31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Hardiknas dan Demo

Faliruddin Lubis
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Sejak pagi tepatnya Rabu 2 Mei, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) saya sengaja keluyuran di jalanan Kota Medan. Setelah jalan sana-jalan sini saya singgah di warkop tempat ngumpul para kuli tinta.

Saat duduk-duduk sambil menikmati makanan dan minuman kawan-kawan wartawan yang baru datang selalu nyeletuk. “Ada demo di sana dalam rangka Hardiknas,” kata teman wartawan.

“Lalap demo. Hari Buruh demo, Hari Pendidikan Nasional demo. Ah, biarin ajalah itu,” celetuk teman w artawan lainnya.
Teman wartawan yang duduk di sebelah saya pun ngoceh tak karuan. “Emang sekarang ini gila demo. Sebentar-bentar demo. Jenuh juga kita melihatnya. Udahlah biarin ajalah begitu,” sambung teman wartawan lainnya.

Tak berselang lama, teman wartawan yang baru tiba pun ngoceh soal demo. “Itu di kantor Gubsu anak sekolah demo,” katanya.
Kawan yang lain langsung serentak menjawab,” Apapula anak sekolah demo. Udah belajar aja yang bagus kok demo.”
Intinya, ternyata teman-teman memang sudah muak dengan demo yang selalu mereka hadapi.

Apalagi demo sekarang ini tak pandang hari. Sampai-sampai Hari Pendidikan Nasional pun diwarnai aksi demo. Berbagai tuntutan elemen yang mengaku peduli dengan pendidikan menyampaikan tuntutannya mulai dari penolakan UN dijadikannya sebagai standar kelulusan, mendesak realisasi minimal 20 persen anggaran untuk pendidikan, menyelenggarakan pendidikan murah yang berkualitas dan peningkatan sarana pendidikan, menolak komersialisasi pendidikan yang dilakukan para pemangku kebijakan, hingga mengusut Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang banyak diselewengkan.

Tapi, tetap saja tak digubris.Permainan nilai menuju sekolah favorit tetap saja berlangsung dari tahun ke tahun. Jadi apa gunanya demo.
Apalagi demo kemarin melibatkan pelajar yang tak pantas ikut-ikutan. Kan lebih baik belajar di sekolah atau memperingatinya dengan berbagai kegiatan positif.

Atau merenung bersama seperti apa sudah pendidikan yang didapat di bangku sekolah. Jangan-jangan yang didapat cara agar bisa mendapatkan nilai UN yang tinggi. Tak perduli apapun caranya.

Atau hanya melakukan aksi demo jika tak senang dengan guru di sekolahnya, sehingga terbawa-bawa hingga memperingati Hardiknas pun demo. Sementara di zaman sekarang ini aksi demo dianggap sebagai mengganggu ketentraman masyarakat dan sudah menjemukan. Ya seperti yang dibicarakan oleh teman-teman saya tadi.

Sudahlah, boleh melakukan demo tapi hendaknya melihat tempat dan momennya. Jangan setiap memperingati hari bersejarah diisi dengan demo. Muak juga kita macam tak ada acara yang lain selain demo. (*)

 

Faliruddin Lubis
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Sejak pagi tepatnya Rabu 2 Mei, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) saya sengaja keluyuran di jalanan Kota Medan. Setelah jalan sana-jalan sini saya singgah di warkop tempat ngumpul para kuli tinta.

Saat duduk-duduk sambil menikmati makanan dan minuman kawan-kawan wartawan yang baru datang selalu nyeletuk. “Ada demo di sana dalam rangka Hardiknas,” kata teman wartawan.

“Lalap demo. Hari Buruh demo, Hari Pendidikan Nasional demo. Ah, biarin ajalah itu,” celetuk teman w artawan lainnya.
Teman wartawan yang duduk di sebelah saya pun ngoceh tak karuan. “Emang sekarang ini gila demo. Sebentar-bentar demo. Jenuh juga kita melihatnya. Udahlah biarin ajalah begitu,” sambung teman wartawan lainnya.

Tak berselang lama, teman wartawan yang baru tiba pun ngoceh soal demo. “Itu di kantor Gubsu anak sekolah demo,” katanya.
Kawan yang lain langsung serentak menjawab,” Apapula anak sekolah demo. Udah belajar aja yang bagus kok demo.”
Intinya, ternyata teman-teman memang sudah muak dengan demo yang selalu mereka hadapi.

Apalagi demo sekarang ini tak pandang hari. Sampai-sampai Hari Pendidikan Nasional pun diwarnai aksi demo. Berbagai tuntutan elemen yang mengaku peduli dengan pendidikan menyampaikan tuntutannya mulai dari penolakan UN dijadikannya sebagai standar kelulusan, mendesak realisasi minimal 20 persen anggaran untuk pendidikan, menyelenggarakan pendidikan murah yang berkualitas dan peningkatan sarana pendidikan, menolak komersialisasi pendidikan yang dilakukan para pemangku kebijakan, hingga mengusut Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang banyak diselewengkan.

Tapi, tetap saja tak digubris.Permainan nilai menuju sekolah favorit tetap saja berlangsung dari tahun ke tahun. Jadi apa gunanya demo.
Apalagi demo kemarin melibatkan pelajar yang tak pantas ikut-ikutan. Kan lebih baik belajar di sekolah atau memperingatinya dengan berbagai kegiatan positif.

Atau merenung bersama seperti apa sudah pendidikan yang didapat di bangku sekolah. Jangan-jangan yang didapat cara agar bisa mendapatkan nilai UN yang tinggi. Tak perduli apapun caranya.

Atau hanya melakukan aksi demo jika tak senang dengan guru di sekolahnya, sehingga terbawa-bawa hingga memperingati Hardiknas pun demo. Sementara di zaman sekarang ini aksi demo dianggap sebagai mengganggu ketentraman masyarakat dan sudah menjemukan. Ya seperti yang dibicarakan oleh teman-teman saya tadi.

Sudahlah, boleh melakukan demo tapi hendaknya melihat tempat dan momennya. Jangan setiap memperingati hari bersejarah diisi dengan demo. Muak juga kita macam tak ada acara yang lain selain demo. (*)

 

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/