26.7 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Macet

Dame Ambarita, Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Oleh Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Ekspresi ketat terekam di wajah para pengendara roda dua maupun roda empat, di lintasan Jalan AH Nasution, Asrama Haji, malam Senin dua hari lalu. Klakson ‘berteriak’ di sana sini. Pengendara berebut saling mendahului. Semua lelah. Semua kesal. Tapi, kendaraan tetap saja hanya bisa beringsut-ingsut 1 meter… 2 meter
Brmmm… tetttt… tinnn… tinnnn… tetttt….

Kemacetan di Kota Medan tahun-tahun belakangan ini memang semakin parah. Titik terparah berada di Simpang Pos, Titi Kuning, perempatan Pulo Brayan, Thamrin, Simpang Aksara, Simpang HM Yamin dan Sutomo, Simpang SM Raja-Pandu, dan beberapa titik lainnya. Efeknya, waktu tempuh yang dialami pengendara bisa berlipat hingga dua bahkan tiga kali dari normal.

Jumlah kendaraan bermotor di Sumatera Utara (Sumut) dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan pesat. Data dari Dirlantas Polda Sumut, jumlah kendaraan dari seluruh jenis pengelompokan sudah menembus angka 4 juta unit. Kondisi pada posisi per September 2010, totalnya mencapai 3,9 juta unit.

Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan 321.674 unit dibandingkan tahun 2009 sebanyak 3,36 juta unit.  Jika kenaikan jumlah kendaraan dari 2010 ke 2011 kita samakan saja dengan angka dari 2009 ke 2010, berarti jumlah kendaraan saat ini sekitar 4,2 juta unit. Dari jumlah itu, Medan menampung sekitar 2,9 juta unit. Jika dikalikan hingga lima tahun ke depan menggunakan angka kenaikan serupa, pada 2016 jumlah kendaraan di Sumut mencapai 5,8 juta.
Banyaknya jumlah kendaraan ini dituding sebagai penyumbang terbesar kemacetan lalu-lintas. Tudingan ini memunculkan ide untuk membatasi kuantitas pembelian kendaraan pribadi. Tapi itu ide menggelikan dan melanggar hak individu. Lagipula, bagaimana mengatur siapa yang berhak memiliki kendaraan pribadi dan siapa yang tidak? Itu bisa memicu diskriminasi.

Menyalahkan pemerintah kota yang sejak dulu tidak memiliki visi master plan memadai mengenai infrastruktur jalan, jauh lebih mudah. Idealnya, seharusnya jauh-jauh hari pemerintah kota sudah memperhitungkan peningkatan jumlah kendaraan tiap tahun, sehingga infrastruktur jalan sudah dirancang beberapa jalur.

Tapi ya sudahlah… mencari siapa yang salah tidak akan memecahkan masalah. Eloknya, kita sama-sama mencari solusi mengurai kemacetan ini. Ide Pemko Medan untuk membangun bus  Trans Medan–mirip Trans Jakarta-barangkali menjadi satu solusi yang patut diapresiasi. Membangun jalan layang adalah satu solusi lain lagi. Melebarkan jalan, meski biaya tinggi, juga patut dipikirkan. Kalau biayanya tinggi, pembebasan lahan bisa dilakukan bertahap.
Kebijakan pemerintah pusat membatasi BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi, mungkin bisa juga mengurangi kemacetan. Tetapi, jika alat transportasi publik kita tetap saja ‘menjengkelkan’ seperti saat ini, kebijakan itu tidak akan memberi pengaruh berarti.

Solusi lainnya yang lebih masuk akal adalah membangun transportasi publik yang mumpuni. Singapura misalnya, berhasil menerapkan sarana transportasi kereta bawah tanah sebagai alat transportasi publik favorit warganya. Tingginya pajak kendaraan dan biaya parkir, serta mahalnya bahan bakar minyak, menjadi beberapa alasan warga Singapura memilih naik kereta api. Tapi, alasan utamanya adalah kepuasan yang dirasakan saat menggunakan kereta api.

Membangun sarana kereta api bawah tanah di Kota Medan yang qualified, mungkin sulit dan berbiaya tinggi. Tapi, bukan mission impossible. Jenisnya tak harus KA bawah tanah. Boleh saja sarana transportasi publik lainnya, asalkan mampu mengatasi kemacetan jangka panjang. Selain mampu mengurai kemacetan yang pasti akan semakin padat di tahun-tahun mendatang, transportasi publik yang mumpuni juga memerdekakan hak orang untuk memilih: alat transportasi pribadi atau publik.

Setelah menyediakan transportasi publik yang mumpuni, barulah pemerintah menggarap misi kedua, yakni mengajar warganya agar memandang kendaraan pribadi dari azas manfaat, bukan dari azas konsumerisme. (*)

Dame Ambarita, Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Oleh Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Ekspresi ketat terekam di wajah para pengendara roda dua maupun roda empat, di lintasan Jalan AH Nasution, Asrama Haji, malam Senin dua hari lalu. Klakson ‘berteriak’ di sana sini. Pengendara berebut saling mendahului. Semua lelah. Semua kesal. Tapi, kendaraan tetap saja hanya bisa beringsut-ingsut 1 meter… 2 meter
Brmmm… tetttt… tinnn… tinnnn… tetttt….

Kemacetan di Kota Medan tahun-tahun belakangan ini memang semakin parah. Titik terparah berada di Simpang Pos, Titi Kuning, perempatan Pulo Brayan, Thamrin, Simpang Aksara, Simpang HM Yamin dan Sutomo, Simpang SM Raja-Pandu, dan beberapa titik lainnya. Efeknya, waktu tempuh yang dialami pengendara bisa berlipat hingga dua bahkan tiga kali dari normal.

Jumlah kendaraan bermotor di Sumatera Utara (Sumut) dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan pesat. Data dari Dirlantas Polda Sumut, jumlah kendaraan dari seluruh jenis pengelompokan sudah menembus angka 4 juta unit. Kondisi pada posisi per September 2010, totalnya mencapai 3,9 juta unit.

Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan 321.674 unit dibandingkan tahun 2009 sebanyak 3,36 juta unit.  Jika kenaikan jumlah kendaraan dari 2010 ke 2011 kita samakan saja dengan angka dari 2009 ke 2010, berarti jumlah kendaraan saat ini sekitar 4,2 juta unit. Dari jumlah itu, Medan menampung sekitar 2,9 juta unit. Jika dikalikan hingga lima tahun ke depan menggunakan angka kenaikan serupa, pada 2016 jumlah kendaraan di Sumut mencapai 5,8 juta.
Banyaknya jumlah kendaraan ini dituding sebagai penyumbang terbesar kemacetan lalu-lintas. Tudingan ini memunculkan ide untuk membatasi kuantitas pembelian kendaraan pribadi. Tapi itu ide menggelikan dan melanggar hak individu. Lagipula, bagaimana mengatur siapa yang berhak memiliki kendaraan pribadi dan siapa yang tidak? Itu bisa memicu diskriminasi.

Menyalahkan pemerintah kota yang sejak dulu tidak memiliki visi master plan memadai mengenai infrastruktur jalan, jauh lebih mudah. Idealnya, seharusnya jauh-jauh hari pemerintah kota sudah memperhitungkan peningkatan jumlah kendaraan tiap tahun, sehingga infrastruktur jalan sudah dirancang beberapa jalur.

Tapi ya sudahlah… mencari siapa yang salah tidak akan memecahkan masalah. Eloknya, kita sama-sama mencari solusi mengurai kemacetan ini. Ide Pemko Medan untuk membangun bus  Trans Medan–mirip Trans Jakarta-barangkali menjadi satu solusi yang patut diapresiasi. Membangun jalan layang adalah satu solusi lain lagi. Melebarkan jalan, meski biaya tinggi, juga patut dipikirkan. Kalau biayanya tinggi, pembebasan lahan bisa dilakukan bertahap.
Kebijakan pemerintah pusat membatasi BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi, mungkin bisa juga mengurangi kemacetan. Tetapi, jika alat transportasi publik kita tetap saja ‘menjengkelkan’ seperti saat ini, kebijakan itu tidak akan memberi pengaruh berarti.

Solusi lainnya yang lebih masuk akal adalah membangun transportasi publik yang mumpuni. Singapura misalnya, berhasil menerapkan sarana transportasi kereta bawah tanah sebagai alat transportasi publik favorit warganya. Tingginya pajak kendaraan dan biaya parkir, serta mahalnya bahan bakar minyak, menjadi beberapa alasan warga Singapura memilih naik kereta api. Tapi, alasan utamanya adalah kepuasan yang dirasakan saat menggunakan kereta api.

Membangun sarana kereta api bawah tanah di Kota Medan yang qualified, mungkin sulit dan berbiaya tinggi. Tapi, bukan mission impossible. Jenisnya tak harus KA bawah tanah. Boleh saja sarana transportasi publik lainnya, asalkan mampu mengatasi kemacetan jangka panjang. Selain mampu mengurai kemacetan yang pasti akan semakin padat di tahun-tahun mendatang, transportasi publik yang mumpuni juga memerdekakan hak orang untuk memilih: alat transportasi pribadi atau publik.

Setelah menyediakan transportasi publik yang mumpuni, barulah pemerintah menggarap misi kedua, yakni mengajar warganya agar memandang kendaraan pribadi dari azas manfaat, bukan dari azas konsumerisme. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/