32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Serba Salah

Bak makan buah simalakama. Maju kena mundur kena. Dan, masih banyak lagi ungkapan untuk mengatakan serba salah. Intinya, segala ungkapan tetap saja mengarah pada satu titik, sulit memilih.

Dan, hal ini tampaknya yang dialami Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belakangan ini. Bagaimana tidak, buruh menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP) minimal Rp2,2 juta. Artinya, UMP yang sebelumnya telah ditetapkan seberas Rp1.305.000 harus dinaikan minimal Rp900.000. Jika tidak dinaikkan, seperti yang sudah dilakukan para buruh, mereka menggelar aksi. Demonstrasi berulang dan membuat produktivitas terganggu.

Masalahnya, ketika dinaikkan sesuai keinginan para buruh, pengusaha tentunya kepayahaan. Dengan kata lain, ongkos produksi tidak akan menutupi. Klasarnya, perusahaan bisa bangkrut.

Dua keinginan inilah yang kemudian disaring Pemprovsu. Pastinya mereka bingung. Di satu sisi, mereka harus memperhatikan tuntutan buruh. Di sisi lainnya, nasib pengusaha juga wajib diperhatikan. Setidaknya, para pengusaha yang memperkerjakan ratusan bahkan ribuan buruh tadi.

Akhirnya, kemarin, Pemprovsu memutuskan kenaikan UMP untuk 2013. Tidak Tujuh ratus ribu seperti keinginan buruh, tapi tujuh puluh ribu. Keputusan ini kabarnya dilakukan melalui sebuah penelitian, diskusi, dan sebagainya. Artinya, keputusan dibuat dengan memikirkan segala lini. Apakah hal ini selesai?

Tentu saja tidak, bukankah jarak Rp900 ribu dengan Rp70 ribu cukup jauh? Ayolah, adakah buruh akan setuju dengan kenaikan itu?

Tidak itu saja, ternyata kenaikan yang tak sampai sepuluh persen dari tuntutan buruh itu pun diprotes para pengusaha. Bahkan, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berencana mengguat keputusan Pemprovsu itu. “Apalagi beberapa hari yang lalu, presiden SBY sudah mengatakan bahwa UMP yang telah ditetapkan tidak boleh diubah lagi. Nah, sekarang kenapa direvisi? Dan, ditetapkan pula?” begitu alasan Wakil Ketua Bidang Organisasi Apindo Sumut, Johan Brien.

Si Brien ini mengatakan, rencana menggugat keputusan itu bukan main-main. “Kita akan melakukan rapat antara Apindo dan memanggil beberapa pengusaha, untuk memastikan apa yang akan kita lakukan,” tambahnya.

Nah, kalau begini kejadiannya kan repot. Pemprovsu malah berada di posisi yang tidak nyaman. Dua sisi – pengusaha dan buruh – sama-sama tak puas. Jika begitu, Pemprovsu memuaskan siapa? Tak pelak, teori klasik yang mengatakan ‘kemajuan di satu sisi membuat kemunduran di sisi lainnya’ tidak berlaku untuk kasus UMP ini.

Saya malah berpikir, jika memang tidak memuaskan buruh, kenapa Pemprovsu menaikkan UMP? Ya, biarkan saja tetap Rp1.305.000. Atau, jika ingin menyenangkan buruh, jangan hanya menaikkan Rp70 ribu. Selain itu, jika ingin menyenangkan pengusaha, kan UMP tidak harus direvisi. Atau, jika memang ingin tidak memuaskan pengusaha, ya, naikkan saja UMP  menjadi Rp2,2 juta.

Ya, adalah lucu ketika UMP direvisi, ternyata tidak memuaskan siapapun. Artinya, Pemprovsu malah bukan mencari jalan tengah. Tapi, Pemprovsu meletakkan diri di tengah-tengah pihak yang ingin ‘mengeroyoknya’. Bukankah begitu? (*)

Bak makan buah simalakama. Maju kena mundur kena. Dan, masih banyak lagi ungkapan untuk mengatakan serba salah. Intinya, segala ungkapan tetap saja mengarah pada satu titik, sulit memilih.

Dan, hal ini tampaknya yang dialami Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belakangan ini. Bagaimana tidak, buruh menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP) minimal Rp2,2 juta. Artinya, UMP yang sebelumnya telah ditetapkan seberas Rp1.305.000 harus dinaikan minimal Rp900.000. Jika tidak dinaikkan, seperti yang sudah dilakukan para buruh, mereka menggelar aksi. Demonstrasi berulang dan membuat produktivitas terganggu.

Masalahnya, ketika dinaikkan sesuai keinginan para buruh, pengusaha tentunya kepayahaan. Dengan kata lain, ongkos produksi tidak akan menutupi. Klasarnya, perusahaan bisa bangkrut.

Dua keinginan inilah yang kemudian disaring Pemprovsu. Pastinya mereka bingung. Di satu sisi, mereka harus memperhatikan tuntutan buruh. Di sisi lainnya, nasib pengusaha juga wajib diperhatikan. Setidaknya, para pengusaha yang memperkerjakan ratusan bahkan ribuan buruh tadi.

Akhirnya, kemarin, Pemprovsu memutuskan kenaikan UMP untuk 2013. Tidak Tujuh ratus ribu seperti keinginan buruh, tapi tujuh puluh ribu. Keputusan ini kabarnya dilakukan melalui sebuah penelitian, diskusi, dan sebagainya. Artinya, keputusan dibuat dengan memikirkan segala lini. Apakah hal ini selesai?

Tentu saja tidak, bukankah jarak Rp900 ribu dengan Rp70 ribu cukup jauh? Ayolah, adakah buruh akan setuju dengan kenaikan itu?

Tidak itu saja, ternyata kenaikan yang tak sampai sepuluh persen dari tuntutan buruh itu pun diprotes para pengusaha. Bahkan, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berencana mengguat keputusan Pemprovsu itu. “Apalagi beberapa hari yang lalu, presiden SBY sudah mengatakan bahwa UMP yang telah ditetapkan tidak boleh diubah lagi. Nah, sekarang kenapa direvisi? Dan, ditetapkan pula?” begitu alasan Wakil Ketua Bidang Organisasi Apindo Sumut, Johan Brien.

Si Brien ini mengatakan, rencana menggugat keputusan itu bukan main-main. “Kita akan melakukan rapat antara Apindo dan memanggil beberapa pengusaha, untuk memastikan apa yang akan kita lakukan,” tambahnya.

Nah, kalau begini kejadiannya kan repot. Pemprovsu malah berada di posisi yang tidak nyaman. Dua sisi – pengusaha dan buruh – sama-sama tak puas. Jika begitu, Pemprovsu memuaskan siapa? Tak pelak, teori klasik yang mengatakan ‘kemajuan di satu sisi membuat kemunduran di sisi lainnya’ tidak berlaku untuk kasus UMP ini.

Saya malah berpikir, jika memang tidak memuaskan buruh, kenapa Pemprovsu menaikkan UMP? Ya, biarkan saja tetap Rp1.305.000. Atau, jika ingin menyenangkan buruh, jangan hanya menaikkan Rp70 ribu. Selain itu, jika ingin menyenangkan pengusaha, kan UMP tidak harus direvisi. Atau, jika memang ingin tidak memuaskan pengusaha, ya, naikkan saja UMP  menjadi Rp2,2 juta.

Ya, adalah lucu ketika UMP direvisi, ternyata tidak memuaskan siapapun. Artinya, Pemprovsu malah bukan mencari jalan tengah. Tapi, Pemprovsu meletakkan diri di tengah-tengah pihak yang ingin ‘mengeroyoknya’. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/