30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Permainan Dishub Lebih Rapi

Praktik Pungutan liar (pungli) yang sering terjadi di jembatan timbang jadi rahasia umum. Maksudnya, semua mengetahui, tetapi pura-pura tidak tahu. Padahal, bila didiamkan terus, maka akan berdampak pada masyarakat.

AKSI: Sekretaris Jenderal Fitra Sumut, Rurita Ningrum  saat melakukan aksi turun  jalan sebagai bentuk  kepedulian terhadap KPK. //file
AKSI: Sekretaris Jenderal Fitra Sumut, Rurita Ningrum saat melakukan aksi turun ke jalan sebagai bentuk kepedulian terhadap KPK. //file

Bagaimana cara mengatasi atau setidaknya menimalisir praktek kolusi dan korupsi antara dishub dan supir truk ini? Berikut, hasil wawancara wartawan koran ini, Juli Ramadhani Rambe dengan Sekretaris Jenderal Fitra Sumut, Rurita Ningrum.

Bagaimana menurut Anda tentang adanya praktik pungli di jembatan timbang Dishub?

Pengutipan tersebut sudah menjadi hal biasa bagi supir dan pegawai Dishub. Kita juga masyarakat mengetahuinya, tapi seperti rahasia umum, kita jadinya pura-pura tidak tahu. Seharusnya tidak perlu ada kejadian ini, kenapa? Karena yang dirugikan dalam praktik ini bukan mereka (supir atau Dishub). Tetapi kita, masyarakat yang bayar pajak tapi tidak bisa menikmati hasil pajaknya.

Kalau sudah menjadi rahasia umum, kenapa tidak ada perubahan?

Berubah sebentar, setelah itu mengulah lagi. Sebenarnya, bila ingin menyelesaikan masalah ini, yang harus dilakukan adalah tindakan tegas. Tetapi, jangan main di pusat saja, langsung main ke daerah. Jadi, yang di bawah tidak berani bermain, dan pimpinannya pura-pura tidak tahu.
Untuk membuktikan yang di daerah itu bermain, bukan hal yang mudah.

Bagaimana caranya?

Gampang, pasang cctv di setiap jembatan timbang. Nah, rekamanannya antar secara berkala ke provinsi atau pusat sekalian. Kalau sudah seperti ini, yang daerah juga bingung untuk bermain lagi. Atau cara lain, sistem pembayarannya dibedakan. Misalnya, tanda bahwa dia sudah melewati masa penimbangan diberi surat. Setelah itu, saat melewati jembatan timbang yang lain, hanya tinggal menunjukkan surat. Setidaknya, mengurangi praktik pungli inilah.

Siapa yang paling dirugikan dalam masalah pungli ini?

Masyarakat dong. Kita membayar pajak untuk menikmati jalan atau infrastruktur yang mulus dan baik. Nah, bila sebuah truk melewati tonase melintasi jalan, jalan akan rusak, akhirnya lubang-lubang. Lubang lagi, diperbaiki lagi dengan uang pajak kita. Kalau begini, pajak yang kita bayar hanya khusus membangun jalan, bukan untuk membangun infrastruktur lainnya.

Saya misalkan untuk bus pengangkut barang. Biaya dari pungli tersebut akan dikenakan kepada konsumen. Jadi, kita yang bayar. Sudah bayar pajak, bayar pungli lagi. Sudah banyak kerugian kita.

Bagaimana bila tidak ada lagi retribusi di jembatan timbang?

Jangan juga. Karena retribusi ini diperlukan untuk berbagai biaya. Misalnya, perawatan jalan dan lain sebagainya. Hanya saja yang harus kita perhatikan dan awasi dalam hal ini adalah apakah benar, bahwa retribusi itu dilakukan atau dikutip sesuai dengan peraturan yang ada? Atau hanya sekadar saja untuk masuk ke ongkos secara pribadi. Boleh ada retribusi, asal, sesuai dengan peraturan.

Sepertinya, peraturan kita tidak kuat.

Karena walau sudah ada peraturan tetap saja ada pungli?

Bisa kita ganti peraturan. Tetapi tetap saja yang jaga jembatan timbang harus mengetahui peraturan tersebut. Jangan asal kita buat, setelah itu tidak ada sosialisasi ke daerah, pengusaha, dan sopir. Sama saja, buang-buang dana untuk membuat peraturan.

Bagaimana kalau seandainya diselesaikan dalam jalur hukum?

Bisa saja. Tetapi, tidak ada yang berani. Ketakutan izin operasionalnya akan dicabut. Kalau menempuh jalur hukum, bisa dikenakan pasal pemerasan. Tetapi, ya tidak ada yang berani melapor.

Karena diancamkah, makanya tidak ada laporan?

Kalau itu saya tidak tahu. Tapi, kalau memang diancam, kan jadi lebih mudah menjerat kasus hukumnya, pemerasan dan pengancaman.

Dengan adanya kasus ini, menurut Anda, apakah masyarakat masih percaya dengan Dishub?

Kasusnya hampir sama dengan polisi. Rahasia umum. Kalau sudah begitu, jelas masyarakat sudah tidak ada yang percaya lagi. Logikanya begini, ketika satu sopir kena, maka dia akan bercerita dengan supir lainnya. Setelah itu, dia akan sampaikan ke keluarganya. Terjadi komunikasi yang efektif, dan akhirnya sampai ke masyarakat awam. Hanya saja, Dishub permainan lebih rapi, karena korbannya hanya tertentu, yaitu sopir truk.

Bentuk ketidakpercayaan masyarakat lainnya?

Ya, kalau diperhatikan saat ini banyak orangtua yang melarang anaknya untuk bekerja di Dishub. Karena banyak “uang” nya. Ini membuktikan, bahwa keluarga juga sudah tidak percaya lagi. (*)

Praktik Pungutan liar (pungli) yang sering terjadi di jembatan timbang jadi rahasia umum. Maksudnya, semua mengetahui, tetapi pura-pura tidak tahu. Padahal, bila didiamkan terus, maka akan berdampak pada masyarakat.

AKSI: Sekretaris Jenderal Fitra Sumut, Rurita Ningrum  saat melakukan aksi turun  jalan sebagai bentuk  kepedulian terhadap KPK. //file
AKSI: Sekretaris Jenderal Fitra Sumut, Rurita Ningrum saat melakukan aksi turun ke jalan sebagai bentuk kepedulian terhadap KPK. //file

Bagaimana cara mengatasi atau setidaknya menimalisir praktek kolusi dan korupsi antara dishub dan supir truk ini? Berikut, hasil wawancara wartawan koran ini, Juli Ramadhani Rambe dengan Sekretaris Jenderal Fitra Sumut, Rurita Ningrum.

Bagaimana menurut Anda tentang adanya praktik pungli di jembatan timbang Dishub?

Pengutipan tersebut sudah menjadi hal biasa bagi supir dan pegawai Dishub. Kita juga masyarakat mengetahuinya, tapi seperti rahasia umum, kita jadinya pura-pura tidak tahu. Seharusnya tidak perlu ada kejadian ini, kenapa? Karena yang dirugikan dalam praktik ini bukan mereka (supir atau Dishub). Tetapi kita, masyarakat yang bayar pajak tapi tidak bisa menikmati hasil pajaknya.

Kalau sudah menjadi rahasia umum, kenapa tidak ada perubahan?

Berubah sebentar, setelah itu mengulah lagi. Sebenarnya, bila ingin menyelesaikan masalah ini, yang harus dilakukan adalah tindakan tegas. Tetapi, jangan main di pusat saja, langsung main ke daerah. Jadi, yang di bawah tidak berani bermain, dan pimpinannya pura-pura tidak tahu.
Untuk membuktikan yang di daerah itu bermain, bukan hal yang mudah.

Bagaimana caranya?

Gampang, pasang cctv di setiap jembatan timbang. Nah, rekamanannya antar secara berkala ke provinsi atau pusat sekalian. Kalau sudah seperti ini, yang daerah juga bingung untuk bermain lagi. Atau cara lain, sistem pembayarannya dibedakan. Misalnya, tanda bahwa dia sudah melewati masa penimbangan diberi surat. Setelah itu, saat melewati jembatan timbang yang lain, hanya tinggal menunjukkan surat. Setidaknya, mengurangi praktik pungli inilah.

Siapa yang paling dirugikan dalam masalah pungli ini?

Masyarakat dong. Kita membayar pajak untuk menikmati jalan atau infrastruktur yang mulus dan baik. Nah, bila sebuah truk melewati tonase melintasi jalan, jalan akan rusak, akhirnya lubang-lubang. Lubang lagi, diperbaiki lagi dengan uang pajak kita. Kalau begini, pajak yang kita bayar hanya khusus membangun jalan, bukan untuk membangun infrastruktur lainnya.

Saya misalkan untuk bus pengangkut barang. Biaya dari pungli tersebut akan dikenakan kepada konsumen. Jadi, kita yang bayar. Sudah bayar pajak, bayar pungli lagi. Sudah banyak kerugian kita.

Bagaimana bila tidak ada lagi retribusi di jembatan timbang?

Jangan juga. Karena retribusi ini diperlukan untuk berbagai biaya. Misalnya, perawatan jalan dan lain sebagainya. Hanya saja yang harus kita perhatikan dan awasi dalam hal ini adalah apakah benar, bahwa retribusi itu dilakukan atau dikutip sesuai dengan peraturan yang ada? Atau hanya sekadar saja untuk masuk ke ongkos secara pribadi. Boleh ada retribusi, asal, sesuai dengan peraturan.

Sepertinya, peraturan kita tidak kuat.

Karena walau sudah ada peraturan tetap saja ada pungli?

Bisa kita ganti peraturan. Tetapi tetap saja yang jaga jembatan timbang harus mengetahui peraturan tersebut. Jangan asal kita buat, setelah itu tidak ada sosialisasi ke daerah, pengusaha, dan sopir. Sama saja, buang-buang dana untuk membuat peraturan.

Bagaimana kalau seandainya diselesaikan dalam jalur hukum?

Bisa saja. Tetapi, tidak ada yang berani. Ketakutan izin operasionalnya akan dicabut. Kalau menempuh jalur hukum, bisa dikenakan pasal pemerasan. Tetapi, ya tidak ada yang berani melapor.

Karena diancamkah, makanya tidak ada laporan?

Kalau itu saya tidak tahu. Tapi, kalau memang diancam, kan jadi lebih mudah menjerat kasus hukumnya, pemerasan dan pengancaman.

Dengan adanya kasus ini, menurut Anda, apakah masyarakat masih percaya dengan Dishub?

Kasusnya hampir sama dengan polisi. Rahasia umum. Kalau sudah begitu, jelas masyarakat sudah tidak ada yang percaya lagi. Logikanya begini, ketika satu sopir kena, maka dia akan bercerita dengan supir lainnya. Setelah itu, dia akan sampaikan ke keluarganya. Terjadi komunikasi yang efektif, dan akhirnya sampai ke masyarakat awam. Hanya saja, Dishub permainan lebih rapi, karena korbannya hanya tertentu, yaitu sopir truk.

Bentuk ketidakpercayaan masyarakat lainnya?

Ya, kalau diperhatikan saat ini banyak orangtua yang melarang anaknya untuk bekerja di Dishub. Karena banyak “uang” nya. Ini membuktikan, bahwa keluarga juga sudah tidak percaya lagi. (*)

Artikel Terkait

Bubarkan Pengurus Lama

Ada Sindikat di Hutan Mangrove

Selesaikan Konflik SMPN 14

Terpopuler

Artikel Terbaru

/