31.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Usia 34 Terlalu Tua

Azrul Ananda

Saya bertemu seorang CEO media seru di rapat komite media Asia-Pasifik di Singapura baru-baru ini. Umurnya masih 34 tahun, tapi dia sudah merasa terlalu tua!

***

Waktu memang berjalan cepat.

Tidak terasa, sudah sekitar delapan tahun saya jadi anggota komite Asia-Pasifik di WAN-IFRA, asosiasi penerbit dunia. Hampir setiap tahun saya bertemu dengan bos-bos media se-Asia-Pasifik, bahkan sedunia.

Tidak terasa, saya sudah bukan lagi anggota termuda. Dulu, saat masih berusia sekitar 32 tahun, saya merupakan anggota termuda komite. Bahkan mungkin yang paling muda yang pernah diminta bergabung.

Dan itu berarti orang-orang lain di komite pun terus bertambah usia. Bahkan, ada yang sudah jadi ”professional golfer” alias pensiun, ada yang sudah tidak lagi menjadi pimpinan di medianya, dan lain sebagainya.

Kami biasanya bertemu dalam kongres tingkat Asia-Pasifik atau tingkat dunia. Bisa setahun tiga kali, minimal sekali. Plus, ada pertemuan-pertemuan khusus.

Dalam setiap acara, selalu ada pembicara-pembicara hebat yang dimunculkan untuk sharing pengalaman perkembangan media masing-masing. Harapannya, bisa menjadi inspirasi atau contoh bagi yang lain.

Kebetulan, saya juga sering diminta, termasuk untuk sharing di tingkat dunia. Saya pernah menerima untuk sharing di India, Austria, dan beberapa negara lain. Tapi juga pernah menolak untuk sharing di Afrika Selatan dan beberapa negara lain (karena jadwal tidak memungkinkan).

Kata mereka, sangat jarang ada orang muda yang bisa bicara soal media. Khususnya media cetak. Kata mereka, saya ini tergolong orang langka dan termasuk tipe maverick (apa pun itu).

Tentu bangga bisa bicara di depan mereka. Paling bangga waktu di Austria, di World Newspaper Congress 2011, di depan seribu pemilik koran sedunia. Atau waktu di Filipina, ketika saya jadi pembicara pertama setelah presiden! Ayah saya termasuk legenda media Indonesia, tapi dia pun tak pernah diminta bicara di tingkat dunia! Hehehe…

Bangga tentu tidak ada artinya jika tidak ada hal nyata yang benar-benar bisa diceritakan.

Pergi ke kongres tingkat apa pun, dengan pembicara siapa pun, belum tentu bisa memberikan jawaban dari segala pertanyaan yang kita miliki. Sebab, sang pembicara hanya punya waktu beberapa menit sampai satu jam untuk sharing.

Bagi saya, yang paling penting adalah saat pertemuan komite itu tadi. Di ruang khusus, hanya diikuti belasan orang, dan waktunya jauh lebih panjang.

Tradisinya, satu per satu anggota komite sharing tentang situasi medianya dan negaranya. Kemudian bisa tukar pikiran. Siapa tahu solusi di India bisa berguna untuk Indonesia. Atau solusi Indonesia cocok untuk Malaysia. Dan begitu seterusnya.

Azrul Ananda

Saya bertemu seorang CEO media seru di rapat komite media Asia-Pasifik di Singapura baru-baru ini. Umurnya masih 34 tahun, tapi dia sudah merasa terlalu tua!

***

Waktu memang berjalan cepat.

Tidak terasa, sudah sekitar delapan tahun saya jadi anggota komite Asia-Pasifik di WAN-IFRA, asosiasi penerbit dunia. Hampir setiap tahun saya bertemu dengan bos-bos media se-Asia-Pasifik, bahkan sedunia.

Tidak terasa, saya sudah bukan lagi anggota termuda. Dulu, saat masih berusia sekitar 32 tahun, saya merupakan anggota termuda komite. Bahkan mungkin yang paling muda yang pernah diminta bergabung.

Dan itu berarti orang-orang lain di komite pun terus bertambah usia. Bahkan, ada yang sudah jadi ”professional golfer” alias pensiun, ada yang sudah tidak lagi menjadi pimpinan di medianya, dan lain sebagainya.

Kami biasanya bertemu dalam kongres tingkat Asia-Pasifik atau tingkat dunia. Bisa setahun tiga kali, minimal sekali. Plus, ada pertemuan-pertemuan khusus.

Dalam setiap acara, selalu ada pembicara-pembicara hebat yang dimunculkan untuk sharing pengalaman perkembangan media masing-masing. Harapannya, bisa menjadi inspirasi atau contoh bagi yang lain.

Kebetulan, saya juga sering diminta, termasuk untuk sharing di tingkat dunia. Saya pernah menerima untuk sharing di India, Austria, dan beberapa negara lain. Tapi juga pernah menolak untuk sharing di Afrika Selatan dan beberapa negara lain (karena jadwal tidak memungkinkan).

Kata mereka, sangat jarang ada orang muda yang bisa bicara soal media. Khususnya media cetak. Kata mereka, saya ini tergolong orang langka dan termasuk tipe maverick (apa pun itu).

Tentu bangga bisa bicara di depan mereka. Paling bangga waktu di Austria, di World Newspaper Congress 2011, di depan seribu pemilik koran sedunia. Atau waktu di Filipina, ketika saya jadi pembicara pertama setelah presiden! Ayah saya termasuk legenda media Indonesia, tapi dia pun tak pernah diminta bicara di tingkat dunia! Hehehe…

Bangga tentu tidak ada artinya jika tidak ada hal nyata yang benar-benar bisa diceritakan.

Pergi ke kongres tingkat apa pun, dengan pembicara siapa pun, belum tentu bisa memberikan jawaban dari segala pertanyaan yang kita miliki. Sebab, sang pembicara hanya punya waktu beberapa menit sampai satu jam untuk sharing.

Bagi saya, yang paling penting adalah saat pertemuan komite itu tadi. Di ruang khusus, hanya diikuti belasan orang, dan waktunya jauh lebih panjang.

Tradisinya, satu per satu anggota komite sharing tentang situasi medianya dan negaranya. Kemudian bisa tukar pikiran. Siapa tahu solusi di India bisa berguna untuk Indonesia. Atau solusi Indonesia cocok untuk Malaysia. Dan begitu seterusnya.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/