelompok pendukung Assad di Lebanon, sudah pasti langsung melancarkan serangan ke Israel jika Syria diserang.

Namun, Netanyahu yakin bahwa Israel tidak akan menjadi sasaran serangan balasan. “Mereka tahu alasannya,” kata pengganti Ehud Olmert tersebut tanpa menyebutkan alasan yang dimaksud. Yang pasti, lanjut Ehud, Israel tidak akan tinggal diam. Pasukan Israel akan langsung membalas segala bentuk serangan dari luar. Termasuk jika serangan itu melibatkan senjata kimia yang kabarnya juga dimiliki oposisi Syria.

Sekitar dua pekan terakhir, rakyat Israel berbondong-bondong membeli masker gas. Bahkan, mereka rela antre panjang untuk mendapat masker. Tren memborong masker gas tersebut mulai muncul pada Perang Teluk 1991. Tepatnya setelah Iraq menembakkan sedikitnya 39 rudal Scud ke Israel sebagai balasan atas Operasi Badai Gurun yang dilancarkan pasukan AS.

Evakuasi WNI

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) masih terus berupaya memulangkan warga negara Indonesia di Suriah. Seluruh KBRI terdekat disiagakan untuk pemulangan 344 WNI yang masih tersisa disana. Sebelumnya, proses evakuasi juga telah dilakukan saat konflik mulai pecah tahun 2012 lalu.

“Proses evakuasi masih terus kita lakukan. Sejak tahun Mei 2012 hingga 2013 sudah sekitar 8000 orang yang telah kita evakuasi dari sana,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemenlu, Tatang B Razak saat dihubungi kemarin (1/9).

Ia menjelaskan, saat ini KBRI Damaskus terus bekerja sama dengan KBRI Beirut dan KBRI Angkara untuk memulangkan para WNI yang masih tersisa. Hal tersebut dikarenakan, sudah tidak ada lagi penerbangan langsung dari Suriah ke Indonesia semenjak konflik terjadi. Sehingga, para WNI harus dievakuasi melalui jalur darat ke KBRI-KBRI terdekat sebelum diterbangkan pulang ke tanah air. Saat ini tercatat sebanyak 144 orang WNI yang berada di KBRI Damaskus (Suriah), 156 orang di KBRI Beirut (Lebanon), dan 44 orang di KBRI Angkara (Turki).

“Mereka harus kita pindahkan terlebih dahulu ke Lebanon dan Turki, baru selanjutnya kita terbangkan ke Indonesia,” tutur Tatang. Dan, lanjutnya, petugas KBRI Beirut dan Angkara terus bersiap penuh untuk menjemput mereka di perbatasan.

Evakuasi terakhir yang dilakukan dari Beirut yakni sebanyak 15 orang pada tanggal 23 Agustus lalu. Yang kemudian disusul dengan satu orang pada tanggal 30 Agustus. Tercatat dari Bulan Januari hingga Agustus 2013 sebanyak 3.101 WNI yang telah dipulangkan dari KBRI Beirut. Kebanyak dari mereka adalah tenaga kerja perempuan.

“Semua sedang diurus oleh KBRI, mulai dari dokumen dan lain-lainnya. Mereka sekarang hanya tinggal menunggu penerbangan untuk kembali ke Indonesia,” ujar Tatang.

Pemulangan kali ini terus diintensifkan menyusul pernyataan negera-negara Barat yang bermaksut menyerang Suriah. Ide serangan tersebut muncul setelah diduga rezim pemerintah menggunakan senjata kimia untuk melawan para pemberontak. Diketahui pula, beberapa kapal perang Rusia yang merupakan sekutu Suriah telah tiba di perairan Suriah. Pihak Suriah juga terlihat sangat siap jika perperangan harus terjadi melalui pernyataan-pernyataan yang dilontarkan para petinggi negara tersebut.  (ap/afp/hep/c15/tia/dil/mia/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/