26 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Mencurigai Rekening Gendut Legislator

Rilis tahunan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2012 soal transaksi mencurigakan anggota DPR cukup mencengangkan. Dari riset tipologi dan pencucian uang, PPATK mencatat jabatan yang paling terindikasi dugaan korupsi adalah anggota DPR periode 2009–2014. Persentasenya mencapai 42,71 persen.

Dari analisis riset tersebut, para pihak yang terlibat dalam transaksi mencurigakan dengan DPR adalah pihak swasta (37 persen), anak anggota DPR (8,7 persen), dan PNS (8 persen). Banyak di antara wakil rakyat itu yang menggunakan rekening rupiah, tunai, dan polis asuransi untuk menyamarkan uang hasil korupsi.

PPATK mencatat 35 modus yang digunakan para anggota dewan dalam korupsi dan pencucian uang. Modus paling dominan adalah transaksi tunai dan setoran tunai. Data PPATK itu makin menambah perilaku buruk anggota DPR. Mereka tidak bisa menunjukkan diri sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya. Sebagian anggota DPR tidak kapok untuk memanfaatkan posisi terhormat tersebut untuk kepentingan lain.

Padahal, sudah banyak anggota DPR yang terjerat kasus pidana dan disidangkan di Pengadilan Tipikor. Sebut saja dalam kasus mantan anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, dan kasus suap pengadaan mushaf Alquran tersangka Zulkarnaen Djabbar.

Selain untuk kepentingan pribadi, perilaku buruk anggota DPR tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan parpol. Seperti diketahui, parpol mengandalkan sumber keuangannya dari iuran anggota DPR. Ini di luar donator pihak luar parpol. Nah, anggota DPR pun berusaha mencari segala cara untuk menutup setoran kepada partainya, termasuk melakukan praktik abu-abu yang acap melanggar perundang-undangan.

Kini perlu dipikirkan untuk jalan keluar nanti. Salah satu solusi adalah memperbaiki sistem pengawasan untuk mengantisipasi terulangnya temuan PPATK tersebut. Caranya, mempraktikkan sistem perekrutan caleg dengan memasukkan syarat keharusan men-declare asal-usul harta dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat ini hanya cara itulah yang dapat dilakukan. Sebab, penjaringan caleg menjelang Pemilu Legislatif menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas anggota DPR nanti. Apalagi sekarang parpol sedang menyusun daftar caleg. Tentu, cara ini butuh keterlibatan pihak lain, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pada sistem perekrutan caleg pada 2004, KPU hanya mensyaratkan para caleg melaporkan LHKPN ke KPK tanpa menjelaskan asal-usul hartanya. Kini KPU harus diajak bekerja sama agar caleg berpartisipasi melakukan pembuktian terbalik terhadap laporan hartanya ke KPK. Selain itu, KPU perlu melakukan pemeriksaan rekam jejak transaksi keuangan para caleg. Tentu, semangat memperbaiki sistem perekrutan caleg itu berpangkal pada niat baik untuk membatasi para penjahat uang negara masuk ke pentas politik.

Rakyat butuh wakilnya yang benar-benar terjaga integritasnya. Rakyat semakin pintar dan semakin melek politik. Mereka yang terlibat korupsi selama menjadi “wakil rakyat”, pasti diingat oleh rakyat dan hukuman paling setimpal adalah tidak memilih lagi para politisi busuk tersebut yang hanya bisa mengerat uang negara yang notabene berasal dari pajak rakyat.

Namun, jika para politisi busuk tersebut nanti akhirnya tetap terpilih dan melenggang mewakil rakyat, entah sudah seperti apa moral masyarakat kita. Sekali lagi, masyarakat sudah semakin melek politik dan melek hukum, maka jangan sekali-kali mengkhianati kepercayaan rakyat jika masih ingin menjadi wakil mereka. (*)

Rilis tahunan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2012 soal transaksi mencurigakan anggota DPR cukup mencengangkan. Dari riset tipologi dan pencucian uang, PPATK mencatat jabatan yang paling terindikasi dugaan korupsi adalah anggota DPR periode 2009–2014. Persentasenya mencapai 42,71 persen.

Dari analisis riset tersebut, para pihak yang terlibat dalam transaksi mencurigakan dengan DPR adalah pihak swasta (37 persen), anak anggota DPR (8,7 persen), dan PNS (8 persen). Banyak di antara wakil rakyat itu yang menggunakan rekening rupiah, tunai, dan polis asuransi untuk menyamarkan uang hasil korupsi.

PPATK mencatat 35 modus yang digunakan para anggota dewan dalam korupsi dan pencucian uang. Modus paling dominan adalah transaksi tunai dan setoran tunai. Data PPATK itu makin menambah perilaku buruk anggota DPR. Mereka tidak bisa menunjukkan diri sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya. Sebagian anggota DPR tidak kapok untuk memanfaatkan posisi terhormat tersebut untuk kepentingan lain.

Padahal, sudah banyak anggota DPR yang terjerat kasus pidana dan disidangkan di Pengadilan Tipikor. Sebut saja dalam kasus mantan anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, dan kasus suap pengadaan mushaf Alquran tersangka Zulkarnaen Djabbar.

Selain untuk kepentingan pribadi, perilaku buruk anggota DPR tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan parpol. Seperti diketahui, parpol mengandalkan sumber keuangannya dari iuran anggota DPR. Ini di luar donator pihak luar parpol. Nah, anggota DPR pun berusaha mencari segala cara untuk menutup setoran kepada partainya, termasuk melakukan praktik abu-abu yang acap melanggar perundang-undangan.

Kini perlu dipikirkan untuk jalan keluar nanti. Salah satu solusi adalah memperbaiki sistem pengawasan untuk mengantisipasi terulangnya temuan PPATK tersebut. Caranya, mempraktikkan sistem perekrutan caleg dengan memasukkan syarat keharusan men-declare asal-usul harta dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat ini hanya cara itulah yang dapat dilakukan. Sebab, penjaringan caleg menjelang Pemilu Legislatif menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas anggota DPR nanti. Apalagi sekarang parpol sedang menyusun daftar caleg. Tentu, cara ini butuh keterlibatan pihak lain, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pada sistem perekrutan caleg pada 2004, KPU hanya mensyaratkan para caleg melaporkan LHKPN ke KPK tanpa menjelaskan asal-usul hartanya. Kini KPU harus diajak bekerja sama agar caleg berpartisipasi melakukan pembuktian terbalik terhadap laporan hartanya ke KPK. Selain itu, KPU perlu melakukan pemeriksaan rekam jejak transaksi keuangan para caleg. Tentu, semangat memperbaiki sistem perekrutan caleg itu berpangkal pada niat baik untuk membatasi para penjahat uang negara masuk ke pentas politik.

Rakyat butuh wakilnya yang benar-benar terjaga integritasnya. Rakyat semakin pintar dan semakin melek politik. Mereka yang terlibat korupsi selama menjadi “wakil rakyat”, pasti diingat oleh rakyat dan hukuman paling setimpal adalah tidak memilih lagi para politisi busuk tersebut yang hanya bisa mengerat uang negara yang notabene berasal dari pajak rakyat.

Namun, jika para politisi busuk tersebut nanti akhirnya tetap terpilih dan melenggang mewakil rakyat, entah sudah seperti apa moral masyarakat kita. Sekali lagi, masyarakat sudah semakin melek politik dan melek hukum, maka jangan sekali-kali mengkhianati kepercayaan rakyat jika masih ingin menjadi wakil mereka. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru