26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Menyiasati Pidato Boring

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Baru-baru ini saya ikut sebuah acara di Jakarta. Di sana beberapa pejabat berurutan bergantian berpidato. Oh my God…

***
Ayo angkat tangan, siapa merasa paling bosan mendengarkan orang berpidato?n
Apalagi kalau pidatonya panjang, bernada monoton, dan mata yang membaca terpaku pada kertas yang dia pegang.

Assalamualaikum; Begitu dia membuka.

Waalaikumsalam; Begitu audiens (masih) semangat membalas.

Setelah itu? Blablabla… tidak ada yang bisa diingat.

Selama di koran Jawa Pos, saya menjadi direktur pada 2012, sekitar 12 tahun setelah masuk secara full time. Kemudian jadi direktur utama dalam dua tahun terakhir.

Ada yang bilang, semakin tinggi pohon, semakin keras angin yang menerpa. Itu ungkapan lama.

Ini ungkapan baru dari saya: Semakin tinggi jabatan, semakin banyak acara berisi pidato yang harus dihadiri.

Jangan salah, bukan berarti saya tidak suka mendengarkan pidato. Sebagai mantan pelajar perguruan tinggi jurusan marketing, dan penggemar berat stand-up comedy, saya justru paling curious memperhatikan cara orang berpidato.

Sebab, itulah salah satu ‘jendela’ untuk melihat isi orang itu yang sebenarnya. Tidak seluruhnya, dan masih bisa mengelabui, tapi paling tidak ada acuan.

Dan pidato alias public speaking memang bukan hal yang semudah membaca kertas. Saking sulitnya, dulu pernah ada survei di Amerika yang menyatakan bahwa orang lebih takut disuruh berpidato daripada mati!
Banyak orang yang memang naturally talented berbicara di depan publik. Sama seperti ada banyak orang yang memang bakat alam menendang bola sepak, memukul shuttlecock, dan menembakkan bola basket.

Dan orang-orang itu begitu menyenangkan untuk didengarkan. Dia tahu betul bagaimana memikat perhatian kita, mengajak tertawa, menyampaikan fakta-fakta secara halus, membesarkan hati orang-orang yang memang harus ditonjolkan, dan lain sebagainya.

Setelah pidato itu berakhir, kita dapat sesuatu, plus terhibur!
Ada juga yang tidak naturally talented, berbicaranya fragmented, tapi kita bisa menangkap maksud di dalam hatinya. Toh, pidato yang baik tidak harus lucu, tidak harus sempurna. Yang penting maksud tersampaikan.

Beberapa pejabat yang pidatonya saya suka juga tidak selalu lucu. Yang saya suka, kalau memang tidak lucu, adalah yang nada bicaranya tidak tinggi dan tidak meledak-ledak. Bukan datar, hanya dalam nada yang sangat terkontrol, terkesan sangat rendah hati. Dengan pilihan-pilihan kata yang pas, menunjukkan penguasaan tema yang baik dan tahu batas dan kemampuan audiens-nya seperti apa.

Dalam pelajaran public speaking yang saya dapat dulu, rule number one alias yang paling penting adalah Know your audience. Kita harus tahu kepada siapa kita bicara, karena itu menentukan cara berbicara, pilihan kata-kata, dan lain sebagainya.

Tidak mungkin menyampaikan guyonan dewasa di depan anak-anak SMA, bukan? Atau berbicara terlalu teknis di hadapan anak-anak SD.

Sebenarnya, para pejabat itu sudah punya solusi untuk mengatasi kekurangmampuan berpidato. Yaitu dengan adanya naskah pidato yang sudah disiapkan para staf khusus.

Di Amerika pun begitu. Presiden atau pejabat tinggi punya tim khusus yang membantu menuliskan pidato-pidato mereka.

Celakanya, kadang pembuat naskah itu malah lebih parah kemampuan dan pengetahuannya tentang tema, dan lebih tidak tahu tentang siapa audiens yang harus dihadapi. Dan lagi, bukan mereka yang harus berdiri dan berbicara di depan orang banyak!
Lebih celaka lagi, ketika teksnya tidak bermutu, dan pejabatnya terus membacanya. Dan dia terus membaca dengan memaku matanya pada teks sepanjang pidato!
Dia melupakan lagi satu rule penting pidato: Eye contact.

Seharusnya ada ujian berpidato untuk para pejabat, sama seperti ketika saya belajar dulu. Saat berbicara, ada beberapa guru penilai berdiri di belakang tengah, belakang kiri, dan belakang kanan, serta duduk di depan. Mereka menghitung berapa kali saya menoleh ke kanan, menoleh ke kiri, memperhatikan baris depan, dan melihat jauh ke belakang.

Jumlahnya harus seseimbang mungkin.

Tujuannya sederhana, supaya kita memantau tingkat perhatian audiens sekaligus me-maintain perhatian audiens.

Makanya, saya paling tidak suka ketika ada wartawan mewawancarai narasumber sambil mengetik di smartphone. Wawancara kok tanpa eye contact. Kalau di Jawa Pos, ini dilarang keras!
Hal lain yang saya perhatikan: Berapa kali dia #pause#; alias berhenti sejenak atau mengucapkan Eee….

Kadang kita memang bicara terlalu cepat, sehingga harus mengerem sejenak untuk menata kembali pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan.

Pelajaran yang saya dapat dulu, yang dianjurkan adalah melakukan pause sesaat. Jangan sampai bilang Eee…. Untuk memaksakan itu, setiap kali ada bunyi Eee…. keluar dari mulut saya, nilai dikurangi satu poin. Jadi, kalau nilai pidatonya 95, tapi saya ngomong Eee….. 15 kali, ya nilai saya tinggal 80.

Itu sama dengan nilai A melorot ke B minus.

***
Dalam hidup ini memang ada kepastian, bahwa kita tidak terelakkan dari pidato. Mungkin tidak harus melakukan pidato, tapi kita pasti pernah terpaksa atau dipaksa mendengarkan pidato.

Kalau pidatonya menarik dan berisi, syukur alhamdulillah. Kalau juga lucu, anggap saja bonus entertainment.

Kalau ternyata tidak menarik, ayo kita menghibur diri sendiri. Keluarkan secarik kertas dan pulpen (atau pakai tablet dan smartphone).

Coba beri nilai, berapa nilai overall pidato orang tersebut berdasar subjektivitas Anda sendiri. Lalu, nilai itu dikombinasi dengan faktor-faktor lain.

Ayo hitung, berapa kali orang yang berpidato itu menatap mata audiens. Hitung berapa kali ke kanan, ke kiri, bagian depan, dan bagian belakang. Kalau seimbang, jadikan itu bonus poin. Kalau tidak, jadikan minus poin.

Ayo menghitung juga, berapa kali pula dia berucap #Eee….

Setiap #Eee….bernilai minus satu.

Kalau pidatonya tanpa kertas, beri lagi bonus poin.

Kalau pidatonya pakai lembaran kertas dan membaca terus, langsung kasih nilai jelek.

Kalau ada guyonannya (kecuali pidato pemakaman), beri juga bonus poin#
Ajak teman Anda atau orang di sebelah Anda untuk melakukan hal yang sama. Lalu, bandingkan nilai Anda dengan nilai orang tersebut. Siapa tahu selera Anda sama, atau ternyata jauh berbeda!
Jangan khawatir, jangan menganggap ini tidak sopan. Toh, yang berpidato tidak tahu Anda sedang melakukan penilaian. Dan kalau yang berpidato benar-benar membosankan, Anda kan tetap punya hak untuk menghibur diri sendiri;
***
Pidato terburuk yang pernah saya perhatikan adalah ketika seorang kepala daerah ‘memaksa’ untuk berbicara di sebuah acara. Dia naik ke atas panggung, mengeluarkan selembar kertas, lalu bicara begini: Saya sebenarnya tidak ingin pidato, tapi staf saya telanjur menuliskan pidatonya.

Wkwkwkwk….Asli ini true story! Dan saya tidak ingat setelah itu dia ngomong soal apa. (*)

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Baru-baru ini saya ikut sebuah acara di Jakarta. Di sana beberapa pejabat berurutan bergantian berpidato. Oh my God…

***
Ayo angkat tangan, siapa merasa paling bosan mendengarkan orang berpidato?n
Apalagi kalau pidatonya panjang, bernada monoton, dan mata yang membaca terpaku pada kertas yang dia pegang.

Assalamualaikum; Begitu dia membuka.

Waalaikumsalam; Begitu audiens (masih) semangat membalas.

Setelah itu? Blablabla… tidak ada yang bisa diingat.

Selama di koran Jawa Pos, saya menjadi direktur pada 2012, sekitar 12 tahun setelah masuk secara full time. Kemudian jadi direktur utama dalam dua tahun terakhir.

Ada yang bilang, semakin tinggi pohon, semakin keras angin yang menerpa. Itu ungkapan lama.

Ini ungkapan baru dari saya: Semakin tinggi jabatan, semakin banyak acara berisi pidato yang harus dihadiri.

Jangan salah, bukan berarti saya tidak suka mendengarkan pidato. Sebagai mantan pelajar perguruan tinggi jurusan marketing, dan penggemar berat stand-up comedy, saya justru paling curious memperhatikan cara orang berpidato.

Sebab, itulah salah satu ‘jendela’ untuk melihat isi orang itu yang sebenarnya. Tidak seluruhnya, dan masih bisa mengelabui, tapi paling tidak ada acuan.

Dan pidato alias public speaking memang bukan hal yang semudah membaca kertas. Saking sulitnya, dulu pernah ada survei di Amerika yang menyatakan bahwa orang lebih takut disuruh berpidato daripada mati!
Banyak orang yang memang naturally talented berbicara di depan publik. Sama seperti ada banyak orang yang memang bakat alam menendang bola sepak, memukul shuttlecock, dan menembakkan bola basket.

Dan orang-orang itu begitu menyenangkan untuk didengarkan. Dia tahu betul bagaimana memikat perhatian kita, mengajak tertawa, menyampaikan fakta-fakta secara halus, membesarkan hati orang-orang yang memang harus ditonjolkan, dan lain sebagainya.

Setelah pidato itu berakhir, kita dapat sesuatu, plus terhibur!
Ada juga yang tidak naturally talented, berbicaranya fragmented, tapi kita bisa menangkap maksud di dalam hatinya. Toh, pidato yang baik tidak harus lucu, tidak harus sempurna. Yang penting maksud tersampaikan.

Beberapa pejabat yang pidatonya saya suka juga tidak selalu lucu. Yang saya suka, kalau memang tidak lucu, adalah yang nada bicaranya tidak tinggi dan tidak meledak-ledak. Bukan datar, hanya dalam nada yang sangat terkontrol, terkesan sangat rendah hati. Dengan pilihan-pilihan kata yang pas, menunjukkan penguasaan tema yang baik dan tahu batas dan kemampuan audiens-nya seperti apa.

Dalam pelajaran public speaking yang saya dapat dulu, rule number one alias yang paling penting adalah Know your audience. Kita harus tahu kepada siapa kita bicara, karena itu menentukan cara berbicara, pilihan kata-kata, dan lain sebagainya.

Tidak mungkin menyampaikan guyonan dewasa di depan anak-anak SMA, bukan? Atau berbicara terlalu teknis di hadapan anak-anak SD.

Sebenarnya, para pejabat itu sudah punya solusi untuk mengatasi kekurangmampuan berpidato. Yaitu dengan adanya naskah pidato yang sudah disiapkan para staf khusus.

Di Amerika pun begitu. Presiden atau pejabat tinggi punya tim khusus yang membantu menuliskan pidato-pidato mereka.

Celakanya, kadang pembuat naskah itu malah lebih parah kemampuan dan pengetahuannya tentang tema, dan lebih tidak tahu tentang siapa audiens yang harus dihadapi. Dan lagi, bukan mereka yang harus berdiri dan berbicara di depan orang banyak!
Lebih celaka lagi, ketika teksnya tidak bermutu, dan pejabatnya terus membacanya. Dan dia terus membaca dengan memaku matanya pada teks sepanjang pidato!
Dia melupakan lagi satu rule penting pidato: Eye contact.

Seharusnya ada ujian berpidato untuk para pejabat, sama seperti ketika saya belajar dulu. Saat berbicara, ada beberapa guru penilai berdiri di belakang tengah, belakang kiri, dan belakang kanan, serta duduk di depan. Mereka menghitung berapa kali saya menoleh ke kanan, menoleh ke kiri, memperhatikan baris depan, dan melihat jauh ke belakang.

Jumlahnya harus seseimbang mungkin.

Tujuannya sederhana, supaya kita memantau tingkat perhatian audiens sekaligus me-maintain perhatian audiens.

Makanya, saya paling tidak suka ketika ada wartawan mewawancarai narasumber sambil mengetik di smartphone. Wawancara kok tanpa eye contact. Kalau di Jawa Pos, ini dilarang keras!
Hal lain yang saya perhatikan: Berapa kali dia #pause#; alias berhenti sejenak atau mengucapkan Eee….

Kadang kita memang bicara terlalu cepat, sehingga harus mengerem sejenak untuk menata kembali pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan.

Pelajaran yang saya dapat dulu, yang dianjurkan adalah melakukan pause sesaat. Jangan sampai bilang Eee…. Untuk memaksakan itu, setiap kali ada bunyi Eee…. keluar dari mulut saya, nilai dikurangi satu poin. Jadi, kalau nilai pidatonya 95, tapi saya ngomong Eee….. 15 kali, ya nilai saya tinggal 80.

Itu sama dengan nilai A melorot ke B minus.

***
Dalam hidup ini memang ada kepastian, bahwa kita tidak terelakkan dari pidato. Mungkin tidak harus melakukan pidato, tapi kita pasti pernah terpaksa atau dipaksa mendengarkan pidato.

Kalau pidatonya menarik dan berisi, syukur alhamdulillah. Kalau juga lucu, anggap saja bonus entertainment.

Kalau ternyata tidak menarik, ayo kita menghibur diri sendiri. Keluarkan secarik kertas dan pulpen (atau pakai tablet dan smartphone).

Coba beri nilai, berapa nilai overall pidato orang tersebut berdasar subjektivitas Anda sendiri. Lalu, nilai itu dikombinasi dengan faktor-faktor lain.

Ayo hitung, berapa kali orang yang berpidato itu menatap mata audiens. Hitung berapa kali ke kanan, ke kiri, bagian depan, dan bagian belakang. Kalau seimbang, jadikan itu bonus poin. Kalau tidak, jadikan minus poin.

Ayo menghitung juga, berapa kali pula dia berucap #Eee….

Setiap #Eee….bernilai minus satu.

Kalau pidatonya tanpa kertas, beri lagi bonus poin.

Kalau pidatonya pakai lembaran kertas dan membaca terus, langsung kasih nilai jelek.

Kalau ada guyonannya (kecuali pidato pemakaman), beri juga bonus poin#
Ajak teman Anda atau orang di sebelah Anda untuk melakukan hal yang sama. Lalu, bandingkan nilai Anda dengan nilai orang tersebut. Siapa tahu selera Anda sama, atau ternyata jauh berbeda!
Jangan khawatir, jangan menganggap ini tidak sopan. Toh, yang berpidato tidak tahu Anda sedang melakukan penilaian. Dan kalau yang berpidato benar-benar membosankan, Anda kan tetap punya hak untuk menghibur diri sendiri;
***
Pidato terburuk yang pernah saya perhatikan adalah ketika seorang kepala daerah ‘memaksa’ untuk berbicara di sebuah acara. Dia naik ke atas panggung, mengeluarkan selembar kertas, lalu bicara begini: Saya sebenarnya tidak ingin pidato, tapi staf saya telanjur menuliskan pidatonya.

Wkwkwkwk….Asli ini true story! Dan saya tidak ingat setelah itu dia ngomong soal apa. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/