25.6 C
Medan
Tuesday, May 14, 2024

Overreact News

Karena saya di industri media, tentu saja mengecek ke teman-teman redaksi saya. Benarkah itu? Ternyata memang ternyata fake news alias hoax.

Ya saya hanya bisa bilang khas orang Jawa: ”Ealah…,” lalu geleng-geleng kepala.

Tapi saya sadar, teman saya yang seharusnya pintar itu ikut terpancing, berlanjut menghebohkan dan meramaikan sesuatu yang palsu itu. Jadi, dia mendapatkan fake news, lalu menyebarkan overreact news.

Saya sering diminta menulis atau berkomentar soal fake news ini. Sebagai orang media, saya sering ditanya sampai kapan fenomena ini akan berjalan.

Ya tidak ada jawaban pastinya.

Sampai kapan? Ya sampai orang-orang menjadi lebih pintar.

Kami yang ada di media ”beneran” aja belum tentu sempurna, walau selalu berupaya menyuguhkan sesuatu yang benar-benar ada kredibilitasnya.

Media ”beneran” telah melewati proses panjang, kadang sampai puluhan tahun, untuk mencapai kepercayaan, posisi, dan status seperti sekarang. Sudah melewati banyak ujian, banyak kelokan, dan banyak cobaan.

Media-media baru itu, berniat beneran atau dibuat untuk niat jahat, nantinya akan menjalani proses seleksi alam yang sama.

Lagi pula, saya percaya orang-orang pasti akan menjalani proses menuju lebih kritis dan pintar pula. Baik mereka yang seharusnya sudah pintar maupun yang mungkin memang tidak pintar.

Lama-lama mereka juga pasti tidak betah setiap hari membaca dan menyebarkan sesuatu yang menimbulkan amarah dan kebencian.

Emangnya enak setiap hari harus mengernyitkan dahi setiap membaca berita? Emangnya enak setiap hari merasakan amarah di dada? Dan emangnya enak selalu mengajak orang lain ikut mengernyitkan dahi dan merasakan marah?

Kan hidup kita perlu variasi. Hari ini tertawa, besok tersenyum, lalu sedih, lalu kecewa, lalu terharu bahagia, dan kadang-kadang mengernyitkan dahi atau tepok jidat! (*)

Karena saya di industri media, tentu saja mengecek ke teman-teman redaksi saya. Benarkah itu? Ternyata memang ternyata fake news alias hoax.

Ya saya hanya bisa bilang khas orang Jawa: ”Ealah…,” lalu geleng-geleng kepala.

Tapi saya sadar, teman saya yang seharusnya pintar itu ikut terpancing, berlanjut menghebohkan dan meramaikan sesuatu yang palsu itu. Jadi, dia mendapatkan fake news, lalu menyebarkan overreact news.

Saya sering diminta menulis atau berkomentar soal fake news ini. Sebagai orang media, saya sering ditanya sampai kapan fenomena ini akan berjalan.

Ya tidak ada jawaban pastinya.

Sampai kapan? Ya sampai orang-orang menjadi lebih pintar.

Kami yang ada di media ”beneran” aja belum tentu sempurna, walau selalu berupaya menyuguhkan sesuatu yang benar-benar ada kredibilitasnya.

Media ”beneran” telah melewati proses panjang, kadang sampai puluhan tahun, untuk mencapai kepercayaan, posisi, dan status seperti sekarang. Sudah melewati banyak ujian, banyak kelokan, dan banyak cobaan.

Media-media baru itu, berniat beneran atau dibuat untuk niat jahat, nantinya akan menjalani proses seleksi alam yang sama.

Lagi pula, saya percaya orang-orang pasti akan menjalani proses menuju lebih kritis dan pintar pula. Baik mereka yang seharusnya sudah pintar maupun yang mungkin memang tidak pintar.

Lama-lama mereka juga pasti tidak betah setiap hari membaca dan menyebarkan sesuatu yang menimbulkan amarah dan kebencian.

Emangnya enak setiap hari harus mengernyitkan dahi setiap membaca berita? Emangnya enak setiap hari merasakan amarah di dada? Dan emangnya enak selalu mengajak orang lain ikut mengernyitkan dahi dan merasakan marah?

Kan hidup kita perlu variasi. Hari ini tertawa, besok tersenyum, lalu sedih, lalu kecewa, lalu terharu bahagia, dan kadang-kadang mengernyitkan dahi atau tepok jidat! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/