Ditembaknya Ramadhan Puda Kesuma (26) dan Selly Satria Aprianto alias Kiki (26) oleh personel Bareskrim Mabes Polri, Selasa (23/4) kemarin masih menyisakan sejumlah persoalan. Penembakan itu dilakukan karena keduanya disebut terlibat dalam peredaran narkoba.
Aksi penembakan terhadap Ramadhan dilakukan lantaran saat penangkapan sekitar pukul 15.30 WIB, Ramadhan melawan petugas dengan menggunakan pisau belati. Polisi menembaknya sebanyak dua kali dibagian vital, dada dan pinggang.
Tak cukup itu disitu, teman dekat Ramadhan, Kiki juga ditembak sebanyak 7 peluru oleh polisi di Komplek perumahan Bukit Hijau Regency (BHR) No 66, Medan Selayang. Kiki ditembak karena mencoba melarikan diri dari rumah tersebut.
Tindakan polisi yang mengumbar peluru kepada dua tersangka pengedar Narkoba itu dianggap sebuah tindak kekerasan. Pasalnya, kedua pria yang berusia muda itu selayaknya ditangkap dalam keadaan hidup, sehingga peredaran narkoba itu bisa terungkap lagi.
Aksi penembakan itu membuat reaksi keluarga melaporkan tindakan polisi ke Kompolnas dan LBH Medan. Pasalnya, polisi dinilai lebih arogan dan memakai unsur kekerasan. Bagaimana reaksi dari instansi yang anti terhadap kekrasan, Berikut petikan wawancara Sumut Pos, Chairil Huda dengan Kordinator KontraS Sumut, Herdensi Adnin.
Apa kabar Anda?
Sehat, sama seperti Anda dan aparat kepolisian yang saya yakin tetap sehat, sehingga mampu membuang jauh-jauh pikiran untuk bertindak arogan.
Anda mengikuti perkembangan kasus dua pemuda yang diduga bandar narkoba ditembak mati oleh personel Mabes Polri?
Kami ikuti kasusnya dan perkembangannya. Hingga kini, kami masih melihat keluarga melaporkan ke LBH Medan. Saya anggap perlu dilakukan pengungkapan penembakan yang dilakukan oleh polisi.
Apakah Anda melihat ada kasus lain di balik penembakan itu?
Kalau kami lihat, diduga polisi melebihi keadaan yang ada, dalam hal ini polisi melakukan penembakan tidak proporsional. Bahkan, kami melihat polisi dalam menggunakan senjata api sudah tampak berlebihan.
Kenapa Anda sebut berlebihan?
Berlebihan yang kami maksudkan, saat dinyatakan era reformasi penegak hukum. Kepolisian dipisahkan dengan Militer. Dalam hal ini, polisi bertugas untuk lebih dekat dengan sipil, sedangkan militer atau TNI lebih kepada untuk pasukan pengamanan negara di saat berperang atau ada tindakan yang mengancam pertahanan negara.
Sebenarnya tugas polisi melakukan tindakan persuasif kepada masyarakat, bukan kepada arah represif. Secara Undang-undang, boleh menggunakan tindakan menembak tapi dengan catatan-catatan, seperti seorang polisi terancam, boleh menembak tapi melumpuhkan, dan ketika membunuh ketika lawannya menggunakan senjata api atau bisa membunuh seorang polisi.
Bila seorang di dalam kamar hotel digrebek oleh sejumlah personel polisi, dan seseorang memegang sangkur, Apakah layak ditembak mati?
Inilah yang masih menjadi tanda besar. Mengapa bisa sampai melakukan penembakan sebanyak dua kali di bagian vital. Apalagi kawan-kawan media juga menemui ada kejanggalan. Saya lihat, kasus ini tidak boleh didiamkan. Unsur kekerasannya harus diusut.
Mengenai penembakan itu, Anda melihat pantas seorang polisi menembak lebih dari 5 kali dan mengenai sasaran?
Investigasi kawan-kawan media, seorang tersangka narkoba memang memegang senjata tajam. Selanjutnyaa yang satu lagi hendak kabur dari kejaran polisi. Bila dilihat dari posisinya, saya yakin keduanya tidak berbahaya sehingga tidak perlu ada penembakan 2 sampai 7 kali di bagian badannya. Seharusnya, cukup menembak di bagian kaki untuk melumpuhkan kalau hendak lari, dan bila melawan cukup menembak tangannya saja. Inilah bagian dari pelumpuhan.
Menurut Anda, apakah tembakan itu ada unsur kesengajaan untuk menghilangkan nyawa keduanya?
Dari sisi UU, polisi dibolehkan melakukan kekerasan. Tapi, kekerasan yang dilakukan terorganisir. Maksudnya, kekerasan yang dibolehkan sifatnya diperlakukan untuk membela diri dan bisa dipertanggungjawabkan. Bila sekarang kita lihat, tindakannya tidak berbeda dengan gaya preman yang suka melakukan kekerasan atau mencederai lawannya. Jadi stop polisi bergaya “preman”.
Kedua pemuda itu diduga sebagai bandar narkoba yang kita ketahui bandar narkoba adalah musuh bersama, apakah tidak pantas jika ditembak?
Pemberantasan narkoba, kami sangat mendukung. Bahkan, kami cukup paham saat ini narkoba sudah berada di lingkungan kampus. Termasuk bandarnya berada di sejumlah kampus-kampus. Narkoba juga tidak melihat usia, mulai remaja hingga orangtua sudah mengetahui narkoba. Kami sangat keberatan jika polisi melakukan kekerasan kepada para tersangka bandar narkoba. Padahal, belum tentu diketahui posisinya benar menjadi bandar atau tidak. Sebaiknya polisi dalam memberantas jaringan narkoba lebih kepada membawanya ke persidangan, bukan dengan kekerasan.
Jika polisi menembak mati dua pemuda diduga bandar narkoba, apakah polisi tidak rugi?
Makanya saya bingung, mengapa polisi menembak mati. Padahal, secara nasional sudah dihembuskan, narkoba harus diberantas mata rantainya. Jadi saya lihat dengan meninggalnya dua pemuda yang diduga bandar narkoba, maka polisi memiliki dua kerugian, pertama terhentinya informasi jaringan narkoba. Kedua polisi akan dicurigai masyarakatnya.
Apa saran Anda untuk aparat kepolisian dan keluarga yang diduga bandar narkoba?
Mabes Polri harus lebih transparan mengenai tindak anggotanya yang melakukan penembakan terhadap dua tersangka. Selanjutnya, jangan mudah mengeluarkan peluru atas alasan pemberantasan atau penindakan. Sebaiknya gunakan tindakan pendekatan kepada masyarakat, atau lebih menggunakan tindakan pelumpuhan.
Bagi keluarga yang merasa keberatan terhadap tindakan kepolisian, diberikan kesempatan untuk membuat pengaduan ke divisi propam dan komisi kepolisian. Sehingga pengungkapan kebenaran dan keadilan itu bisa terwujud, serta stop polisi preman dari tanah air ini. (*)