30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Terima Kasih Mal

Mal, di Amerika, fungsinya sekadar mengakomodasi toko dan orang untuk belanja.

Mal, di Indonesia, adalah civic center. Tempat orang untuk bertemu, bersama, bersosialisasi, dan beraktivitas.

Entah berapa banyak kenangan indah kita tercipta di mal. Kencan pertama dengan pacar, kebahagiaan bersama anak-anak yang masih kecil, makan bersama mertua, atau mungkin sewot ketika dompet terkuras karena menuruti permintaan pacar dan anak…

Di Indonesia, dengan habit yang ”dibina” begitu lama dan terus dibina oleh pengusaha-pengusaha mal, mungkin fungsi mal tidak akan pernah tergantikan.

Dan kalau membaca artikel-artikel tentang semakin banyaknya mal atau department store besar yang tutup di Amerika, rata-rata juga tidak menyalahkan online atau apa. Analisisnya tetap menunjukkan bahwa malnya yang harus bisa beradaptasi dengan environment baru.

Jenis tenant-nya harus pas. Mix atau kombinasi tenant-nya harus pas. Dan lain sebagainya. Intinya, ”rasanya” harus pas.

Seperti bioskop tetap bertahan (bahkan makin populer) walau film semakin mudah ditonton secara digital.

Tentu saja itu mudah untuk dikatakan, sulit untuk diterapkan. Tapi sama saja seperti persaingan jualan pecel, bukan? Semua pakai nasi, semua pakai peyek, semua pakai sayur dan saus kacang. Yang ”menang” adalah yang entah bagaimana kombinasi semuanya pas.

Beli online memang mudah dan kadang mengasyikkan. Saya sendiri termasuk yang rajin ngeklik barang. Namun, ini biasanya untuk kebutuhan-kebutuhan hobi, membeli barang-barang spesifik alias niche yang sulit didapatkan dengan cepat di toko tradisional.

Kalau barang yang umum seperti baju sehari-hari, ya tetap lebih sreg datang dan mencoba langsung.

Seperti orang mencari pasangan lah.

Kalau beli baju online, kita hanya bisa melihat dan mengamati permukaan yang ditampilkan. Tidak bisa mencoba dan memakai.

Kencan online kan juga sama. Kita hanya bisa melihat dan mengamati permukaan yang ditampilkan. Tidak bisa…(ehm!).

Anyway, ini Indonesia, bukan Amerika atau negara maju Barat lain. Ya, bisnis mal akan terus ada tantangannya. Tapi, semua bisnis juga akan selalu ada tantangannya. Tidak ada yang baru.

Sebagai pengunjung rutin mal, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pengusaha mal.

Terima kasih telah menjadikan mal Anda bukan sekadar tempat untuk belanja. Anda telah menyediakan tempat bagi saya untuk mengalami banyak pengalaman menyenangkan.

Tempat saya dulu pacaran.

Tempat saya makan bersama teman dan kerabat.

Tempat saya sekarang meluangkan quality time bersama anak.

Terima kasih! (*)

Mal, di Amerika, fungsinya sekadar mengakomodasi toko dan orang untuk belanja.

Mal, di Indonesia, adalah civic center. Tempat orang untuk bertemu, bersama, bersosialisasi, dan beraktivitas.

Entah berapa banyak kenangan indah kita tercipta di mal. Kencan pertama dengan pacar, kebahagiaan bersama anak-anak yang masih kecil, makan bersama mertua, atau mungkin sewot ketika dompet terkuras karena menuruti permintaan pacar dan anak…

Di Indonesia, dengan habit yang ”dibina” begitu lama dan terus dibina oleh pengusaha-pengusaha mal, mungkin fungsi mal tidak akan pernah tergantikan.

Dan kalau membaca artikel-artikel tentang semakin banyaknya mal atau department store besar yang tutup di Amerika, rata-rata juga tidak menyalahkan online atau apa. Analisisnya tetap menunjukkan bahwa malnya yang harus bisa beradaptasi dengan environment baru.

Jenis tenant-nya harus pas. Mix atau kombinasi tenant-nya harus pas. Dan lain sebagainya. Intinya, ”rasanya” harus pas.

Seperti bioskop tetap bertahan (bahkan makin populer) walau film semakin mudah ditonton secara digital.

Tentu saja itu mudah untuk dikatakan, sulit untuk diterapkan. Tapi sama saja seperti persaingan jualan pecel, bukan? Semua pakai nasi, semua pakai peyek, semua pakai sayur dan saus kacang. Yang ”menang” adalah yang entah bagaimana kombinasi semuanya pas.

Beli online memang mudah dan kadang mengasyikkan. Saya sendiri termasuk yang rajin ngeklik barang. Namun, ini biasanya untuk kebutuhan-kebutuhan hobi, membeli barang-barang spesifik alias niche yang sulit didapatkan dengan cepat di toko tradisional.

Kalau barang yang umum seperti baju sehari-hari, ya tetap lebih sreg datang dan mencoba langsung.

Seperti orang mencari pasangan lah.

Kalau beli baju online, kita hanya bisa melihat dan mengamati permukaan yang ditampilkan. Tidak bisa mencoba dan memakai.

Kencan online kan juga sama. Kita hanya bisa melihat dan mengamati permukaan yang ditampilkan. Tidak bisa…(ehm!).

Anyway, ini Indonesia, bukan Amerika atau negara maju Barat lain. Ya, bisnis mal akan terus ada tantangannya. Tapi, semua bisnis juga akan selalu ada tantangannya. Tidak ada yang baru.

Sebagai pengunjung rutin mal, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pengusaha mal.

Terima kasih telah menjadikan mal Anda bukan sekadar tempat untuk belanja. Anda telah menyediakan tempat bagi saya untuk mengalami banyak pengalaman menyenangkan.

Tempat saya dulu pacaran.

Tempat saya makan bersama teman dan kerabat.

Tempat saya sekarang meluangkan quality time bersama anak.

Terima kasih! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/