30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Semoga Waras Listrik di Kegilaan BBM

Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

“Kabar gembira, Pak Dahlan, STNK mobil listrik kami sudah keluar. Inilah STNK mobil listrik pertama di Indonesia,” tulis Martin Soekotjo dalam SMS-nya kepada saya.

Malam itu juga saya SMS kepada Bapak Presiden SBY. “Bapak Presiden Yth, lapor kabar gembira: STNK mobil listrik sudah keluar untuk pertama kalinya. Mobilnya produksi pabrik yang di Surabaya itu. Terima kasih, Bapak Presiden. Akhirnya jadi kenyataan di era kepresidenan Bapak. Alhamdulillah.”

Waktu itu, Jumat sore lalu, saya lagi di Bitung. Meninjau galangan kapal IKI cabang Bitung yang pada pukul 17.00 senja itu masih ramai dengan orang bekerja.

Banyak kapal antre untuk diperbaiki. Bisnis berjalan lancar. Padahal, PT IKI (Industri Kapal Indonesia yang berpusat di Makassar) tiga tahun lalu masih mati.

Saya juga meninjau Pelabuhan Bitung di bawah PT Pelindo IV. Tahun ini Pelabuhan Bitung mulai mengoperasikan dermaga baru yang dalamnya 15 meter. Memenuhi standar kedalaman tol laut.

Tidak lama lagi PT Pelayaran Meratus dan Tempuran Emas mulai melayari jalur Belawan-Bitung. “Pertama dalam sejarah Pelabuhan Bitung dijadikan tujuan rute dari Medan,” ujar GM Pelindo Bitung Heru Bhakti Fireno.

Saya juga meninjau pabrik pengolahan ikan PT Perikanan Nusantara Cabang Bitung yang amat membanggakan: sebuah pabrik yang amat ramai dan sibuk. Padahal, empat tahun lalu masih berupa “kuburan”.

“Saya sempat tidak digaji tiga tahun. Kompleks pabrik ini jadi semak belukar,” ujar Direktur Perinus Max Najoan yang dulunya nelayan beneran. Kini Max adalah direktur produksi PT Perinus.

“Seumur hidup tidak pernah membayangkan Bapak mengangkat saya jadi direktur,” ujar tamatan SPMA Perikanan Manado itu.

Dari Bitung saya melakukan komunikasi ke Surabaya, berbicara dengan petugas yang mengurus STNK mobil listrik itu. “Yang dapat STNK memang baru satu, Pak. Tapi, berikutnya sudah akan lancar,” ujar Sukotjo, staf PT Grain, saat saya telepon dari Bitung.

“Kalau begitu, saya akan mampir ke Surabaya. Melihat mobilnya dan STNK-nya,” kata saya. “Saya bisa menyisihkan waktu empat jam di Surabaya,” tambah saya.

Empat jam itu sekalian akan saya gunakan untuk jadwal menjalani stemcell di Stemcell Center RSUD dr Soetomo, memasang crown gigi belakang di dokter gigi langganan saya, dan mencoba mobil listrik yang sudah ber-STNK itu.

Agar hemat waktu, saya minta mobil tersebut dibawa ke rumah dokter gigi di Jalan Sedap Malam, Surabaya. Juga mobil listrik jenis sedan kecil yang STNK-nya sedang diurus.

Lalu, dengan mengemudikan mobil itu saya menuju Bandara Juanda untuk kembali ke Jakarta. Ketika mencoba mengemudikan mobil listrik ber-STNK tersebut saya merasakan getaran halus mobil dan getaran bangga di hati saya.

Sebenarnya saya sudah mencoba minivan itu dua tahun lalu. Tepatnya November 2012. Kini terasa sudah sempurna: power steering, gasnya, remnya, AC-nya, dan segala macamnya.

“Perjuangan dua tahun akhirnya ada hasilnya,” ujar Sukotjo, staf PT Grain yang menjadi produsen mobil tersebut.

Kendaraan itu memang masih berbasis mobil listrik dari Tiongkok yang dirakit dan disempurnakan di Surabaya. Tapi, komponen terbesarnya, baterai, akan sepenuhnya produksi Indonesia. “Kami sudah bicara dengan Nipress,” ujar Martin. “Yang lain-lain secara bertahap juga akan diproduksi di Surabaya,” tambahnya.

Dua tahun lalu saya mengunjungi pabriknya yang dibangun di luar Kota Surabaya itu. Sekarang pabrik tersebut sudah jadi dan beroperasi. Mampu merakit 10.000 mobil listrik setahun.

Mobil listrik dari Surabaya itu bersimbol petir, mirip logo PLN. Sebab, ia memang salah satu di antara lima putra petir yang kita unggulkan.

Pabrik itu satu kompleks dengan pabrik baja yang amat besar, dengan pemilik yang sama. Kerangka baja bandara-bandara baru seperti Bali, Medan, Sepinggan, dan Juanda dibuat di sana. Juga Terminal 3 Soekarno-Hatta yang raksasa itu.

Pabrik tersebut sekarang juga memproduksi baja untuk gedung bertingkat yang berbasis baja. Dengan modul ciptaannya, sebuah gedung enam lantai bisa dibangun hanya dalam waktu enam bulan.

“Desain kami bisa sampai 18 lantai lebih,” ujar Martin.

Mobil listrik pertama ber-STNK itu dibeli oleh anak perusahaan PLN, PT PJB Cabang Gresik. “Sekarang ke mana-mana kami gunakan minivan ini,” ujar Sugiyanto, GM PJB Gresik.

“Hemat sekali. Bandingannya, dengan mobil bensin sehari habis Rp60.000, dengan mobil listrik ini hanya Rp10.000,” tutur Sugiyanto.

Memang charging-nya masih empat jam. Tapi, di malam hari, saat pemilik mobil tidur, sangat cukup waktu untuk charging sampai penuh.

“Untuk kepentingan sehari-hari, kami hanya perlu charging dua hari sekali. Tidak tiap hari,” papar Sugiyanto.

Rabu lusa, saat ada acara di RRI Jogja, saya juga akan menyerahkan becak listrik kepada dua tukang becak Solo yang selama ini menjadi jamaah salawat Habib Syekh.

Becak listrik itu benar-benar becak biasa: masih harus dikayuh. Tapi ringan sekali. Saat becak menanjak pun, kayuhannya tetap sangat ringan.

Habib Syekh-lah pemilik ide awalnya. Saat mendengar salah satu Syekher-nya, saya, memelopori mobil listrik, beliau minta dibuatkan becak listrik. Beliau melihat betapa rekoso-nya tukang becak yang sudah tua tapi tetap mengayuh becaknya untuk mempertahankan hidup.

Saya sendiri sedang mengubah mobil Jaguar saya yang lama untuk menjadi mobil listrik. Bulan depan sudah jadi.

Di tengah gonjang-ganjing harga BBM, siapa tahu orang menjadi waras: menoleh ke mobil listrik! (*)

Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

“Kabar gembira, Pak Dahlan, STNK mobil listrik kami sudah keluar. Inilah STNK mobil listrik pertama di Indonesia,” tulis Martin Soekotjo dalam SMS-nya kepada saya.

Malam itu juga saya SMS kepada Bapak Presiden SBY. “Bapak Presiden Yth, lapor kabar gembira: STNK mobil listrik sudah keluar untuk pertama kalinya. Mobilnya produksi pabrik yang di Surabaya itu. Terima kasih, Bapak Presiden. Akhirnya jadi kenyataan di era kepresidenan Bapak. Alhamdulillah.”

Waktu itu, Jumat sore lalu, saya lagi di Bitung. Meninjau galangan kapal IKI cabang Bitung yang pada pukul 17.00 senja itu masih ramai dengan orang bekerja.

Banyak kapal antre untuk diperbaiki. Bisnis berjalan lancar. Padahal, PT IKI (Industri Kapal Indonesia yang berpusat di Makassar) tiga tahun lalu masih mati.

Saya juga meninjau Pelabuhan Bitung di bawah PT Pelindo IV. Tahun ini Pelabuhan Bitung mulai mengoperasikan dermaga baru yang dalamnya 15 meter. Memenuhi standar kedalaman tol laut.

Tidak lama lagi PT Pelayaran Meratus dan Tempuran Emas mulai melayari jalur Belawan-Bitung. “Pertama dalam sejarah Pelabuhan Bitung dijadikan tujuan rute dari Medan,” ujar GM Pelindo Bitung Heru Bhakti Fireno.

Saya juga meninjau pabrik pengolahan ikan PT Perikanan Nusantara Cabang Bitung yang amat membanggakan: sebuah pabrik yang amat ramai dan sibuk. Padahal, empat tahun lalu masih berupa “kuburan”.

“Saya sempat tidak digaji tiga tahun. Kompleks pabrik ini jadi semak belukar,” ujar Direktur Perinus Max Najoan yang dulunya nelayan beneran. Kini Max adalah direktur produksi PT Perinus.

“Seumur hidup tidak pernah membayangkan Bapak mengangkat saya jadi direktur,” ujar tamatan SPMA Perikanan Manado itu.

Dari Bitung saya melakukan komunikasi ke Surabaya, berbicara dengan petugas yang mengurus STNK mobil listrik itu. “Yang dapat STNK memang baru satu, Pak. Tapi, berikutnya sudah akan lancar,” ujar Sukotjo, staf PT Grain, saat saya telepon dari Bitung.

“Kalau begitu, saya akan mampir ke Surabaya. Melihat mobilnya dan STNK-nya,” kata saya. “Saya bisa menyisihkan waktu empat jam di Surabaya,” tambah saya.

Empat jam itu sekalian akan saya gunakan untuk jadwal menjalani stemcell di Stemcell Center RSUD dr Soetomo, memasang crown gigi belakang di dokter gigi langganan saya, dan mencoba mobil listrik yang sudah ber-STNK itu.

Agar hemat waktu, saya minta mobil tersebut dibawa ke rumah dokter gigi di Jalan Sedap Malam, Surabaya. Juga mobil listrik jenis sedan kecil yang STNK-nya sedang diurus.

Lalu, dengan mengemudikan mobil itu saya menuju Bandara Juanda untuk kembali ke Jakarta. Ketika mencoba mengemudikan mobil listrik ber-STNK tersebut saya merasakan getaran halus mobil dan getaran bangga di hati saya.

Sebenarnya saya sudah mencoba minivan itu dua tahun lalu. Tepatnya November 2012. Kini terasa sudah sempurna: power steering, gasnya, remnya, AC-nya, dan segala macamnya.

“Perjuangan dua tahun akhirnya ada hasilnya,” ujar Sukotjo, staf PT Grain yang menjadi produsen mobil tersebut.

Kendaraan itu memang masih berbasis mobil listrik dari Tiongkok yang dirakit dan disempurnakan di Surabaya. Tapi, komponen terbesarnya, baterai, akan sepenuhnya produksi Indonesia. “Kami sudah bicara dengan Nipress,” ujar Martin. “Yang lain-lain secara bertahap juga akan diproduksi di Surabaya,” tambahnya.

Dua tahun lalu saya mengunjungi pabriknya yang dibangun di luar Kota Surabaya itu. Sekarang pabrik tersebut sudah jadi dan beroperasi. Mampu merakit 10.000 mobil listrik setahun.

Mobil listrik dari Surabaya itu bersimbol petir, mirip logo PLN. Sebab, ia memang salah satu di antara lima putra petir yang kita unggulkan.

Pabrik itu satu kompleks dengan pabrik baja yang amat besar, dengan pemilik yang sama. Kerangka baja bandara-bandara baru seperti Bali, Medan, Sepinggan, dan Juanda dibuat di sana. Juga Terminal 3 Soekarno-Hatta yang raksasa itu.

Pabrik tersebut sekarang juga memproduksi baja untuk gedung bertingkat yang berbasis baja. Dengan modul ciptaannya, sebuah gedung enam lantai bisa dibangun hanya dalam waktu enam bulan.

“Desain kami bisa sampai 18 lantai lebih,” ujar Martin.

Mobil listrik pertama ber-STNK itu dibeli oleh anak perusahaan PLN, PT PJB Cabang Gresik. “Sekarang ke mana-mana kami gunakan minivan ini,” ujar Sugiyanto, GM PJB Gresik.

“Hemat sekali. Bandingannya, dengan mobil bensin sehari habis Rp60.000, dengan mobil listrik ini hanya Rp10.000,” tutur Sugiyanto.

Memang charging-nya masih empat jam. Tapi, di malam hari, saat pemilik mobil tidur, sangat cukup waktu untuk charging sampai penuh.

“Untuk kepentingan sehari-hari, kami hanya perlu charging dua hari sekali. Tidak tiap hari,” papar Sugiyanto.

Rabu lusa, saat ada acara di RRI Jogja, saya juga akan menyerahkan becak listrik kepada dua tukang becak Solo yang selama ini menjadi jamaah salawat Habib Syekh.

Becak listrik itu benar-benar becak biasa: masih harus dikayuh. Tapi ringan sekali. Saat becak menanjak pun, kayuhannya tetap sangat ringan.

Habib Syekh-lah pemilik ide awalnya. Saat mendengar salah satu Syekher-nya, saya, memelopori mobil listrik, beliau minta dibuatkan becak listrik. Beliau melihat betapa rekoso-nya tukang becak yang sudah tua tapi tetap mengayuh becaknya untuk mempertahankan hidup.

Saya sendiri sedang mengubah mobil Jaguar saya yang lama untuk menjadi mobil listrik. Bulan depan sudah jadi.

Di tengah gonjang-ganjing harga BBM, siapa tahu orang menjadi waras: menoleh ke mobil listrik! (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/