Oleh: Valdesz J. Nainggolan
Kepala Koord. Liputan Sumut Pos
TERINGAT petatah-petitih ‘’gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah’’, saya tergelitik membedahnya dalam konflik internal Partai Golkar belakangan.
Polemik terbuka antara Ketua Dewan Penasihat Akbar Tandjung dan Ketum DPP Aburizal Bakrie (Ical) terkait rencana Rapimnas Partai Golkar pada Juli mendatang menambahn daftar sejarah konflik partai beringin ini. Seorang kawan diskusi mengingatkan saya gaya klasik berpolitik Akbar. ‘’Dia itu kan sutradara. Itu artinya setiap scene dia yang atur,’’ katanya.
Gaya berpolitik ala sutradara ini mencairkan ingatan perjalanan Partai Golkar di tangan Akbar. Sejak terpilih sebagai orang nomor satu mengalahkan Edy Sudrajat dalam Munaslub 9-11 Juli 1998, Akbar gemar menjadi sentrum di atas silang kepentingan politik. Ingatlah bagaimana Partai Golkar mematahkan laporan pertanggungjawaban BJ Habibie di SU MPR 19 Oktober 1999.
Partai Golkar gemilang menggagas poros tengah yang mengusung Gus Dur menjadi presiden. Akbar berhasil menembus kursi ketua DPR. Jabatan strategis yang belakangan merontokkan Gus Dur dari kursi presiden. Sekali lagi, Partai Golkar lewat tangan Akbar menjadi sentrum persilangan konflik di sumbu kekuasaan. Toh gaya politik rupa-rupanya kalah kekal dibanding zaman.
Dalam buku ‘’The Golkar Way’’ (2007), Akbar mengungkapkan keresahannya soal arus (baca: gaya) kekuatan politik baru yang mencuat saat Munas VII Partai Golkar di Bali. Munas yang melengserkannya setelah dikalahkan Jusuf Kalla. Dia tersentak sadar spesies ‘’politik saudagar’’ merasuki tubuh Golkar. Seni melobi, kemampuan diplomasi, dan sentrum atas arus kepentingan perlahan tergerus oleh kekuatan kapital.
Di situ Akbar menulis: ‘’Orientasi kepemimpinan saudagar bersifat jangka pendek, mengedepankan spekulasi bisnis, serta cenderung tidak menghargai proses melainkan hasil akhir. Corak kepemimpinan begitu cenderung mengabaikan penguatan kelembagaan politik.’’ Begitupun Akbar tidak mengekang hak saudagar dalam berpolitik, dia hanya ‘benci setengah mati’ dengan gaya saudagar memimpin parpol.
Barangkali saat mengantar Ical ke kursi nomor satu, Akbar punya impian menarik Golkar ke khittah-nya.
Parpol yang diisi kader-kader yang cerdas memainkan arus, gemar melobi, dan menjadi sentrum kepentingan. Sayang gaya politik kembali kalah kekal dibanding zaman. Kader-kader yang direkrutnya mulai menghilang, tak sanggup mengikuti gaya politik ‘sang guru’ yang dinilai lamban dan tak relevan. Akbar menggeliat menjadi sentrum dengan mendorong JK dan sejumlah sesepuh parpol itu sebagai capres. Akbar mengingatkan mekanisme konvensi di tubuh partai.
Saat ini juga Akbar tersungkur di tengah arus kapitalisasi politik yang dicemaskannya. Militansi ‘anak-anak didiknya’ tergilas kegagahan modal yang menjadi ‘nyawa’ parpol sejak era reformasi demokrasi. Akbar mungkin lupa arus politik yang dimainkannya relevan bila regenerasi kepemimpinan di tingkat pusat dan lokal masih terpusat di parlemen. Sejak era demokrasi langsung dimulai negeri ini siapapun sulit menepis kapital menjadi faktor penentu dan pemersatu. Dari tingkat bupati/walikota hingga presiden. Parlemen hanya menjadi penyeimbang politik sesudahnya.
Sekali lagi, Akbar terjebak dengan gaya politiknya yang terlampau kekal. Mengutip halaman lain di bukunya: ‘’Partai politik bukanlah perusahaan yang dijalankan dengan pendekatan bisnis untung-rugi ala saudagar. Parpol adalah lembaga politik yang harus dikelola dengan mind set kepemimpinan politik, yang punya idealisme, visi, menghargai proses, change and continuity, dan orientasi jangka panjang.’’
Dalam konteks lokal arus yang dimainkan Akbar mulai mewarnai dinamika politik menjelang Pilgubsu 2013. Berbagai spanduk yang memuat foto dirinya menyebar di titik-titik strategis. Toh, peta politik akan mudah membaca siapa ‘’orang A’’ dan siapa ‘’orang I’’. Wah, saya jadi teringat petatah-petitih di atas! (*)