JOGJA, SUMUTPOS.CO – Di tengah gejolak protes mempercepat Musyawarah Nasional (Munas) yang akhirnya digelar 30 November mendatang di Bandung, menyeruak kesaksian soal aroma politik uang yang biasa terjadi Munas Golkar. Praktik jual beli suara itu disebut-sebut sudah menjadi ‘tradisi’ lima tahunan dalam perebutan kursi ketua.
Informasi yang beredar, sejumlah bakal calon sedang mempersiapkan anggaran untuk melakukan transaksi jual beli suara. Nilainya sangat fantastis. Para kandidat harus merogoh kocek ratusan juta hingga miliaran untuk mendapatkan satu suara. Dengan demikian, uang pemenangan yang digelontorkan oleh setiap kandidat bisa mencapai angka triliunan.
Praktik jual beli suara ini sudah pernah dialami Golkar Sulsel bersama 24 pengurus kabupaten/kota pada Munas 2009 lalu yang digelar di Provinsi Riau. Wakil Ketua DPD I Partai Golkar Sulsel, Moh Roem yang dikonfirmasi menegaskan, dana tersebut memang sengaja disiapkan oleh kandidat untuk ongkos operasional tim pemenangan, termasuk uang saku bagi pihak yang memiliki hak suara di munas.
“Waktu di munas lalu harganya Rp500 juta per satu suara saat pertarungan antara Surya Paloh dengan Aburizal Bakrie (ARB),” tutur Roem seperti yang dilansir JPNN (grup Sumut Pos).
Roem memprediksi, bisa saja harga satu suara pada munas mendatang akan sedikit lebih tinggi yakni mencapai Rp700 juta. Namun, Ketua DPRD Sulsel ini berharap agar pola-pola ini tidak ada lagi di munas mendatang. Hal itu demi menghindari terjadinya konflik internal, termasuk merusakan tatanan berdemokrasi. “Kita berharap tidak ada lagi hal-hal seperti ini nantinya,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua DPP Golkar yang juga calon ketua umum Golkar, Agun Gunanjar, kemarin, memprotes percepatan Munas di Bandung karena dinilai tidak adil.
“Keputusan itu dipaksakan pimpinan sidang untuk memuluskan skenario demi kepentingan Aburizal,” ujarnya.
Menurut Agun, sejak awal jalannya Rapimnas, pimpinan sidang telah memaksakan cara-cara yang tidak demokratis untuk mempercepat jadwal Munas yang sebelumnya direncanakan pada Januari 2015.
Agun mempertanyakan topik Munas yang dibahas di Rapimnas. Seharusnya, kata dia, penentuan jadwal Munas diserahkan kepada panitia dengan mengacu pada keputusan Munas Golkar terakhir lima tahun lalu.
“Keputusan Munas lalu kan seharusnya Munas digelar kembali pada Januari 2015. Kalau begini, Rapimnas sudah melangkahi Munas,” ujar Agun.
Agun yang juga masuk bursa calon ketua umum pengganti Aburizal Bakrie ini menyebut tidak akan memiliki cukup waktu untuk konsolidasi bila Munas digelar tak sampai dua pekan lagi. “Munas seharusnya menyediakan ruang untuk kompetisi yang baik, bukan saling jegal.”
Ketua Panitia Rapat Pimpinan Nasional ke-VII Partai Golkar Ahmadi Noor Supit mengatakan jadwal itu telah disepakati peserta rapat. Sebagian besar peserta rapat, ujar Ahmadi, mendukung Aburizal kembali menjadi ketua. Aburizal dianggap berhasil memimpin Golkar dalam Koalisi Merah Putih.
“Peserta Rapimnas berharap KMP tidak hanya di pusat namun juga diperkuat hingga tingkat daerah,” kata Ahmadi. Meski demikian, Ahmadi berujar sikap peserta Rapimnas belum tentu terjadi juga di Munas nanti. “Pengambilan keputusan tetap di Munas,” kata dia.
Steering commite Rapimnas VII menyebutkan, dua pertiga pengurus DPD berpandangan perlu Munas diselenggarakan 2014. ”Ini tidak bertentangan dengan AD/ART maupun hasil munas 2009,” kata Nurdin Halid kepada wartawan, Rabu (19/11),
Dia menambahkan, hasil pandangan umum DPD Tingkat I sebanyak 32 pengurus menginginkan penyelenggaraan Munas IX dimajukan dari jadwal semula. Hanya dua pengurus DPD yang menolak munas dipercepat yakni DPD Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Selain itu, ada empat organisasi sayap yang berpandangan sama dengan dua pengurus daerah tersebut yakni Kosgoro 1957, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), dan Majelis Dakwah Indonesia (MDI).
“DPD I semua minta Munas secepat-cepatnya. Kecuali Sulsel dan Sulbar tetap minta Januari 2015,” ujar Nurdin.
Sebagai informasi, Rapimnas VII Golkar yang berlangsung di Hotel Melia Yogyakarta diikuti 34 DPD, 10 organisasi sayap, dan tiga kelompok induk organisasi yakni Kosgoro 1957, MKGR, dan SOKSI. (jpnn/bbs/val)