30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Di Malang, Ada Dokter Mau Dibayar Pakai Sampah

Seorang ibu menggendong anaknya sambil membawa sampah yang dapat didaur ulang di klinik Bumi Ayu, Malang, Jawa Timur. (AFP)
Seorang ibu menggendong anaknya sambil membawa sampah yang dapat didaur ulang di klinik Bumi Ayu, Malang, Jawa Timur. (AFP)

MALANG, SUMUTPOS.CO – Mahmud membawa kantong-kantong berisi sampah ke klinik kecil dengan bangunan bobrok di pinggir jalan ramai di Malang, Jawa Timur, beberapa kali sebulan.

Di sana, ia menukar kardus, botol plastik dan sampah lainnya untuk sesuatu yang sulit ia jangkau tanpanya, yaitu perawatan medis.

“Karena bisa dijual, saya simpan sampahnya,” ujar pria berusia 60 tahun itu.

“Saya biasanya membuang sampah ke jalan tapi saya ingatkan diri saya bahwa sampah bisa berguna.”

Mahmud, yang menderita reumatik, adalah salah satu dari banyak anggota Klinik Bumi Ayu di Malang yang secara rutin membawa sampah sebagai pembayaran pemeriksaan kesehatan dan obat.

Ada lima klinik semacam itu di kota tersebut, yang merupakan bagian dari skema “Asuransi Klinis Sampah” oleh pendirinya, dokter Gamal Albinsaid yang berusia 24 tahun, yang menawarkan pengobatan dan saran medis untuk kelompok miskin.

Klinik-klinik ini menjadi upaya kreatif untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh sistem kesejahteraan yang timpang di negara ini.

Selain perawatan kesehatan, inisiatif Gamal memiliki manfaat lain, yaitu menciptakan pasukan pembersih untuk membersihkan jalan di dan sekitar Malang dari sampah.

Gamal memutuskan membuka klinik pertama pada 2010 setelah mendengar kisah seorang anak perempuan dari pemulung sampah yang meninggal dunia setelah sakit diare. Keluarganya tidak mampu membayar perawatan kesehatan.

Klinik tersebut gagal dibuka, tapi pada 2013, Gamal dan empat orang lainnya mendapatkan dana untuk membuka lima klinik di Malang, dan sejauh ini upaya mereka berjalan lancar.

Pencapaiannya mendapat pengakuan Januari ketika ia diberi penghargaan Unilever Young Sustainability Entrepreneur Prize dari Pangeran Charles dari Inggris, dalam sebuah upacara di London, yang berhadiah 50.000 euro (US$84.808) dalam bentuk dukungan finansial dan pendampingan.

Orang-orang yang ingin mendapatkan perawatan di klinik-klinik tersebut membawa sampah seminggu sekali pada Sabtu. Mereka harus mengumpulkan sampah bernilai Rp 10.000 setiap bulan untuk dapat menjadi anggota skema tersebut, dan itu membuat mereka dapat datang ke klinik dua kali per bulan.

Sampah yang berbeda-beda memiliki nilai yang berbeda, menurut Gamal. Sampah organik dapat diubah menjadi pupuk yang kemudian dijual ke petani, dan bahan lainnya, seperti plastik dan logam, dibeli oleh pengumpul sampah yang memrosesnya dan menjualnya kembali.

Klinik Bumi Ayu memiliki dua dokter, satu perawat dan dua petugas farmasi dan buka setiap hari. Sebagian besar pasien adalah buruh tani di sawah sekitar Malang.

Salah satu dokter, Efriko Septananda, mengatakan masalah yang umum dari pasien adalah tekanan darah tinggi, diabetes, pilek dan sakit maag.

Sebagian besar dari mereka berpenghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta per bulan, dan kesulitan mendapatkan perawatan medis yang baik jika klinik tidak menyediakannya dengan ditukar sampah, ujarnya.

Perawatan kesehatan publik gratis memang tersedia di Malang dan bagian-bagian lain di Indonesia, namun mengaksesnya cukup kompleks dan penuh birokrasi, menurut Gamal.

Menurut Mahmud, perawatan di klinik itu mengurangi reumatiknya.

“Sebelumnya saya merasa sakit, terutama jika harus membungkuk saat shalat,” ujarnya. “Namun sekarang sudah bisa shalat dengan normal.”

Gamal, yang masih menjalani pelatihan dokter dan tidak mengobati pasien di klinik-klinik tersebut, mengatakan sistem tersebut telah berhasil karena hanya 10-15 persen orang yang membawa sampah menggunakan layanan kesehatan. Hal itu membuat ada cukup dana untuk mengelola klinik dan mendanai pengembangannya.

Ia berharap dapat mengembangkan skema tersebut di seluruh Indonesia dengan klinik-klinik yang direncanakan akan dibuka di tiga kota lain sejauh ini, dan pemerintah juga telah menunjukkan ketertarikan untuk terlibat.

Bagi Gamal, hal ini berarti juga memberikan beberapa kelompok termiskin di negara ini kontrol yang lebih besar akan nasib mereka.

“Dengan klinik-klinik ini, kita dapat memberdayakan orang miskin,” ujarnya. (AFP/Maud Watine)

Seorang ibu menggendong anaknya sambil membawa sampah yang dapat didaur ulang di klinik Bumi Ayu, Malang, Jawa Timur. (AFP)
Seorang ibu menggendong anaknya sambil membawa sampah yang dapat didaur ulang di klinik Bumi Ayu, Malang, Jawa Timur. (AFP)

MALANG, SUMUTPOS.CO – Mahmud membawa kantong-kantong berisi sampah ke klinik kecil dengan bangunan bobrok di pinggir jalan ramai di Malang, Jawa Timur, beberapa kali sebulan.

Di sana, ia menukar kardus, botol plastik dan sampah lainnya untuk sesuatu yang sulit ia jangkau tanpanya, yaitu perawatan medis.

“Karena bisa dijual, saya simpan sampahnya,” ujar pria berusia 60 tahun itu.

“Saya biasanya membuang sampah ke jalan tapi saya ingatkan diri saya bahwa sampah bisa berguna.”

Mahmud, yang menderita reumatik, adalah salah satu dari banyak anggota Klinik Bumi Ayu di Malang yang secara rutin membawa sampah sebagai pembayaran pemeriksaan kesehatan dan obat.

Ada lima klinik semacam itu di kota tersebut, yang merupakan bagian dari skema “Asuransi Klinis Sampah” oleh pendirinya, dokter Gamal Albinsaid yang berusia 24 tahun, yang menawarkan pengobatan dan saran medis untuk kelompok miskin.

Klinik-klinik ini menjadi upaya kreatif untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh sistem kesejahteraan yang timpang di negara ini.

Selain perawatan kesehatan, inisiatif Gamal memiliki manfaat lain, yaitu menciptakan pasukan pembersih untuk membersihkan jalan di dan sekitar Malang dari sampah.

Gamal memutuskan membuka klinik pertama pada 2010 setelah mendengar kisah seorang anak perempuan dari pemulung sampah yang meninggal dunia setelah sakit diare. Keluarganya tidak mampu membayar perawatan kesehatan.

Klinik tersebut gagal dibuka, tapi pada 2013, Gamal dan empat orang lainnya mendapatkan dana untuk membuka lima klinik di Malang, dan sejauh ini upaya mereka berjalan lancar.

Pencapaiannya mendapat pengakuan Januari ketika ia diberi penghargaan Unilever Young Sustainability Entrepreneur Prize dari Pangeran Charles dari Inggris, dalam sebuah upacara di London, yang berhadiah 50.000 euro (US$84.808) dalam bentuk dukungan finansial dan pendampingan.

Orang-orang yang ingin mendapatkan perawatan di klinik-klinik tersebut membawa sampah seminggu sekali pada Sabtu. Mereka harus mengumpulkan sampah bernilai Rp 10.000 setiap bulan untuk dapat menjadi anggota skema tersebut, dan itu membuat mereka dapat datang ke klinik dua kali per bulan.

Sampah yang berbeda-beda memiliki nilai yang berbeda, menurut Gamal. Sampah organik dapat diubah menjadi pupuk yang kemudian dijual ke petani, dan bahan lainnya, seperti plastik dan logam, dibeli oleh pengumpul sampah yang memrosesnya dan menjualnya kembali.

Klinik Bumi Ayu memiliki dua dokter, satu perawat dan dua petugas farmasi dan buka setiap hari. Sebagian besar pasien adalah buruh tani di sawah sekitar Malang.

Salah satu dokter, Efriko Septananda, mengatakan masalah yang umum dari pasien adalah tekanan darah tinggi, diabetes, pilek dan sakit maag.

Sebagian besar dari mereka berpenghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta per bulan, dan kesulitan mendapatkan perawatan medis yang baik jika klinik tidak menyediakannya dengan ditukar sampah, ujarnya.

Perawatan kesehatan publik gratis memang tersedia di Malang dan bagian-bagian lain di Indonesia, namun mengaksesnya cukup kompleks dan penuh birokrasi, menurut Gamal.

Menurut Mahmud, perawatan di klinik itu mengurangi reumatiknya.

“Sebelumnya saya merasa sakit, terutama jika harus membungkuk saat shalat,” ujarnya. “Namun sekarang sudah bisa shalat dengan normal.”

Gamal, yang masih menjalani pelatihan dokter dan tidak mengobati pasien di klinik-klinik tersebut, mengatakan sistem tersebut telah berhasil karena hanya 10-15 persen orang yang membawa sampah menggunakan layanan kesehatan. Hal itu membuat ada cukup dana untuk mengelola klinik dan mendanai pengembangannya.

Ia berharap dapat mengembangkan skema tersebut di seluruh Indonesia dengan klinik-klinik yang direncanakan akan dibuka di tiga kota lain sejauh ini, dan pemerintah juga telah menunjukkan ketertarikan untuk terlibat.

Bagi Gamal, hal ini berarti juga memberikan beberapa kelompok termiskin di negara ini kontrol yang lebih besar akan nasib mereka.

“Dengan klinik-klinik ini, kita dapat memberdayakan orang miskin,” ujarnya. (AFP/Maud Watine)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/