26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pabrik Rokok Naik Kelas

Cukai rokok.
Cukai rokok.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Meski tahun ini tidak ada kenaikan tarif cukai rokok, namun realisasi cukai masih mengepul kencang.

Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan, sepanjang periode 1 Januari – 30 April 2014, realisasi penerimaan cukai sudah menembus angka Rp 37,49 triliun. ‘Ini naik 14,91 persen dari penerimaan periode sama tahun 2013,’ ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (6/5).

Data Ditjen Bea Cukai menunjukkan, dari total penerimaan Rp 37,49 triliun tersebut, sebanyak 95,99 persen atau Rp 36 triliun diantaranya berasal dari cukai rokok. Adapun sekitar 4 persen atau Rp 1,49 triliun lainnya berasal dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan etil alkohol (EA).

Menurut Susiwijono, tahun ini Ditjen Bea dan Cukai harus bekerja lebih keras untuk mencapai target penerimaan cukai yang dalam APBN 2014 dipatok sebesar Rp 116,28 triliun. Apalagi, tahun ini pemerintah tidak menaikkan cukai rokok seiring mulai berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang memberi kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak rokok per 1 Januari 2014. ‘Jadi, kami di (pemerintah) pusat fokus pada intensifikasi,’ katanya.

Susiwijono menyebut, salah satu strategi yang dijalankan adalah optimalisasi penerimaan cukai melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2013 tentang hubungan keterkaitan produsen rokok. Melalui aturan ini, pabrik-pabrik rokok yang dimiliki oleh orang yang sama atau masih memiliki hubungan keluarga, diklasifikasikan sebagai satu entitas, sehingga dengan jumlah produksi yang lebih besar, maka pabrik rokok naik kelas ke golongan lebih tinggi. ‘Jika kelasnya naik, secara otomatis “tarif cukainya juga ikut naik,’ ucapnya.

Susiwijono mengatakan, sejauh ini, strategi tersebut cukup berhasil menambah setoran cukai. Misalnya, periode Januari – Februari 2014 saja, ada tambahan tagihan senilai Rp 170 miliar dari beberapa perusahaan besar yang selama ini juga memiliki anak usaha pabrik-pabrik rokok kecil. ‘Verifikasi kan terus berjalan, jadi hasilnya akan terus bertambah,’ ujarnya.

Naik kelasnya pabrik rokok kecil itu juga terlihat dari data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat kenaikan produksi pada industri rokok besar dan sedang (menengah), adapun pada industri rokok kecil dan mikro terjadi penurunan tajam.

Data BPS menunjukkan, sepanjang Triwulan I 2014 lalu, produksi industri rokok atau pengolahan tembakau skala besar dan sedang menunjukkan kenaikan 8,42 persen dibanding periode sama tahun 2013 (year on year). Namun, produksi industri rokok mikro dan kecil tercatat anjlok 33,05 persen. Ini merupakan penurunan terbesar diantara 23 jenis industri lainnya. ‘Karena naik kelas, maka produksi rokok pabrik kecil kini dihitung masuk kategori pabrik sedang atau besar,’ jelasnya. (owi)

Cukai rokok.
Cukai rokok.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Meski tahun ini tidak ada kenaikan tarif cukai rokok, namun realisasi cukai masih mengepul kencang.

Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan, sepanjang periode 1 Januari – 30 April 2014, realisasi penerimaan cukai sudah menembus angka Rp 37,49 triliun. ‘Ini naik 14,91 persen dari penerimaan periode sama tahun 2013,’ ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (6/5).

Data Ditjen Bea Cukai menunjukkan, dari total penerimaan Rp 37,49 triliun tersebut, sebanyak 95,99 persen atau Rp 36 triliun diantaranya berasal dari cukai rokok. Adapun sekitar 4 persen atau Rp 1,49 triliun lainnya berasal dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan etil alkohol (EA).

Menurut Susiwijono, tahun ini Ditjen Bea dan Cukai harus bekerja lebih keras untuk mencapai target penerimaan cukai yang dalam APBN 2014 dipatok sebesar Rp 116,28 triliun. Apalagi, tahun ini pemerintah tidak menaikkan cukai rokok seiring mulai berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang memberi kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak rokok per 1 Januari 2014. ‘Jadi, kami di (pemerintah) pusat fokus pada intensifikasi,’ katanya.

Susiwijono menyebut, salah satu strategi yang dijalankan adalah optimalisasi penerimaan cukai melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2013 tentang hubungan keterkaitan produsen rokok. Melalui aturan ini, pabrik-pabrik rokok yang dimiliki oleh orang yang sama atau masih memiliki hubungan keluarga, diklasifikasikan sebagai satu entitas, sehingga dengan jumlah produksi yang lebih besar, maka pabrik rokok naik kelas ke golongan lebih tinggi. ‘Jika kelasnya naik, secara otomatis “tarif cukainya juga ikut naik,’ ucapnya.

Susiwijono mengatakan, sejauh ini, strategi tersebut cukup berhasil menambah setoran cukai. Misalnya, periode Januari – Februari 2014 saja, ada tambahan tagihan senilai Rp 170 miliar dari beberapa perusahaan besar yang selama ini juga memiliki anak usaha pabrik-pabrik rokok kecil. ‘Verifikasi kan terus berjalan, jadi hasilnya akan terus bertambah,’ ujarnya.

Naik kelasnya pabrik rokok kecil itu juga terlihat dari data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat kenaikan produksi pada industri rokok besar dan sedang (menengah), adapun pada industri rokok kecil dan mikro terjadi penurunan tajam.

Data BPS menunjukkan, sepanjang Triwulan I 2014 lalu, produksi industri rokok atau pengolahan tembakau skala besar dan sedang menunjukkan kenaikan 8,42 persen dibanding periode sama tahun 2013 (year on year). Namun, produksi industri rokok mikro dan kecil tercatat anjlok 33,05 persen. Ini merupakan penurunan terbesar diantara 23 jenis industri lainnya. ‘Karena naik kelas, maka produksi rokok pabrik kecil kini dihitung masuk kategori pabrik sedang atau besar,’ jelasnya. (owi)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/