30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

PKL Warkop Harapan di Eks Polonia Geruduk Kantor Walikota

Foto: Wiwin/PM Pedagang warkop eks Harapan di Polonia, geruduk kantor Wali Kota Medan, Rabu (13/8/2014).
Foto: Wiwin/PM
Pedagang warkop eks Harapan di Polonia, geruduk kantor Wali Kota Medan, Rabu (13/8/2014).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Puluhan pedagang warkop harapan yang berjualan di Jalan Samanhudi Medan melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Walikota Medan, Rabu (13/8) siang.

Massa berdiri di atas trotoar yang menghubungkan kantor Walikota Medan dengan gedung DPRD Medan sambil membentangkan spanduk.

Mereka meminta Walikota Medan dan DPRD Medan untuk berpihak kepada rakyat kecil, dengan mengembalikan penataan sarana dan prasarana warkop harapan seperti semula yaitu sistem bongkar pasang. Hal ini sesuai kesepakatan antara pedagang lama dengan masyarakat sekitar sesuai dengan hasil forum rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Sumut 5 April 2012 lalu. Hal ini pun tertuang dalam rekomendasi DPRD Sumut tertanggal 20 April 2012 dengan nomor surat 784/18/Sekr, yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun.

Kenyataannya, PKL yang jumlahnya tak sampai seratus tersebut harus menelan pil pahit karena dilarang berjualan di sana.

“Presiden SBY aja bilang kalau pedagang kaki lima (PKL) itu adalah salah satu penggerak perekonomian di Indonesia. Lalu mengapa kami dibuat begini. Walikota Medan harus tau, jangan pas minta suara aja dia baru mau tau. Ingat! Dia dipilih oleh rakyat,” ujar Rahmadsyah, koordinator Asosiasi Pedagang Kali Lima (APKLI)kota Medan.

Lanjut Rahmadsyah, penggusuran PKL disinyalir adanya keinginan pemerintah mengalihkan para PKL untuk berjualan di parkiran Bandara Polonia. Namun ada bau tak sedap tercium di sana.

Mereka menduga bahwa pengalihan PKL ke eks Bandara Polonia atas permintaan orang ketiga, yang hendak meraup untung pribadi. Pedagang menyebut, bila mereka berjualan di eks Bandara Polonia tersebut harus membayar uang pendaftaran sebesar Rp5juta. Lain lagi dengan uang sewa yang dikenakan Rp500 ribu per bulan dan Rp10 ribu per hari. Semua ini harus dibayar di awal.

Salah seorang PKL yang ikut melakukan aksi unjuk rasa, membenarkan hal tersebut. Dirinya pun menjabarkan berapa uang pendaftaran di parkiran eks Bandara Polonia tersebut di awal buka. Pihak Kecamatan Medan Maimun pun disebut-sebut mendapat jatah dari biaya-biaya itu.

“Dulu Rp3 juta pendaftaraannya, sekarang jadi Rp5 juta. Uang bulanan dulu Rp300 ribu, sekarang Rp500 ribu. Uang harian dulu Rp6 ribu, sekarang jadi Rp10 ribu. Semua ini harus dibayar lunas di awal jualan. Mau uang dari mana kami,” ujar Yanti (30), salah seorang pengunjukrasa.

Dia mengatakan, pihaknya bersedia bila diminta sejumlah uang agar tetap berjualan di jalan Samanhudi. Namun selama ini tak pernah ada pembicaraan mengenai hal tersebut. “Kami kasih kalau memang mau ada setoran,” ujarnya.

Yanti menyebutkan, selama ini mereka berjualan sejak pukul 17.00 Wib hingga 05.00 Wib. Namun, sejak dua bulan lalu, dirinya tak lagi bisa berjualan bersama 14 PKL lainnya.

Massa sempat melakukan aksi bakar ban. Namun hal tersebut dihadang oleh pihak keamanan, karena dinilai mengganggu lalu lintas jalan. Padahal 5 buah ban telah ditumpuk di tengah jalan dengan api kecil yang menyala.

Tak lama, kehadiran mereka pun disambut oleh Kabag Tata Pemerintahan kota Medan, Riza Zulfi. Namun, seperti biasa bahwa aspirasi massa hanya sekadar ditampung dan akan diberitahukan kepada Walikota Medan, Dzulmi Eldin. (win/fit)

Foto: Wiwin/PM Pedagang warkop eks Harapan di Polonia, geruduk kantor Wali Kota Medan, Rabu (13/8/2014).
Foto: Wiwin/PM
Pedagang warkop eks Harapan di Polonia, geruduk kantor Wali Kota Medan, Rabu (13/8/2014).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Puluhan pedagang warkop harapan yang berjualan di Jalan Samanhudi Medan melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Walikota Medan, Rabu (13/8) siang.

Massa berdiri di atas trotoar yang menghubungkan kantor Walikota Medan dengan gedung DPRD Medan sambil membentangkan spanduk.

Mereka meminta Walikota Medan dan DPRD Medan untuk berpihak kepada rakyat kecil, dengan mengembalikan penataan sarana dan prasarana warkop harapan seperti semula yaitu sistem bongkar pasang. Hal ini sesuai kesepakatan antara pedagang lama dengan masyarakat sekitar sesuai dengan hasil forum rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Sumut 5 April 2012 lalu. Hal ini pun tertuang dalam rekomendasi DPRD Sumut tertanggal 20 April 2012 dengan nomor surat 784/18/Sekr, yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun.

Kenyataannya, PKL yang jumlahnya tak sampai seratus tersebut harus menelan pil pahit karena dilarang berjualan di sana.

“Presiden SBY aja bilang kalau pedagang kaki lima (PKL) itu adalah salah satu penggerak perekonomian di Indonesia. Lalu mengapa kami dibuat begini. Walikota Medan harus tau, jangan pas minta suara aja dia baru mau tau. Ingat! Dia dipilih oleh rakyat,” ujar Rahmadsyah, koordinator Asosiasi Pedagang Kali Lima (APKLI)kota Medan.

Lanjut Rahmadsyah, penggusuran PKL disinyalir adanya keinginan pemerintah mengalihkan para PKL untuk berjualan di parkiran Bandara Polonia. Namun ada bau tak sedap tercium di sana.

Mereka menduga bahwa pengalihan PKL ke eks Bandara Polonia atas permintaan orang ketiga, yang hendak meraup untung pribadi. Pedagang menyebut, bila mereka berjualan di eks Bandara Polonia tersebut harus membayar uang pendaftaran sebesar Rp5juta. Lain lagi dengan uang sewa yang dikenakan Rp500 ribu per bulan dan Rp10 ribu per hari. Semua ini harus dibayar di awal.

Salah seorang PKL yang ikut melakukan aksi unjuk rasa, membenarkan hal tersebut. Dirinya pun menjabarkan berapa uang pendaftaran di parkiran eks Bandara Polonia tersebut di awal buka. Pihak Kecamatan Medan Maimun pun disebut-sebut mendapat jatah dari biaya-biaya itu.

“Dulu Rp3 juta pendaftaraannya, sekarang jadi Rp5 juta. Uang bulanan dulu Rp300 ribu, sekarang Rp500 ribu. Uang harian dulu Rp6 ribu, sekarang jadi Rp10 ribu. Semua ini harus dibayar lunas di awal jualan. Mau uang dari mana kami,” ujar Yanti (30), salah seorang pengunjukrasa.

Dia mengatakan, pihaknya bersedia bila diminta sejumlah uang agar tetap berjualan di jalan Samanhudi. Namun selama ini tak pernah ada pembicaraan mengenai hal tersebut. “Kami kasih kalau memang mau ada setoran,” ujarnya.

Yanti menyebutkan, selama ini mereka berjualan sejak pukul 17.00 Wib hingga 05.00 Wib. Namun, sejak dua bulan lalu, dirinya tak lagi bisa berjualan bersama 14 PKL lainnya.

Massa sempat melakukan aksi bakar ban. Namun hal tersebut dihadang oleh pihak keamanan, karena dinilai mengganggu lalu lintas jalan. Padahal 5 buah ban telah ditumpuk di tengah jalan dengan api kecil yang menyala.

Tak lama, kehadiran mereka pun disambut oleh Kabag Tata Pemerintahan kota Medan, Riza Zulfi. Namun, seperti biasa bahwa aspirasi massa hanya sekadar ditampung dan akan diberitahukan kepada Walikota Medan, Dzulmi Eldin. (win/fit)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/