JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Proses negosiasi besaran diat atau uang darah yang harus dibayar TKI Satinah binti Jumaidi karena membunuh majikannya akhirnya menemukan titik temu. Keluarga almarhum majikan Satinah, Nurah binti Muhammad Al Gharib setuju menerima uang muka diat sebesar 5 juta riyal (Rp15 miliar), untuk kemudian menunda waktu eksekusi Satinah selama dua tahun.
Menurut palaksana Pansosbud KBRI Riyad Susilo Wahyuntoro, kesepakatan tersebut terjadi beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, meski keluarga korban menyetujui untuk menerima 5 juta riyal, namun besaran diyat keseluruhan masih tetap sama. Satinah tetap harus membayar 7 juta riyal untuk bisa terbebas dari hukuman pancung. “Belum lama (kesepakatan terjadi). Sepakat 5 juta riyal dibayar sekarang, yang dua juta dicicil sampai dua tahun,” ujar Susilo saat dihubungi, Sabtu (29/3).
Atau, dengan kata lain eksekusi pancung TKI asal Ungaran, Semarang itu akan ditunda hingga dua tahun mendatang. Kesepakatan tersebut, kata dia, disampaikan oleh pihak ahli waris kepada pihak Kementerian Luar Negeri Arab Saudi. Yang kemudian, dikabarkan secara langsung pada KBRI di Riyadh.
“KBRI kan memang tidak bisa berkomunikasi langsung dengan ahli waris, jadi melalui Kemenlu Saudi,” tutur Susilo. Pihak KBRI, telah meminta pihak ahli waris untuk menerima terlebih dahulu besaran diat yang telah dititipkan di Baitul Maal Pengadilan Umum Buraidah, yakni sebesar 4 juta riyal.
Namun hal itu ditolak, pihak ahli waris meminta besaran tersebut dilengkapi terlebih dahulu sebelum akhirnya diterima oleh mereka. Sementara itu, hingga berita ini ditulis, Ketua Satgas TKI Maftuh Basyunih masih belum tiba di Saudi. Susilo menduga, Maftuh akan tiba di Saudi dengan membawa tambahan uang diyat tersebut. “Pak Maftuh belum sampai, nanti malam (kemarin malam) baru tiba. Mungkin saja (bawa uang diyat tambahan, 1 juta riyal),” katanya.
Pembayaran diyat yang dilakukan oleh pemerintah ini mendapat sorotan berbeda dari guru besar hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Ia menilai, pembayaran diat tak seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sebab, hal itu akan memicu keluarga korban untuk mengkomersialkan diat. Selain itu, yang paling digaris bawahi oleh Hikmahanto adalah pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban.
“Sebab kan dalam pandangan keluarga korban bila pemerintah Indonesia yang melakukan pembayaran, maka kemampuan pemerintah tidak ada batasan. Pemerintah Indonesia dianggap mampu untuk membayar seberapapun uang diat yang diminta,” tandasnya.
Sehingga, lanjutnya, sebaiknya pemerintah tidak membayarkan diyat para TKI yang bermasalah. Namun bukan berarti pemerintah lepas tanggung jawab. Pemerintah tetap berkewajiban untuk mengawal proses hukum yang berjalan, dengan menyediakan pengacara dan memberikan perlindungan selama mereka di sana.
246 WNI MENUNGGU HUKUMAN MATI
Dalam pertemuannya dengan empat keluarga TKW yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, Presiden SBY mengungkapkan masih ada 246 warga negara Indonesia yang harus diajukan pengampunan dan pemaafan agar tidak dihukum mati.
Sedangkan selama ini sudah 176 warga negara Indonesia yang sudah bebas dari hukuman mati. SBY mengatakan 176 warga negara Indonesia tersebut mayoritas terlibat kasus pembunuhan dan narkoba. Ia pun menyatakan untuk pengajuan pembebasan dari hukuman mati tersebut tidak mudah dan jumlah tersebut bukan jumlah yang sedikit.
“Sudah berhasil kita bebaskan dari hukuman mati 176 orang selama ini. Itu bukan angka kecil mengingat tidak mudahnya memberi ampunan pada satu orang saja,” kata SBY dalam sambutannya di ruang Walnut, lantai lima hotel Gumaya, Semarang, Minggu (30/3).
Lebih lanjut, SBY menambahkan, pemerintah tidak diminta keluarga dan tidak ditekan siapapun dalam usahanya meminta pengampunan jika ada warga negaranya yang terancam hukuman mati di negara manapun. Namun usaha-usaha yang dilakukan pemerintah tidak semuanya bisa diutarakan ke masyarakat agar tidak menimbulkan kegaduhan.
“Itu saya lakukan terus menerus, tidak pernah berhenti. Tetapi mengapa tidak selalu saya jelaskan kepada rakyat? Apakah Arab, Malaysia, Tiongkok dan lain-lain agar rakyatnya tidak gaduh, tidak marah dan tidak memprotes pada pemimpinnya. Diselesaikan secara baik tanpa kegaduhan, apalagi menjadi politik,” tegas SBY. “Sama saja kalau ada negara lain meminta pembebasan warga negaranya dari hukuman mati, terus saya begitu saja memberikan, rakyat kita marah. Begitu tatanan yang ada dalam hubungan antar bangsa,” jelasnya.
Berbagai usaha yang dilakukan oleh Presiden dan pemerintahannya untuk membebaskan warga negara Indonesia yang terjerat hukuman mati tetap tergantung dari pihak keluarga korban jika kasus yang menjeratnya adalah pembunuhan.
“Tentu saya tidak bisa memutuskan, memohon, tapi berusaha mengirimkan tim, menulis surat dan sebagainya. Kami akan terus bekerja, tidak pernah putus asa. Mudah-mudahan ikhtiar kita diridai Allah,” pungkas SBY. SBY melakukan pertemuan tertutup dengan empat keluarga TKW yang terancam hukuman mati, yaitu keluarga Satinah, Siti Zaenab bin Duhri Rupa, Tuti Tursilawati bin Warzuki, dan Karni bin Medi Tarsim.
Dalam pertemuan tersebut turut hadir Mensesneg Rudi Silalahi, jubir kepresidenan, Julian Pasha, Penasihat Presiden Daniel Sparingga, dan Mendikbud M. Nuh. (jpnn/bbs/deo)