28.9 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Jet Tempur Bombardir Demonstran

Penantang Khadafi Bergelimpangan, Ratusan Orang Tewas

Dua Pilot Membelot, Para Diplomat Mundur

TRIPOLI-Tak ingin kekuasaannya terus diusik rakyat, Presiden Libya Muammar Khadafi memberangus pendemo dengan mengerahkan pesawat tempur ke arah demonstran. Para saksi mata di Tripoli kepada TV Al Jazeera, Selasa (22/2), mengatakan, jet tempur membombardir kota dalam serangan terbaru. Mereka menyebut ’tentara bayaran’ menembaki warga sipil dan menewaskan ratusan rakyat Libya.

Pasukan keamanan Libya dan massa demonstran kembali bentrok di ibukota Tripoli, setelah pemerintah Kolonel Muammar Khadafi mengumumkan langkah pemberangusan baru. Saksi mata mengatakan pesawat tempur menembaki demonstran di Tripoli.

Di sebelah selatan ibukota, sumber-sumber mengatakan, tentara tengah bertempur menghadapi pasukan yang setia kepada Kolonel Khadafi yang tampaknya mengalami kesulitan mempertahankan kendali kekuasaan.

Sementara itu, perintah agar menembaki rakyat dengan jet tempur membuat dua pilot Mirage F1 kabur ke Malta. Mereka menolak menembaki teman-teman mereka sendiri.

Dilansir reuters, Senin (22/2), ada dua pilot berpangkat kolonel yang mengaku berangkat dari pangkalan dekat Tripoli. Salah satu dari mereka meminta suaka politik pada pemerintah Malta. Hingga kemarin, kedua pilot tersebut masih diperiksa kepolisian.

Dari informasi sementara, keduanya terbang ke Malta setelah diperintahkan mengebom para demonstran anti-pemerintah di Kota Benghazi, kota kedua terbesar di Libya.

Polisi Malta juga menginterrogasi tujuh penumpang yang mendarat di Malta dari Libya menggunakan helikopter Prancis. Helikopter tersebut diketahui berangkat dari Libya tanpa seizin dari dinas penerbangan setempat. Dan hanya ada satu warga Prancis di pesawat tersebut.

Menteri luar negeri Prancis belum bisa dikonfirmasi perihal insiden ini.

Diplomat Membelot

Kebijakan yang menewaskan ratusan warga Libya inilah yang membuat para diplomat Libya di luar negeri, termasuk Dubes Libya di Jakarta, menarik dukungan pada Khadafi alias mundur.
Para diplomat Libya di luar negeri mbalelo dan meminta tentara Libya menurunkan pemimpin Libya yang setia dengan pangkat kolonelnya itu.

Seperti pernyataan yang dikeluarkan perwakilan Libya di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagaimana dilansir Reuters, kemarin. Wakil Duta Besar Libya untuk PBB Ibrahim Dabbashi beserta para staf mendesak penurunan rezim Khadafi dengan segera dan menegaskan untuk melayani rakyat Libya. Mereka juga menyerukan kedutaan Libya di negara lain untuk melakukan hal serupa.

Dabbashi dan para staf mengecam bentrokan berdarah, yang terus dilakukan Khadafi untuk mempertahankan kekuasannya yang sudah berlangsung selama 41 tahun itu. Pernyataan itu juga menyatakan penyesalannya atas ratusan korban tewas dalam 5 hari pertama bentrokan berdarah.

Dabbashi mengatakan tidak tahu keberadaan atasannya, Duta Besar Libya untuk PBB Abdurrahman Shalgham. Shalgham yang juga mantan menteri luar negeri itu, dipercaya tidak berada di New York, kantor pusat PBB. Dabbashi mengatakan Shalgham tak ada kaitannya dengan pernyataan mengecam Khadafi itu.

Juru bicara perwakilan Libya untuk PBB Dia al-Hotmani mengatakan, para staf menyatakan rasa simpatinya atas genosida yang terjadi di Libya.

“Kami tidak melihat reaksi dari komunitas internasional. Muammar Khadafi yang tiran telah menunjukkan dengan jelas, juga melalui anak-anaknya, betapa dia mengabaikan dan membenci Libya dan rakyat Libya,” ujar al-Hotmani.
Mereka juga mengutuk penggunaan ‘tentara bayaran Afrika’ oleh Khadafi yang memicu pemberontakan dan pembantaian yang belum pernah terjadi di Libya.

Dewan Keamanan PBB atas permintaan Wakil Duta Besar Libya Ibrahim Dabbashi, akan mengadakan pertemuan tertutup pada hari Selasa pukul 9 pagi waktu New York untuk membahas krisis di Libya.
Selain perwakilan Libya di PBB, New York, duta besar Libya yang mbalelo adalah Dubes Libya untuk Amerika Serikat, Ali Adjali.

“Aku tidak mengundurkan diri dari pemerintah Muammar Khadafi, tapi saya bersama dengan rakyat. Saya minta maaf untuk memberitahu Anda bahwa saya tidak mendukung pemerintah ini lagi,” ujar Adjali.
—————

Televisi milik Pemerintah Libya membantah perlakuan pemerintah pada pengunjuk rasa yang disebut dengan ‘pembantaian’. TV Pelat merah itu menegaskan pemberitaan yang menyebutkan pemerintah melakukan ‘pembantaian’ itu adalah bohong.
”Mereka mengatakan ada pembantaian di beberapa kota-kota dan lingkungan dari Libya. Kita harus berjuang melawan desas-desus dan kebohongan yang merupakan bagian dari perang psikologis,” demikian bunyi running text berwarna merah di televisi Al-Jamahiriya Dua, seperti dilansir AFP, kemarin.
Ditambahkan Al Jamahiriya Dua, informasi yang beredar tersebut bertujuan untuk menghancurkan moral dan stabilitas.
Saksi di ibukota Libya, Tripoli, telah melaporkan ‘pembantaian’ di lingkungan tertentu, sedangkan televisi itu mengumumkan bahwa pasukan keamanan menyerang sarang teroris.

Pemimpin Libya Muammar Khadafi muncul di hadapan publik dalam sebuah tayangan televisi. Dia menegaskan masih berada di Tripoli dan tak kabur ke Venezuela. ”Saya masih di Tripoli dan tidak di Venezuela,” ucapnya seperti dikutip Reuters dari Al Arabiya TV.

Pernyataan ini membantah rumor yang menyebutkan Khadafi terbang ke Venezuela untuk bertemu dengan kawannya, Presiden Hugo Chavez.

Pemimpin yang berkuasa selama 41 tahun ini tampil di bawah payung sambil berjalan ke mobil van saat suasana hujan. Penyiar televisi menyebutkan, Khadafi menyiarkan pernyataan dari kediamannya. ”Saya akan menemui para pemuda di Green Square,” ucapnya.

Sebelumnya, spekulasi merebak tentang keberadaan Khadafi. Menteri Luar negeri Inggris William Hague menyebutkan, ada kemungkinan Khadafi sedang dalam perjalanan ke Venezuela.

Seorang diplomat yang namanya enggan disebutkan kemudian memperjelas keterangan Hague. Informasi tersebut diperoleh dari laporan agen yang dikontak di lapangan.

Sementara, suasana terakhir di Libya saat ini masih terus memanas. Human Rights Watch melaporkan lebih dari 233 orang tewas saat demonstrasi besar-besaran di Tripoli dan kota-kota lainnya di Libya.
Protes di negara kaya minyak di Afrika Utara menentang kekuasan Khadafi selama 41 tahun itu, mulai terjadi pada 14 Februari, namun menemukan momentum setelah pemerintah memberangus secara brutal aksi demo Hari Kemarahan pada 17 Februari.

Para pendemo menyatakan, mereka telah menguasai sejumlah kota penting termasuk Benghazi, yang berhari-hari terjadi bentrokan berdarah antara pendemo dan aparat pemerintah. Benghazi merupakan kota kedua di Libya setelah Tripoli.(bbs/net)

Penantang Khadafi Bergelimpangan, Ratusan Orang Tewas

Dua Pilot Membelot, Para Diplomat Mundur

TRIPOLI-Tak ingin kekuasaannya terus diusik rakyat, Presiden Libya Muammar Khadafi memberangus pendemo dengan mengerahkan pesawat tempur ke arah demonstran. Para saksi mata di Tripoli kepada TV Al Jazeera, Selasa (22/2), mengatakan, jet tempur membombardir kota dalam serangan terbaru. Mereka menyebut ’tentara bayaran’ menembaki warga sipil dan menewaskan ratusan rakyat Libya.

Pasukan keamanan Libya dan massa demonstran kembali bentrok di ibukota Tripoli, setelah pemerintah Kolonel Muammar Khadafi mengumumkan langkah pemberangusan baru. Saksi mata mengatakan pesawat tempur menembaki demonstran di Tripoli.

Di sebelah selatan ibukota, sumber-sumber mengatakan, tentara tengah bertempur menghadapi pasukan yang setia kepada Kolonel Khadafi yang tampaknya mengalami kesulitan mempertahankan kendali kekuasaan.

Sementara itu, perintah agar menembaki rakyat dengan jet tempur membuat dua pilot Mirage F1 kabur ke Malta. Mereka menolak menembaki teman-teman mereka sendiri.

Dilansir reuters, Senin (22/2), ada dua pilot berpangkat kolonel yang mengaku berangkat dari pangkalan dekat Tripoli. Salah satu dari mereka meminta suaka politik pada pemerintah Malta. Hingga kemarin, kedua pilot tersebut masih diperiksa kepolisian.

Dari informasi sementara, keduanya terbang ke Malta setelah diperintahkan mengebom para demonstran anti-pemerintah di Kota Benghazi, kota kedua terbesar di Libya.

Polisi Malta juga menginterrogasi tujuh penumpang yang mendarat di Malta dari Libya menggunakan helikopter Prancis. Helikopter tersebut diketahui berangkat dari Libya tanpa seizin dari dinas penerbangan setempat. Dan hanya ada satu warga Prancis di pesawat tersebut.

Menteri luar negeri Prancis belum bisa dikonfirmasi perihal insiden ini.

Diplomat Membelot

Kebijakan yang menewaskan ratusan warga Libya inilah yang membuat para diplomat Libya di luar negeri, termasuk Dubes Libya di Jakarta, menarik dukungan pada Khadafi alias mundur.
Para diplomat Libya di luar negeri mbalelo dan meminta tentara Libya menurunkan pemimpin Libya yang setia dengan pangkat kolonelnya itu.

Seperti pernyataan yang dikeluarkan perwakilan Libya di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagaimana dilansir Reuters, kemarin. Wakil Duta Besar Libya untuk PBB Ibrahim Dabbashi beserta para staf mendesak penurunan rezim Khadafi dengan segera dan menegaskan untuk melayani rakyat Libya. Mereka juga menyerukan kedutaan Libya di negara lain untuk melakukan hal serupa.

Dabbashi dan para staf mengecam bentrokan berdarah, yang terus dilakukan Khadafi untuk mempertahankan kekuasannya yang sudah berlangsung selama 41 tahun itu. Pernyataan itu juga menyatakan penyesalannya atas ratusan korban tewas dalam 5 hari pertama bentrokan berdarah.

Dabbashi mengatakan tidak tahu keberadaan atasannya, Duta Besar Libya untuk PBB Abdurrahman Shalgham. Shalgham yang juga mantan menteri luar negeri itu, dipercaya tidak berada di New York, kantor pusat PBB. Dabbashi mengatakan Shalgham tak ada kaitannya dengan pernyataan mengecam Khadafi itu.

Juru bicara perwakilan Libya untuk PBB Dia al-Hotmani mengatakan, para staf menyatakan rasa simpatinya atas genosida yang terjadi di Libya.

“Kami tidak melihat reaksi dari komunitas internasional. Muammar Khadafi yang tiran telah menunjukkan dengan jelas, juga melalui anak-anaknya, betapa dia mengabaikan dan membenci Libya dan rakyat Libya,” ujar al-Hotmani.
Mereka juga mengutuk penggunaan ‘tentara bayaran Afrika’ oleh Khadafi yang memicu pemberontakan dan pembantaian yang belum pernah terjadi di Libya.

Dewan Keamanan PBB atas permintaan Wakil Duta Besar Libya Ibrahim Dabbashi, akan mengadakan pertemuan tertutup pada hari Selasa pukul 9 pagi waktu New York untuk membahas krisis di Libya.
Selain perwakilan Libya di PBB, New York, duta besar Libya yang mbalelo adalah Dubes Libya untuk Amerika Serikat, Ali Adjali.

“Aku tidak mengundurkan diri dari pemerintah Muammar Khadafi, tapi saya bersama dengan rakyat. Saya minta maaf untuk memberitahu Anda bahwa saya tidak mendukung pemerintah ini lagi,” ujar Adjali.
—————

Televisi milik Pemerintah Libya membantah perlakuan pemerintah pada pengunjuk rasa yang disebut dengan ‘pembantaian’. TV Pelat merah itu menegaskan pemberitaan yang menyebutkan pemerintah melakukan ‘pembantaian’ itu adalah bohong.
”Mereka mengatakan ada pembantaian di beberapa kota-kota dan lingkungan dari Libya. Kita harus berjuang melawan desas-desus dan kebohongan yang merupakan bagian dari perang psikologis,” demikian bunyi running text berwarna merah di televisi Al-Jamahiriya Dua, seperti dilansir AFP, kemarin.
Ditambahkan Al Jamahiriya Dua, informasi yang beredar tersebut bertujuan untuk menghancurkan moral dan stabilitas.
Saksi di ibukota Libya, Tripoli, telah melaporkan ‘pembantaian’ di lingkungan tertentu, sedangkan televisi itu mengumumkan bahwa pasukan keamanan menyerang sarang teroris.

Pemimpin Libya Muammar Khadafi muncul di hadapan publik dalam sebuah tayangan televisi. Dia menegaskan masih berada di Tripoli dan tak kabur ke Venezuela. ”Saya masih di Tripoli dan tidak di Venezuela,” ucapnya seperti dikutip Reuters dari Al Arabiya TV.

Pernyataan ini membantah rumor yang menyebutkan Khadafi terbang ke Venezuela untuk bertemu dengan kawannya, Presiden Hugo Chavez.

Pemimpin yang berkuasa selama 41 tahun ini tampil di bawah payung sambil berjalan ke mobil van saat suasana hujan. Penyiar televisi menyebutkan, Khadafi menyiarkan pernyataan dari kediamannya. ”Saya akan menemui para pemuda di Green Square,” ucapnya.

Sebelumnya, spekulasi merebak tentang keberadaan Khadafi. Menteri Luar negeri Inggris William Hague menyebutkan, ada kemungkinan Khadafi sedang dalam perjalanan ke Venezuela.

Seorang diplomat yang namanya enggan disebutkan kemudian memperjelas keterangan Hague. Informasi tersebut diperoleh dari laporan agen yang dikontak di lapangan.

Sementara, suasana terakhir di Libya saat ini masih terus memanas. Human Rights Watch melaporkan lebih dari 233 orang tewas saat demonstrasi besar-besaran di Tripoli dan kota-kota lainnya di Libya.
Protes di negara kaya minyak di Afrika Utara menentang kekuasan Khadafi selama 41 tahun itu, mulai terjadi pada 14 Februari, namun menemukan momentum setelah pemerintah memberangus secara brutal aksi demo Hari Kemarahan pada 17 Februari.

Para pendemo menyatakan, mereka telah menguasai sejumlah kota penting termasuk Benghazi, yang berhari-hari terjadi bentrokan berdarah antara pendemo dan aparat pemerintah. Benghazi merupakan kota kedua di Libya setelah Tripoli.(bbs/net)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/