26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ingin Tandingi Kontes Kecantikan Barat

Foto: Reuters/Beawiharta Para peserta ajang ratu kecantikan Muslimah Dunia ke-3 di Jakarta, 2013.
Foto: Reuters/Beawiharta
Para peserta ajang ratu kecantikan Muslimah Dunia ke-3 di Jakarta, 2013.

PRAMBANAN, SUMUTPOS.CO – Beragam perempuan dari seluruh dunia berkompetisi dalam final lomba khusus Muslimah di Indonesia, Jumat lalu (21/11), yang dianggap sebagai tandingan kontes kecantikan Barat.

Perempuan-perempuan tersebut, termasuk seorang dokter dan ilmuwan komputer, berjalan di panggung dengan gaun gemerlap dengan latar belakang Candi Prambanan yang megah untuk kontes tersebut.

Ke-18 finalis wajib mengenakan jilbab dan dinilai tidak hanya berdasarkan penampilan, namun juga kemampuan mereka membaca Quran dan pandangan mereka tentang Islam di dunia modern.

“Kami ingin melihat apakah mereka memahami segalanya tentang cara hidup Islami — dari cara makan, berpakaian, bagaimana mereka menjalani hidup,” ujar Jameyah Sheriff, salah satu penyelenggara.

Pemenang malam itu adalah ilmuwan komputer berusia 25 tahun dari Tunisia, Fatma Ben Guefrache, dengan hadiah termasuk jam emas, uang dinar emas dan umrah ke Makkah.

“Semoga Allah menolong saya dalam misi ini, dan membebaskan Palestina. Tolong, tolong bebaskan Palestina dan orang-orang Suriah,” ujarnya dalam pidato kemenangan sambil berurai airmata.

World Muslimah Award pertama kali menarik perhatian global pada 2013 ketika penyelenggara menampilkannya sebagai protes damai atas ajang Miss World, yang diselenggarakan hampir bersamaan di Bali.

Meski tetap populer di beberapa negara, Miss World yang dikelola Inggris sering menghadapi tuduhan bahwa ajang itu merendahkan perempuan, dan sesi lomba dimana para kontestan berpose dengan bikini telah menjadi pusat kritikan.

Dalam upaya meredakan kelompok garis keras, penyelenggara Miss World telah menghapuskan sesi bikini untuk edisi Bali, namun acara itu masih memicu demonstrasi dari para radikal yang menyebutnya “kontes pelacur.”

 

Jilbab Tidak Menakutkan

Kontestan dari Inggris, Dina Torkia mengatakan, ia berharap World Muslimah tahun ini tidak hanya memperlihatkan kontras dengan kontes kecantikan Barat, namun juga menghapus prasangka terhadap Islam.

“Saya kira hal terpenting adalah untuk memperlihatkan bahwa kami adalah perempuan-perempuan normal, kami tidak menikah dengan teroris. Kerudung di kepala saya ini tidak menakutkan,” ujarnya.

Namun lomba pada tahun ini menghadapi beberapa tantangan, seperti mundurnya tujuh finalis dan yang lainnya kesulitan mendapatkan visa akibat birokrasi yang kompleks di Indonesia. Sebagian besar yang mundur adalah karena keluarga mereka tidak ingin mereka bepergian seorang diri, ujar Sheriff.

Kontestan India ketinggalan pesawat pertama karena ia diinterogasi pihak berwenang yang curiga melihat seorang perempuan bepergian seorang diri dan memakai jilbab, meski ia kemudian berhasil naik pesawat berikutnya.

Kontestan-kontestan lain melakukan pengorbanan untuk ambil bagian dalam acara yang sudah empat kali diadakan ini, seperti Masturah Jamil yang keluar dari pekerjaannya sebagai guru di Singapura karena atasannya tidak memberikan hari libur untuk berpartisipasi dalam lomba.

Pihak penyelenggara berharap menampilkan panutan positif bagi perempuan Muslim di seluruh dunia dan para kontestan, berusia antara 18 dan 27, termasuk ilmuwan dari Tunisia dan dokter dari Bangladesh.

Tapi tidak semua menikmati putaran-putaran final itu, yang menurut Torkia mengecewakan.

“Saya datang ke kompetisi ini dengan harapan dapat meningkatkan iman saya, tapi sejauh ini kebanyakan tentang promosi dan media dan terlihat cantik,” ujarnya.

Acara final menutup proses yang panjang, termasuk audisi daring yang diikuti dengan acara-acara selama dua minggu di Indonesia. Selama di sini, para kontestan mengunjungi panti asuhan dan rumah jompo, dan difoto di Borobudur.

Acara puncak diselenggarakan di candi Hindu Prambanan, untuk memperlihatkan bahwa Muslim menerima agama-agama lain, menurut penyelenggara. (AFP)

Foto: Reuters/Beawiharta Para peserta ajang ratu kecantikan Muslimah Dunia ke-3 di Jakarta, 2013.
Foto: Reuters/Beawiharta
Para peserta ajang ratu kecantikan Muslimah Dunia ke-3 di Jakarta, 2013.

PRAMBANAN, SUMUTPOS.CO – Beragam perempuan dari seluruh dunia berkompetisi dalam final lomba khusus Muslimah di Indonesia, Jumat lalu (21/11), yang dianggap sebagai tandingan kontes kecantikan Barat.

Perempuan-perempuan tersebut, termasuk seorang dokter dan ilmuwan komputer, berjalan di panggung dengan gaun gemerlap dengan latar belakang Candi Prambanan yang megah untuk kontes tersebut.

Ke-18 finalis wajib mengenakan jilbab dan dinilai tidak hanya berdasarkan penampilan, namun juga kemampuan mereka membaca Quran dan pandangan mereka tentang Islam di dunia modern.

“Kami ingin melihat apakah mereka memahami segalanya tentang cara hidup Islami — dari cara makan, berpakaian, bagaimana mereka menjalani hidup,” ujar Jameyah Sheriff, salah satu penyelenggara.

Pemenang malam itu adalah ilmuwan komputer berusia 25 tahun dari Tunisia, Fatma Ben Guefrache, dengan hadiah termasuk jam emas, uang dinar emas dan umrah ke Makkah.

“Semoga Allah menolong saya dalam misi ini, dan membebaskan Palestina. Tolong, tolong bebaskan Palestina dan orang-orang Suriah,” ujarnya dalam pidato kemenangan sambil berurai airmata.

World Muslimah Award pertama kali menarik perhatian global pada 2013 ketika penyelenggara menampilkannya sebagai protes damai atas ajang Miss World, yang diselenggarakan hampir bersamaan di Bali.

Meski tetap populer di beberapa negara, Miss World yang dikelola Inggris sering menghadapi tuduhan bahwa ajang itu merendahkan perempuan, dan sesi lomba dimana para kontestan berpose dengan bikini telah menjadi pusat kritikan.

Dalam upaya meredakan kelompok garis keras, penyelenggara Miss World telah menghapuskan sesi bikini untuk edisi Bali, namun acara itu masih memicu demonstrasi dari para radikal yang menyebutnya “kontes pelacur.”

 

Jilbab Tidak Menakutkan

Kontestan dari Inggris, Dina Torkia mengatakan, ia berharap World Muslimah tahun ini tidak hanya memperlihatkan kontras dengan kontes kecantikan Barat, namun juga menghapus prasangka terhadap Islam.

“Saya kira hal terpenting adalah untuk memperlihatkan bahwa kami adalah perempuan-perempuan normal, kami tidak menikah dengan teroris. Kerudung di kepala saya ini tidak menakutkan,” ujarnya.

Namun lomba pada tahun ini menghadapi beberapa tantangan, seperti mundurnya tujuh finalis dan yang lainnya kesulitan mendapatkan visa akibat birokrasi yang kompleks di Indonesia. Sebagian besar yang mundur adalah karena keluarga mereka tidak ingin mereka bepergian seorang diri, ujar Sheriff.

Kontestan India ketinggalan pesawat pertama karena ia diinterogasi pihak berwenang yang curiga melihat seorang perempuan bepergian seorang diri dan memakai jilbab, meski ia kemudian berhasil naik pesawat berikutnya.

Kontestan-kontestan lain melakukan pengorbanan untuk ambil bagian dalam acara yang sudah empat kali diadakan ini, seperti Masturah Jamil yang keluar dari pekerjaannya sebagai guru di Singapura karena atasannya tidak memberikan hari libur untuk berpartisipasi dalam lomba.

Pihak penyelenggara berharap menampilkan panutan positif bagi perempuan Muslim di seluruh dunia dan para kontestan, berusia antara 18 dan 27, termasuk ilmuwan dari Tunisia dan dokter dari Bangladesh.

Tapi tidak semua menikmati putaran-putaran final itu, yang menurut Torkia mengecewakan.

“Saya datang ke kompetisi ini dengan harapan dapat meningkatkan iman saya, tapi sejauh ini kebanyakan tentang promosi dan media dan terlihat cantik,” ujarnya.

Acara final menutup proses yang panjang, termasuk audisi daring yang diikuti dengan acara-acara selama dua minggu di Indonesia. Selama di sini, para kontestan mengunjungi panti asuhan dan rumah jompo, dan difoto di Borobudur.

Acara puncak diselenggarakan di candi Hindu Prambanan, untuk memperlihatkan bahwa Muslim menerima agama-agama lain, menurut penyelenggara. (AFP)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/