31.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Bucket List

Tanda-tanda tua, menurut saya, adalah ketika kita mulai sering menatap ke belakang. Padahal, banyak orang yang lebih tua bilang, masih banyak yang bisa diraih atau dilakukan di depan.

Dan terus terang, bucket list itu mungkin lebih sering dibuat orang-orang yang usianya di atas saya. Mereka memastikan daftar itu dibuat supaya bisa dikejar untuk diwujudkan sebelum hidupnya berakhir.

Mungkin saya sudah mulai ke sana. Karena sekarang saya punya bucket list beneran!

Saya tidak akan menceritakan apa saja dalam daftar itu. Beberapa sedang dalam proses pengerjaan dan semoga segera bisa Anda semua saksikan atau rasakan.

Tapi, untuk kepuasan pribadi, saya sudah mulai menuntaskan bucket list itu dalam beberapa tahun terakhir.

Kalau dulu saat getol F1 atau basket adalah nonton di negara atau stadion mana, belakangan saya punya daftar gunung/tanjakan yang ingin dilewati dengan naik sepeda balap.

Seperti kata Dalai Lama, ”Setiap tahun, pergilah ke suatu tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya.”

Daftar paling utama, yang sudah saya planning dan booking sejak setahun lalu, adalah melewati salah satu tanjakan paling legendaris di dunia: Passo dello Stelvio di perbatasan Italia dan Swiss. Puncak yang dikenal sebagai puncak ”tiga bahasa”. Sebab, di puncak itu tiga bahasa ”bertemu”: Italia, Jerman, dan Rumania.

Dan saya ingin berada di puncak tanjakan di ketinggian 2.758 meter itu pada 4 Juli 2017. Di hari ulang tahun ke-40.

Kolom ini ditulis pada 3 Juli 2017, di Kota Bormio, di kaki tanjakan Stelvio. Saya di sini ditemani istri, adik, ipar, dan para sahabat. Semua akan mencoba ikut merasakan siksaan terhebat dalam bersepeda. Menanjak Stelvio dari dua sisi. Naik 20 km dari Bormio, turun ke Swiss, masuk lagi ke Italia, lalu menanjak lagi 24 km dari sisi yang berbeda.

Totalnya hampir 100 km, menanjak total lebih dari 3.000 meter.

Sakit? Pasti. Kaki akan berteriak, jantung dan paru-paru akan merengek, serta pikiran dipenuhi godaan untuk berhenti dan menyerah.

Salah seorang teman saya selalu bercanda soal obsesi menanjak ini. Katanya, ini karena saya ingin selalu naik setinggi mungkin supaya semakin dekat dengan Tuhan.

Wkwkwkwkwkwk…

Entahlah.

Tanda-tanda tua, menurut saya, adalah ketika kita mulai sering menatap ke belakang. Padahal, banyak orang yang lebih tua bilang, masih banyak yang bisa diraih atau dilakukan di depan.

Dan terus terang, bucket list itu mungkin lebih sering dibuat orang-orang yang usianya di atas saya. Mereka memastikan daftar itu dibuat supaya bisa dikejar untuk diwujudkan sebelum hidupnya berakhir.

Mungkin saya sudah mulai ke sana. Karena sekarang saya punya bucket list beneran!

Saya tidak akan menceritakan apa saja dalam daftar itu. Beberapa sedang dalam proses pengerjaan dan semoga segera bisa Anda semua saksikan atau rasakan.

Tapi, untuk kepuasan pribadi, saya sudah mulai menuntaskan bucket list itu dalam beberapa tahun terakhir.

Kalau dulu saat getol F1 atau basket adalah nonton di negara atau stadion mana, belakangan saya punya daftar gunung/tanjakan yang ingin dilewati dengan naik sepeda balap.

Seperti kata Dalai Lama, ”Setiap tahun, pergilah ke suatu tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya.”

Daftar paling utama, yang sudah saya planning dan booking sejak setahun lalu, adalah melewati salah satu tanjakan paling legendaris di dunia: Passo dello Stelvio di perbatasan Italia dan Swiss. Puncak yang dikenal sebagai puncak ”tiga bahasa”. Sebab, di puncak itu tiga bahasa ”bertemu”: Italia, Jerman, dan Rumania.

Dan saya ingin berada di puncak tanjakan di ketinggian 2.758 meter itu pada 4 Juli 2017. Di hari ulang tahun ke-40.

Kolom ini ditulis pada 3 Juli 2017, di Kota Bormio, di kaki tanjakan Stelvio. Saya di sini ditemani istri, adik, ipar, dan para sahabat. Semua akan mencoba ikut merasakan siksaan terhebat dalam bersepeda. Menanjak Stelvio dari dua sisi. Naik 20 km dari Bormio, turun ke Swiss, masuk lagi ke Italia, lalu menanjak lagi 24 km dari sisi yang berbeda.

Totalnya hampir 100 km, menanjak total lebih dari 3.000 meter.

Sakit? Pasti. Kaki akan berteriak, jantung dan paru-paru akan merengek, serta pikiran dipenuhi godaan untuk berhenti dan menyerah.

Salah seorang teman saya selalu bercanda soal obsesi menanjak ini. Katanya, ini karena saya ingin selalu naik setinggi mungkin supaya semakin dekat dengan Tuhan.

Wkwkwkwkwkwk…

Entahlah.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/