Boston Consulting Group pada 2015 melakukan riset dan mendapati potensi komersial nama Ayrton Senna masih setara dengan petenis Roger Federer dan legenda basket Michael Jordan.
Pada Olimpiade Rio tahun lalu, ada survei juga yang menunjukkan bahwa banyak atlet Brasil yang tampil menyebut Senna sebagai inspirasi utama mereka. Mengalahkan pesepak bola seperti Neymar dan Pele. Padahal, kebanyakan dari mereka belum lahir saat Senna meninggal pada 1 Mei 1994!
Untuk memastikan nama Senna ini laku serius, strategi marketing yayasan sangat keren. Mereka mengidentifikasi dua kelompok pasar untuk produk Ayrton Senna. Pertama para penggemar F1. Kedua masyarakat umum yang mungkin bukan penggemar balap, tapi terpikat oleh karisma dan kepopuleran Senna.
Jenis produk yang dipasarkan pun disesuaikan menurut dua jenis pasar itu. Misalnya, merchandise balap untuk penggemar balap, lalu produk-produk makanan bermerek Senna untuk masyarakat umum.
Menurut laporan BBC, dalam lima tahun terakhir, merek ’’Ayrton Senna’’ (atau ’’Senninha’’ alias Little Senna) mampu memberi pemasukan senilai USD 320 juta, atau sekitar Rp4,3 triliun! Ingat, Ayrton Senna sudah tiada sejak 1994! Wediaannnn…
Kalau Anda penggemar F1, sebenarnya indikator popularitas Senna sangat gampang. Kalau datang ke sirkuit saat lomba, hanya beberapa tim merchandise-nya laku. Khususnya Mercedes, Ferrari, dan Red Bull. Setelah itu paling McLaren-Honda dan Williams-Mercedes. Tapi, di lomba, jangan kaget kalau stan merchandise Ayrton Senna justru lebih besar!
Kalau ke toko merchandise F1 online yang orisinal, pilihan item untuk merek Ayrton Senna juga bisa mengalahkan tim-tim yang sekarang ada. Ingat, Ayrton Senna sudah tiada sejak 1994! Wediaannnn…
Nah, sesuai misi awal, karena keluarga sudah kaya, seluruh pemasukan brand Ayrton Senna ditujukan untuk pendidikan di Brasil. Tapi, dalam penerapannya pun, mereka tidak mau asal sumbang.
Viviane menyebut pihaknya mengembangkan program-program khusus yang bisa membantu pendidikan di sekolah-sekolah negeri, di kawasan-kawasan miskin. Dia menyebutnya ’’vaksin’’ pendidikan.
Yayasan Senna ’’menyuntik’’ kurikulum, memfokuskan pada ilmu-ilmu nontradisional, seperti pengajaran ’’social and emotional skills’’. Yaitu, ketangguhan, disiplin, dan semangat. Bukan pada ilmu-ilmu ’’tradisional’’ seperti matematika dan bahasa. Bahkan, yayasan ini telah menemukan metrik untuk mengidentifikasi skill-skill tersebut. Awalnya banyak yang mengkritik. Tapi, Viviane terus ngotot. Dia bilang: ’’Kalau ada orang dari abad ke-19 datang ke zaman sekarang, maka dia tidak akan melihat ada perbedaan di kelas-kelas. Padahal, dunia sudah menjalani revolusi teknologi dan ilmu pengetahuan. Jadi, solusinya bukan sekadar menyediakan tablet atau handphone di tangan murid. Tapi bagaimana menyiapkan kemampuan social dan emotional mereka dalam menghadapi dunia nyata.’’