26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pelayan Level Read and React

Kejadiannya, waktu itu saya pesan nasi goreng Jawa. Setelah menunggu agak lama, lha kok nasi goreng itu malah diberikan kepada orang yang justru baru saja duduk, yang kebetulan pesan menu sama.

Karena sedang lapar, ya sempat marah juga. Dan saya putuskan tidak makan di sana selama tiga bulan. Pindah ke tempat lain. Padahal setiap Selasa dan Kamis kami sering makan di sana setelah latihan sepeda pagi hari. Setiap kali makan kelompok kami memberi kontribusi sekitar Rp 200-300 ribu.

Dalam tiga bulan, itu berarti penghasilan depot soto dan nasi goreng itu berkurang minimal Rp 4.800.000. Tidak banyak sih, tapi loss revenue ya tetap loss revenue.

Level kedua, level robot, bisa dialami di restoran yang bersifat waralaba. Untuk memastikan pelayanan yang sestandar mungkin, pelayannya dipaksa untuk menghafalkan ucapan-ucapan tertentu untuk menimpali pesanan atau pertanyaan customer.

Kadang-kadang terasa berlebihan sekali. Terasa kalau itu sebuah hafalan, bukan pemikiran murni sang pelayan.

Misalnya di sebuah restoran pizza, sang pelayan langsung seperti mengikuti aturan ucapan, menyebutkan opsi dan menu-menu. Seperti anak SD zaman dulu waktu ujian menghafalkan Pancasila di depan kelas.

Lalu, setelah kami memesan sesuatu, pelayannya langsung menimpali: “Itu pilihan yang tepat”.

Lha terus yang tidak tepat apa?

Belum lagi kalau ucapan itu diikuti dengan standar gerakan tertentu, seperti menempelkan kedua tangan dan menekukkan lutut.

Susahnya jadi pelayan di tempat seperti itu, seperti harus menghafalkan undang-undang dan ikut pelajaran baris-berbaris.

Aman? Mungkin ya. Tapi jadi kurang ”hangat” dan rasanya kok tidak natural ya?

Level tertinggi, yang paling saya kagumi dan sulit dicapai, adalah level read and react.

Istilahnya saya pinjam dari permainan basket. Sama seperti jadi pelayan, strategi basket itu menurut saya juga tiga level. Yang pertama tanpa sistem alias ngawur semaunya. Yang kedua level robot di mana harus menuruti setiap set play yang ditentukan. Dan yang ketiga level read and react.

Di level read and react, pemain dituntut untuk memahami penuh semua set play atau sistem yang ditetapkan pelatih. Tapi tidak wajib menurutinya secara utuh. Kalau situasi berubah, lawan melakukan penyesuaian, sang pemain secara instan harus ikut menyesuaikan tapi masih dalam sistem yang ditentukan pelatih.

Read dulu, baca reaksi lawan, lalu react alias menyesuaikan.

Kejadiannya, waktu itu saya pesan nasi goreng Jawa. Setelah menunggu agak lama, lha kok nasi goreng itu malah diberikan kepada orang yang justru baru saja duduk, yang kebetulan pesan menu sama.

Karena sedang lapar, ya sempat marah juga. Dan saya putuskan tidak makan di sana selama tiga bulan. Pindah ke tempat lain. Padahal setiap Selasa dan Kamis kami sering makan di sana setelah latihan sepeda pagi hari. Setiap kali makan kelompok kami memberi kontribusi sekitar Rp 200-300 ribu.

Dalam tiga bulan, itu berarti penghasilan depot soto dan nasi goreng itu berkurang minimal Rp 4.800.000. Tidak banyak sih, tapi loss revenue ya tetap loss revenue.

Level kedua, level robot, bisa dialami di restoran yang bersifat waralaba. Untuk memastikan pelayanan yang sestandar mungkin, pelayannya dipaksa untuk menghafalkan ucapan-ucapan tertentu untuk menimpali pesanan atau pertanyaan customer.

Kadang-kadang terasa berlebihan sekali. Terasa kalau itu sebuah hafalan, bukan pemikiran murni sang pelayan.

Misalnya di sebuah restoran pizza, sang pelayan langsung seperti mengikuti aturan ucapan, menyebutkan opsi dan menu-menu. Seperti anak SD zaman dulu waktu ujian menghafalkan Pancasila di depan kelas.

Lalu, setelah kami memesan sesuatu, pelayannya langsung menimpali: “Itu pilihan yang tepat”.

Lha terus yang tidak tepat apa?

Belum lagi kalau ucapan itu diikuti dengan standar gerakan tertentu, seperti menempelkan kedua tangan dan menekukkan lutut.

Susahnya jadi pelayan di tempat seperti itu, seperti harus menghafalkan undang-undang dan ikut pelajaran baris-berbaris.

Aman? Mungkin ya. Tapi jadi kurang ”hangat” dan rasanya kok tidak natural ya?

Level tertinggi, yang paling saya kagumi dan sulit dicapai, adalah level read and react.

Istilahnya saya pinjam dari permainan basket. Sama seperti jadi pelayan, strategi basket itu menurut saya juga tiga level. Yang pertama tanpa sistem alias ngawur semaunya. Yang kedua level robot di mana harus menuruti setiap set play yang ditentukan. Dan yang ketiga level read and react.

Di level read and react, pemain dituntut untuk memahami penuh semua set play atau sistem yang ditetapkan pelatih. Tapi tidak wajib menurutinya secara utuh. Kalau situasi berubah, lawan melakukan penyesuaian, sang pemain secara instan harus ikut menyesuaikan tapi masih dalam sistem yang ditentukan pelatih.

Read dulu, baca reaksi lawan, lalu react alias menyesuaikan.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/