25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Cangkang

Cerpen:  DADANG ARI MURTONO

TIDAK ada satu pun penduduk kampung itu yang tahu dari mana cangkang tersebut berasal. Dan, bagaimana cangkang itu tiba-tiba ada di balai dusun. Cangkang tersebut ada tiba-tiba. Teronggok di balai dusun pada suatu pagi setelah malam harinya hujan turun dengan deras.

Tak pernah ada hujan sederas itu sebelumnya. Hujan yang membawa banyak petir. Hujan yang disertai angin. Dan, semua orang memilih berdiam di rumah. Warungwarung tutup. ”Alangkah singun ini malam,” kata Bayan kepada istrinya. ”Pasti akan terjadi sesuatu,” lanjutnya.

Dan, benarlah. Pagi harinya, Bayan yang rajin itu, yang selalu sampai paling awal di balai dusun, mendapati cangkang itu tergeletak begitu saja. Cangkang berwarna putih burek. Cangkang seperti cangkang telur ayam.

Hanya lebih besar. Cangkang yang misterius itu pastilah akan dibuang begitu saja dan tak menimbulkan banyak pertanyaan andai saja bukan Bayan yang kali pertama menemukannya. Bukankah Bayan itu yang berpikir akan terjadi sesuatu di kampung ini? Dan, perkiraan Bayan tersebut seperti mendapat pembenaran ketika ia menemukan cangkang itu.

”Alangkah aneh cangkang ini. Pastilah cangkang ini yang dibawa hujan semalam. Hujan yang tak terkira derasnya itu,” kata Bayan. Bayan pula yang kemudian memukul kentong an. Mengundang semua warga untuk berkumpul dan meninggalkan pekerjaan mereka di sawah atau kebun.

”Ah, itu pasti telur angsa. Tidak ada yang aneh dengan itu,” kata salah seorang penduduk yang merasa jengkel karena mesti meninggalkan tanaman padi yang butuh diairi itu.
”Bukan, bukan,” jawab Bayan. ”Semalam hujan turun deras sekali. Pasti itu bukan hujan yang biasa. Hujan itu pertanda akan ada sesuatu di kampung ini. Dan inilah yang dimaksud hujan itu. Cangkang ini. Ini pasti bukan cangkang biasa. Lihatlah, bila ini telur, pasti tidak sekeras ini. Ada sesuatu dalam cangkang ini. Itu pastinya akan berhubungan dengan kampung ini,” tambah Bayan dengan sengit.
”Lalu, bagaimana? Apakah kita pecahkan saja cangkang ini biar jelas apa isinya?” ta nya kepala kampung. ”Jangan gegabah. Kita belum tahu apa-apa tentang cangkang ini. Saya takut bila ternyata cangkang ini menyimpan bubuk bencana. Bubuk yang bisa menyebar dengan cepat dan menimbulkan banyak kerusakan pada
kampung kita,” jawab Bayan.

”Lalu, bagaimana? Apakah kita buang saja ini cangkang?” tanya kepala kampung.

”Itu juga bukan pilihan yang bijak. Saya juga takut bila ternyata cangkang ini menyimpan berkah. Semacam jimat. Bila kita membuangnya, si pemberi jimat akan marah dan menurunkan bencana untuk kita. Dan bisa0 pula bila cangkang ini adalah penanda lain yang akan membuat hasil panen kita berlimpah,” jawab Bayan.
Maka akhirnya, diputuskan agar cangkang itu disimpan sementara waktu. Disimpan di balai dusun sampai ada yang bisa menjelaskan apa sebenarnya cangkang itu. Bayan yang pertama menemukan cangkang tersebut ditugaskan untuk mencari orang pintar guna mengetahui cangkang sebenarnya.

Seorang dukun perempuan dari lereng gunung yang jauh kemudian menjelaskan perihal cangkang itu. ”Jadi, pada malam itu.” Si dukun memulai cerita, ”Celeng Sarenggi turun dari perta paannya. Celeng itu merasa lapar karena sudah bertahun-tahun bertapa tanpa makan tanpa minum. Tanaman yang paling di sukai Celeng
Sarenggi adalah padi-padi yang sudah hampir tua dan bernas. Tidak ada ta naman padi dalam radius puluhan kilometer dari pertapaannya yang lebih bagus daripada tanaman padi di kampung ini. Maka, dia memutuskan turun ke kampung ini. Turun untuk memangsa padi-padi kalian.”

Dukun perempuan itu diam sejenak. Meng hirup kopi hitam suguhannya. ”Namun, di mana ada Celeng Sarenggi, di situ pula ada Sedana. Tahukah kalian siapa Sedana itu? Sedana itu saudara laki-laki Sri, si dewi padi yang menumbuhkan padi-padi yang kalian tanam. Sedana itu pelindung Sri. Sedangkan Celeng Sarenggi adalah musuh abadi Sri. Sebab itu, pada suatu ketika, Sedana0 bilang, ’Akan kulindungi Sri dari Celeng Sarenggi. Di mana0 pun dan kapan pun Celeng Sarenggi hendak menyakiti Sri, menyakiti padi-padi yang ditumbuhkan Sri, aku akan datang. Datang untuk mengusir Celeng itu’.

Pada malam itu Sedana juga muncul. Muncul bersamaan dengan Celeng Sarenggi. Mereka bertarung dengan hebat. Suara tarung mereka itulah yang kalian dengar sebagai petir yang tak habis-habisnya semalam suntuk itu.
Angin kencang tersebut adalah angin yang ditimbulkan dari udara yang terkebas di sekitaran medan tempur mereka itu. Sedangkan hujan tersebut adalah peluh dari sepasang petarung itu.
Celeng Sarenggi teramat sakti. Ia sudah bertahun-tahun bertapa. Dari hasil pertapaannya itu, ia memperoleh ajiaji0 yang membuatnya tak bisa mati. Berapa kali pun Sedana memenggal kepalanya, Celeng Sarenggi akan tetap hidup. Kepalanya akan kembali me nempel di lehernya yang pendek dan hitam.

Tapi, Sedana juga sakti. Lebih sakti daripada Celeng Sarenggi. Sedana juga pertapa yang baik. Juga, jauh lebih khusyuk daripada Celeng Sarenggi yang dalam tapanya masih tergo da untuk makan dan minum. Sedana pun tahu bahwa Celeng Sarenggi tidak bisa mati. Sebab itu, kemudian ia menangkap Celeng Sarenggi dan memasukkannya ke cangkang ini. Cangkang yang diciptakan Sedana dari seruas tulangnya sendiri.”
Orang-orang melongo. Antara percaya dan tidak. Dukun perempuan itu menghirup kopi sekali lagi. Lalu, meneruskan bercerita.

”Simpanlah baik-baik cangkang ini. Jangan sampai hilang atau pecah. Simpan baik-baik. Sebab, dalam cangkang ini meringkuk Celeng Sarenggi yang lapar. Sekali cangkang ini pecah, Celeng Sarenggi akan keluar dan menghabiskan seluruh padi kalian. Tidak akan ada hasil panen lagi. Sebab, Sedana sedang memulih kan diri. Sedana tidak bisa tiba-tiba datang saat ini. Dia mengalami banyak luka karena serudukan Celeng Sarenggi. Butuh bertahun-tahun lagi agar dia bisa benar-benar pulih.”

Orang-orang kampung pun percaya itu. Bayan ditugaskan untuk menjaga cangkang tersebut. Menjaga agar tidak hilang, apalagi pecah. Selama bertahun-tahun kemudian, hasil panen padi di kampung senantiasa melimpah.
Lebih melimpah daripada tahun-tahun sebelumnya. Tak ada hama. Tak ada wabah di kampung.
***
”Itu hanya dongeng lama. Dongeng yang tak masukakal. Cerita itu hanya cocok untuk mengantar bocah tidur.
Tidak ada itu Sedana. Tidak ada itu Sri. Tidak ada itu Celeng Sarenggi. Bila ingin tanaman padi bagus, ya harus dirawat dengan baik. Diairi dengan baik. Di pupuk dengan baik. Jangan lagi percaya dengan cangkang itu.

Itu hanya cangkang. Tidak ada Celeng Sarenggi di dalam cangkang itu,” kata seorang pemuda yang baru pulang dari kota yang jauh. Pulang setelah menyelesaikan kuliah pada jurusan pertanian di universitas besar. Pemuda itu cucu Bayan yang ditugaskan menjaga cangkang tersebut bertahun-tahun.

”Di kampus, saya telah diajari bagaimana menanam padi yang baik. Dan dengan senang hati akan saya ajarkan kepada kali an semua. Sungguh, ternyata dalam pelajaran yang saya terima itu, tidak ada Celeng Sarenggi atau Sedana.
Semua bergantung dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, penga iran, dan hal-hal semacam itu. Tapi, tidak ada Celeng Sarenggi dan Sedana. Lagi pula, bukankah kalian adalah orang-orang yang beragama. Jangan menjadi musyrik dan menyekutukan Tuhan dengan percaya pada cangkang itu,” lanjutnya berapi-api. Karena hanya pemuda itu di kampung yang pernah kuliah dan dianggap paling pintar, orang-orang percaya dengan ucapan pemuda tersebut. Orang-orang pun akhirnya menyetujui juga ketika pemuda itu hendak
memecahkan cangkang. Beberapa orang tua –termasuk Bayan– yang awalnya tidak setuju akhirnya juga tidak menolak ketika pemuda itu menuduh mereka musyrik bila terus-terusan memercayai cangkang.
”Tidak akan masuk surga mereka yang musyrik!” tegas sang pemuda.

”Lihatlah! Lihatlah! Tidak ada apa-apa dalam cangkang ini. Kosong. Tidak ada apa-apa. Tidak ada Celeng hitam besar bertaring panjang dan tajam dalam cangkang ini.
Kosong! Benar-benar kosong!” seru pemuda itu setelah0 memecahkan cangkang itu dengan palu besar di hadapan orang-orang.

”Jangan percaya lagi dengan hal-hal tidak masuk akal seperti bualan tentang cangkang itu. Akan kuajari kalian cara menanam padi yang baik hingga hasil panen kalian bisa berlipat-lipat jumlahnya,” pungkas pemuda itu.
***
Pemuda itu pergi pada suatu pagi. Kepada Bayan, kakeknya itu, dia berkata, ”Saya akan kembali ke kampus.
Menanyakan masalah ini kepada dosen saya dulu.” Bayan itu tidak melarang. Bayan itu hanya tepekur sedih. Sama sedihnya dengan orang-orang kampung yang lain.

Orang-orang kampung yang sudah mengikuti semua yang diajarkan pemuda sarjana pertanian itu dalam menanam padi. Namun, tetap saja padi-padi tersebut tidak bisa dipanen. Padi-padi itu memang tumbuh dengan bagus pada awalnya. Namun, selalu rusak beberapa hari sebelum dipanen. Pemuda itu tidak mengerti apa yang salah dengan teori yang didapatnya semasa kuliah dahulu. Orang-orang kampung kemudian menyesal telah setuju untuk memecah cangkang itu. (*)

Cerpen:  DADANG ARI MURTONO

TIDAK ada satu pun penduduk kampung itu yang tahu dari mana cangkang tersebut berasal. Dan, bagaimana cangkang itu tiba-tiba ada di balai dusun. Cangkang tersebut ada tiba-tiba. Teronggok di balai dusun pada suatu pagi setelah malam harinya hujan turun dengan deras.

Tak pernah ada hujan sederas itu sebelumnya. Hujan yang membawa banyak petir. Hujan yang disertai angin. Dan, semua orang memilih berdiam di rumah. Warungwarung tutup. ”Alangkah singun ini malam,” kata Bayan kepada istrinya. ”Pasti akan terjadi sesuatu,” lanjutnya.

Dan, benarlah. Pagi harinya, Bayan yang rajin itu, yang selalu sampai paling awal di balai dusun, mendapati cangkang itu tergeletak begitu saja. Cangkang berwarna putih burek. Cangkang seperti cangkang telur ayam.

Hanya lebih besar. Cangkang yang misterius itu pastilah akan dibuang begitu saja dan tak menimbulkan banyak pertanyaan andai saja bukan Bayan yang kali pertama menemukannya. Bukankah Bayan itu yang berpikir akan terjadi sesuatu di kampung ini? Dan, perkiraan Bayan tersebut seperti mendapat pembenaran ketika ia menemukan cangkang itu.

”Alangkah aneh cangkang ini. Pastilah cangkang ini yang dibawa hujan semalam. Hujan yang tak terkira derasnya itu,” kata Bayan. Bayan pula yang kemudian memukul kentong an. Mengundang semua warga untuk berkumpul dan meninggalkan pekerjaan mereka di sawah atau kebun.

”Ah, itu pasti telur angsa. Tidak ada yang aneh dengan itu,” kata salah seorang penduduk yang merasa jengkel karena mesti meninggalkan tanaman padi yang butuh diairi itu.
”Bukan, bukan,” jawab Bayan. ”Semalam hujan turun deras sekali. Pasti itu bukan hujan yang biasa. Hujan itu pertanda akan ada sesuatu di kampung ini. Dan inilah yang dimaksud hujan itu. Cangkang ini. Ini pasti bukan cangkang biasa. Lihatlah, bila ini telur, pasti tidak sekeras ini. Ada sesuatu dalam cangkang ini. Itu pastinya akan berhubungan dengan kampung ini,” tambah Bayan dengan sengit.
”Lalu, bagaimana? Apakah kita pecahkan saja cangkang ini biar jelas apa isinya?” ta nya kepala kampung. ”Jangan gegabah. Kita belum tahu apa-apa tentang cangkang ini. Saya takut bila ternyata cangkang ini menyimpan bubuk bencana. Bubuk yang bisa menyebar dengan cepat dan menimbulkan banyak kerusakan pada
kampung kita,” jawab Bayan.

”Lalu, bagaimana? Apakah kita buang saja ini cangkang?” tanya kepala kampung.

”Itu juga bukan pilihan yang bijak. Saya juga takut bila ternyata cangkang ini menyimpan berkah. Semacam jimat. Bila kita membuangnya, si pemberi jimat akan marah dan menurunkan bencana untuk kita. Dan bisa0 pula bila cangkang ini adalah penanda lain yang akan membuat hasil panen kita berlimpah,” jawab Bayan.
Maka akhirnya, diputuskan agar cangkang itu disimpan sementara waktu. Disimpan di balai dusun sampai ada yang bisa menjelaskan apa sebenarnya cangkang itu. Bayan yang pertama menemukan cangkang tersebut ditugaskan untuk mencari orang pintar guna mengetahui cangkang sebenarnya.

Seorang dukun perempuan dari lereng gunung yang jauh kemudian menjelaskan perihal cangkang itu. ”Jadi, pada malam itu.” Si dukun memulai cerita, ”Celeng Sarenggi turun dari perta paannya. Celeng itu merasa lapar karena sudah bertahun-tahun bertapa tanpa makan tanpa minum. Tanaman yang paling di sukai Celeng
Sarenggi adalah padi-padi yang sudah hampir tua dan bernas. Tidak ada ta naman padi dalam radius puluhan kilometer dari pertapaannya yang lebih bagus daripada tanaman padi di kampung ini. Maka, dia memutuskan turun ke kampung ini. Turun untuk memangsa padi-padi kalian.”

Dukun perempuan itu diam sejenak. Meng hirup kopi hitam suguhannya. ”Namun, di mana ada Celeng Sarenggi, di situ pula ada Sedana. Tahukah kalian siapa Sedana itu? Sedana itu saudara laki-laki Sri, si dewi padi yang menumbuhkan padi-padi yang kalian tanam. Sedana itu pelindung Sri. Sedangkan Celeng Sarenggi adalah musuh abadi Sri. Sebab itu, pada suatu ketika, Sedana0 bilang, ’Akan kulindungi Sri dari Celeng Sarenggi. Di mana0 pun dan kapan pun Celeng Sarenggi hendak menyakiti Sri, menyakiti padi-padi yang ditumbuhkan Sri, aku akan datang. Datang untuk mengusir Celeng itu’.

Pada malam itu Sedana juga muncul. Muncul bersamaan dengan Celeng Sarenggi. Mereka bertarung dengan hebat. Suara tarung mereka itulah yang kalian dengar sebagai petir yang tak habis-habisnya semalam suntuk itu.
Angin kencang tersebut adalah angin yang ditimbulkan dari udara yang terkebas di sekitaran medan tempur mereka itu. Sedangkan hujan tersebut adalah peluh dari sepasang petarung itu.
Celeng Sarenggi teramat sakti. Ia sudah bertahun-tahun bertapa. Dari hasil pertapaannya itu, ia memperoleh ajiaji0 yang membuatnya tak bisa mati. Berapa kali pun Sedana memenggal kepalanya, Celeng Sarenggi akan tetap hidup. Kepalanya akan kembali me nempel di lehernya yang pendek dan hitam.

Tapi, Sedana juga sakti. Lebih sakti daripada Celeng Sarenggi. Sedana juga pertapa yang baik. Juga, jauh lebih khusyuk daripada Celeng Sarenggi yang dalam tapanya masih tergo da untuk makan dan minum. Sedana pun tahu bahwa Celeng Sarenggi tidak bisa mati. Sebab itu, kemudian ia menangkap Celeng Sarenggi dan memasukkannya ke cangkang ini. Cangkang yang diciptakan Sedana dari seruas tulangnya sendiri.”
Orang-orang melongo. Antara percaya dan tidak. Dukun perempuan itu menghirup kopi sekali lagi. Lalu, meneruskan bercerita.

”Simpanlah baik-baik cangkang ini. Jangan sampai hilang atau pecah. Simpan baik-baik. Sebab, dalam cangkang ini meringkuk Celeng Sarenggi yang lapar. Sekali cangkang ini pecah, Celeng Sarenggi akan keluar dan menghabiskan seluruh padi kalian. Tidak akan ada hasil panen lagi. Sebab, Sedana sedang memulih kan diri. Sedana tidak bisa tiba-tiba datang saat ini. Dia mengalami banyak luka karena serudukan Celeng Sarenggi. Butuh bertahun-tahun lagi agar dia bisa benar-benar pulih.”

Orang-orang kampung pun percaya itu. Bayan ditugaskan untuk menjaga cangkang tersebut. Menjaga agar tidak hilang, apalagi pecah. Selama bertahun-tahun kemudian, hasil panen padi di kampung senantiasa melimpah.
Lebih melimpah daripada tahun-tahun sebelumnya. Tak ada hama. Tak ada wabah di kampung.
***
”Itu hanya dongeng lama. Dongeng yang tak masukakal. Cerita itu hanya cocok untuk mengantar bocah tidur.
Tidak ada itu Sedana. Tidak ada itu Sri. Tidak ada itu Celeng Sarenggi. Bila ingin tanaman padi bagus, ya harus dirawat dengan baik. Diairi dengan baik. Di pupuk dengan baik. Jangan lagi percaya dengan cangkang itu.

Itu hanya cangkang. Tidak ada Celeng Sarenggi di dalam cangkang itu,” kata seorang pemuda yang baru pulang dari kota yang jauh. Pulang setelah menyelesaikan kuliah pada jurusan pertanian di universitas besar. Pemuda itu cucu Bayan yang ditugaskan menjaga cangkang tersebut bertahun-tahun.

”Di kampus, saya telah diajari bagaimana menanam padi yang baik. Dan dengan senang hati akan saya ajarkan kepada kali an semua. Sungguh, ternyata dalam pelajaran yang saya terima itu, tidak ada Celeng Sarenggi atau Sedana.
Semua bergantung dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, penga iran, dan hal-hal semacam itu. Tapi, tidak ada Celeng Sarenggi dan Sedana. Lagi pula, bukankah kalian adalah orang-orang yang beragama. Jangan menjadi musyrik dan menyekutukan Tuhan dengan percaya pada cangkang itu,” lanjutnya berapi-api. Karena hanya pemuda itu di kampung yang pernah kuliah dan dianggap paling pintar, orang-orang percaya dengan ucapan pemuda tersebut. Orang-orang pun akhirnya menyetujui juga ketika pemuda itu hendak
memecahkan cangkang. Beberapa orang tua –termasuk Bayan– yang awalnya tidak setuju akhirnya juga tidak menolak ketika pemuda itu menuduh mereka musyrik bila terus-terusan memercayai cangkang.
”Tidak akan masuk surga mereka yang musyrik!” tegas sang pemuda.

”Lihatlah! Lihatlah! Tidak ada apa-apa dalam cangkang ini. Kosong. Tidak ada apa-apa. Tidak ada Celeng hitam besar bertaring panjang dan tajam dalam cangkang ini.
Kosong! Benar-benar kosong!” seru pemuda itu setelah0 memecahkan cangkang itu dengan palu besar di hadapan orang-orang.

”Jangan percaya lagi dengan hal-hal tidak masuk akal seperti bualan tentang cangkang itu. Akan kuajari kalian cara menanam padi yang baik hingga hasil panen kalian bisa berlipat-lipat jumlahnya,” pungkas pemuda itu.
***
Pemuda itu pergi pada suatu pagi. Kepada Bayan, kakeknya itu, dia berkata, ”Saya akan kembali ke kampus.
Menanyakan masalah ini kepada dosen saya dulu.” Bayan itu tidak melarang. Bayan itu hanya tepekur sedih. Sama sedihnya dengan orang-orang kampung yang lain.

Orang-orang kampung yang sudah mengikuti semua yang diajarkan pemuda sarjana pertanian itu dalam menanam padi. Namun, tetap saja padi-padi tersebut tidak bisa dipanen. Padi-padi itu memang tumbuh dengan bagus pada awalnya. Namun, selalu rusak beberapa hari sebelum dipanen. Pemuda itu tidak mengerti apa yang salah dengan teori yang didapatnya semasa kuliah dahulu. Orang-orang kampung kemudian menyesal telah setuju untuk memecah cangkang itu. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/