26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Melukis Hidup tanpa Jari

Sayang Bangun

Tubuh tanpa dua lengan ternyata tidak menghalangi Sayang Bangun untuk menciptakan karya seni rupa kelas internasional. Dengan keterbatasan fisik, karyanya mampu menembus pasar dunia. Bahkan, dari karyanya itu, dia mampu membawa ketiga anaknya menikmati ilmu dari universitas terkemuka.

Kisah dimulai pada 10 Oktober 1952. Seorang bayi laki-laki lahir di Desa Batusanggehen, Sibolangit, Deli
Serdang. Bayi itu tak seperti bayi pada umumnya. Ia lahir tanpa kedua lengan. Bayi itu terus tumbuh menjadi remaja. Ia sekolah di sekolah umum, bukan di sekolah berkebutuhan khusus. Ia habiskan masa sekolah dasarnya di desa kelahirannya. Tentu, tak ada yang menduga, puluhan tahun kemudian bayi tanpa dua lengan itu menjadi pelukis besar. Ya, Sayang Bangun namanya.

Begitulah, seandainya saja ada yang lebih memperhatikan, bukan suatu yang tak wajar jika Sayang menjadi pelukis di kemudian hari. Pasalnya, bakat dan minat yang dimiliki Sayang telah tampak sejak dia duduk di sekolah dasar. Begitu banyak coretan yang telah dia hasilkan. Namun, coretan itu bukan di kanvas dan kertas, dia lebih memilih dinding. “Setelah belajar setiap hari saya sering mencuri kapur tulis dari sekolah, terus kapur tersebut saya torehkan dinding gubuk dekat rumah,” aku Sayang Bangun belum lama ini.

Kegigihannya untuk mengolah diri tersebut menjadikannya seorang anak kecil yang kreatif dan andal di bidang lukis-melukis. Barulah ketika dia duduk dibangku kelas VIII SMP pada tahun 1974, dia mulai beralih menggambar di media lain yakni kertas dan kanvas. Peralihan media itu membuat dia semakin giat belajar. Hasilnya, pada tahun 1976, untuk pertama kali lukisannya terjual. Tidak mengecewakan, Rp15 ribu pun masuk kantong.

Ya, Sayang Bangun terus berkembang dari masa ke masa meski tetap tanpa tangan. Kini lukisannya dibandrol Rp10 juta hingga Rp100 juta. Pelanggannya pun tidak sebatas Kota Medan, Sumatera Utara, atau Indonesia. Tercatat negara-negara Eropa, Jepang, dan lainnya menjadi penikmat karyanya yang memang cenderung menggambarkan keindahan budaya Indonesia.

Sayang Bangun merupakan pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di Kantor Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Sementara sang istri, S Sisilia Tarigan, adalah PNS yang bertugas di Dinas Sosial Medan. Dari hasil kerjanya sebagai PNS dan tentunya dari lukisan, Sayang Bangun mampu menyekolahkan ketiga anak sampai jenjang Strata 1 (S1); dua di Universitas Gadjah Mada dan satu lagi di Universitas Sumatera Utara. Menariknya, tidak hanya andal melukis, Sayang Bangun pun bersikap persis dengan manusia normal lainnya seperti mengendari mobilnya dan pergi ke sejumlah negara tanpa ditemani sang istri.

Bapak ketiga anak ini menjadi sosok yang menginspirasi banyak orang untuk berbuat lebih dalam kehidupan. Dengan keterbatasan dia terus berusaha, baik secara akademis maupun tidak. Buktinya Sayang juga pernah mengecam bangku kuliah di Fakultas Seni Rupa Universitas Medan (Unimed) tetapi tidak sampai diwisuda. Kemudian dia mendapatkan beasiswa di sebuah akademi seni yang ada di Kota Venesia, Italia, selama delapan bulan. Nah, setelah itu, dia juga membina sejumlah orang cacat sebagai seniman yang terlibat di seni vokal, seni musik, seni rupa khusus patung dan sebagainya.

Pada tahun 1990 silam, Sayang Bangun pun diakui sebagai anggota Assosiation of Mouth and Foot Painting Artists (AMFP), organisasi yang mewadahi pelukis cacat dunia yang berdudukan di Swiss. Keberadaannya juga sebagai anggota AMFP melambungkan namanya sebagai jagoan lukis di Tanah Air. “Hidup adalah kehormatan dan kehormatan dicapai dengan perjuangan. Tetapi, pernahkah Anda membayangkan kalau kita melukis dengan tidak menggunakan jari tangan yang sempurna? Melukis dengan jari yang sempurna pun, belum tentu hasil lukisannya akan bagus,” ujar Sayang Bangun.

Sayang, Sayang Bangun belum juga memiliki galeri pribadi untuk memamerkan karyanya. Sempat dia dijanjikan oleh pemerintah yang akan membangun sebuah galeri di tanah miliknya di yang berada di Jalan Bunga Sedap Malam Padang Bulan Medan ukuran tanah 10 X 3 meter. Sekali lagi sayang, hal itu belum juga terwujud.
Bukannya putus asa, Sayang Bangun malah tambah giat bekerja di ruang pribadi milikinya yang hanya seluas 5 X 4 meter. Ya, meski bersempit-sempitan dengan seniman cacat binaannya.
“Begitulah Bapak, tidak pernah mengeluh. “Contohnya, jangan pernah rumah itu kotor atau berserak, dia akan langsung membersihkannya,” ucap sang istri SSisilia Tarigan. (mag-7)

Sayang Bangun

Tubuh tanpa dua lengan ternyata tidak menghalangi Sayang Bangun untuk menciptakan karya seni rupa kelas internasional. Dengan keterbatasan fisik, karyanya mampu menembus pasar dunia. Bahkan, dari karyanya itu, dia mampu membawa ketiga anaknya menikmati ilmu dari universitas terkemuka.

Kisah dimulai pada 10 Oktober 1952. Seorang bayi laki-laki lahir di Desa Batusanggehen, Sibolangit, Deli
Serdang. Bayi itu tak seperti bayi pada umumnya. Ia lahir tanpa kedua lengan. Bayi itu terus tumbuh menjadi remaja. Ia sekolah di sekolah umum, bukan di sekolah berkebutuhan khusus. Ia habiskan masa sekolah dasarnya di desa kelahirannya. Tentu, tak ada yang menduga, puluhan tahun kemudian bayi tanpa dua lengan itu menjadi pelukis besar. Ya, Sayang Bangun namanya.

Begitulah, seandainya saja ada yang lebih memperhatikan, bukan suatu yang tak wajar jika Sayang menjadi pelukis di kemudian hari. Pasalnya, bakat dan minat yang dimiliki Sayang telah tampak sejak dia duduk di sekolah dasar. Begitu banyak coretan yang telah dia hasilkan. Namun, coretan itu bukan di kanvas dan kertas, dia lebih memilih dinding. “Setelah belajar setiap hari saya sering mencuri kapur tulis dari sekolah, terus kapur tersebut saya torehkan dinding gubuk dekat rumah,” aku Sayang Bangun belum lama ini.

Kegigihannya untuk mengolah diri tersebut menjadikannya seorang anak kecil yang kreatif dan andal di bidang lukis-melukis. Barulah ketika dia duduk dibangku kelas VIII SMP pada tahun 1974, dia mulai beralih menggambar di media lain yakni kertas dan kanvas. Peralihan media itu membuat dia semakin giat belajar. Hasilnya, pada tahun 1976, untuk pertama kali lukisannya terjual. Tidak mengecewakan, Rp15 ribu pun masuk kantong.

Ya, Sayang Bangun terus berkembang dari masa ke masa meski tetap tanpa tangan. Kini lukisannya dibandrol Rp10 juta hingga Rp100 juta. Pelanggannya pun tidak sebatas Kota Medan, Sumatera Utara, atau Indonesia. Tercatat negara-negara Eropa, Jepang, dan lainnya menjadi penikmat karyanya yang memang cenderung menggambarkan keindahan budaya Indonesia.

Sayang Bangun merupakan pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di Kantor Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Sementara sang istri, S Sisilia Tarigan, adalah PNS yang bertugas di Dinas Sosial Medan. Dari hasil kerjanya sebagai PNS dan tentunya dari lukisan, Sayang Bangun mampu menyekolahkan ketiga anak sampai jenjang Strata 1 (S1); dua di Universitas Gadjah Mada dan satu lagi di Universitas Sumatera Utara. Menariknya, tidak hanya andal melukis, Sayang Bangun pun bersikap persis dengan manusia normal lainnya seperti mengendari mobilnya dan pergi ke sejumlah negara tanpa ditemani sang istri.

Bapak ketiga anak ini menjadi sosok yang menginspirasi banyak orang untuk berbuat lebih dalam kehidupan. Dengan keterbatasan dia terus berusaha, baik secara akademis maupun tidak. Buktinya Sayang juga pernah mengecam bangku kuliah di Fakultas Seni Rupa Universitas Medan (Unimed) tetapi tidak sampai diwisuda. Kemudian dia mendapatkan beasiswa di sebuah akademi seni yang ada di Kota Venesia, Italia, selama delapan bulan. Nah, setelah itu, dia juga membina sejumlah orang cacat sebagai seniman yang terlibat di seni vokal, seni musik, seni rupa khusus patung dan sebagainya.

Pada tahun 1990 silam, Sayang Bangun pun diakui sebagai anggota Assosiation of Mouth and Foot Painting Artists (AMFP), organisasi yang mewadahi pelukis cacat dunia yang berdudukan di Swiss. Keberadaannya juga sebagai anggota AMFP melambungkan namanya sebagai jagoan lukis di Tanah Air. “Hidup adalah kehormatan dan kehormatan dicapai dengan perjuangan. Tetapi, pernahkah Anda membayangkan kalau kita melukis dengan tidak menggunakan jari tangan yang sempurna? Melukis dengan jari yang sempurna pun, belum tentu hasil lukisannya akan bagus,” ujar Sayang Bangun.

Sayang, Sayang Bangun belum juga memiliki galeri pribadi untuk memamerkan karyanya. Sempat dia dijanjikan oleh pemerintah yang akan membangun sebuah galeri di tanah miliknya di yang berada di Jalan Bunga Sedap Malam Padang Bulan Medan ukuran tanah 10 X 3 meter. Sekali lagi sayang, hal itu belum juga terwujud.
Bukannya putus asa, Sayang Bangun malah tambah giat bekerja di ruang pribadi milikinya yang hanya seluas 5 X 4 meter. Ya, meski bersempit-sempitan dengan seniman cacat binaannya.
“Begitulah Bapak, tidak pernah mengeluh. “Contohnya, jangan pernah rumah itu kotor atau berserak, dia akan langsung membersihkannya,” ucap sang istri SSisilia Tarigan. (mag-7)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/