30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Full Day Fun, Sistem dan Guru

Mungkin setelah membaca lima paragraf sebelum ini, Anda bingung, lho soal pelajarannya bagaimana?
Hehehe… Terus terang, saya tidak terlalu peduli soal pelajarannya. Mungkin karena saya beruntung dan diberkati, tidak perlu belajar serius untuk dapat nilai baik. Yang penting tidak pernah bolos, hanya absen kalau sakit, dan mengerjakan semua tugas. Beres.

Karena bagi saya, setengah hari atau full day, yang mungkin paling penting adalah kegiatan non pelajarannya. Tidak semua anak suka sekolah, tidak semua anak mudah menerima pelajaran, tapi mereka bisa unggul dalam hal-hal yang non pelajaran. Dan itu baik-baik saja.

Kalau tidak full day, sebisa mungkin sekolah menyediakan program ekstra yang sesuai kesukaan. Kalau sampai full day, ya jangan sampai kegiatan ekstranya diabaikan.

Buat apa belajar matematika terlalu serius kalau sekarang ada berbagai macam software dan kalkulator? Buat apa belajar berbagai keilmuan terlalu jauh dan mendalam kalau sekarang ada Mbah Google dan Om Wikipedia plus Mbak YouTube yang mungkin lebih pintar daripada semua guru?
Full day atau tidak full day, harus bisa full day fun.

Lagi pula, yang paling urgen sekarang mungkin bukanlah sistem pendidikannya. Melainkan kemampuan gurunya.

Saya pernah menyinggung soal itu, entah Happy Wednesday edisi berapa. Bagi orang tua yang kebetulan mampu, mungkin tidak masalah. Bisa membayar sekolah yang mahal dengan guru yang lebih berkualitas atau bahkan dari luar negeri. Atau kalau memang tidak puas, selalu ada opsi mengirimkan anak ke luar negeri.

Tapi, kebanyakan kan tidak bisa seperti itu. Ngeri rasanya melihat kualitas mengajar di kota-kota kecil, apalagi di pedesaan. Ngeri rasanya melihat ada sekolah negeri di mana kepala sekolahnya lebih mengutamakan pembangunan masjid yang megah daripada laboratorium atau fasilitas olahraga yang canggih.

Bisa nggak ya kita tidak memusingkan soal sistem pendidikan, tapi berfokus dalam beberapa tahun ke depan meng-upgrade kemampuan guru berikut kesejahteraannya? Guru yang pintar yang sejahtera kan pilar yang lebih baik daripada sistem apa pun.

Katanya, dulu sistem pendidikan di Indonesia ini lebih baik daripada Malaysia sehingga mereka mengimpor banyak guru dari Indonesia. Nah, sekarang justru kita mengirim banyak anak untuk sekolah di Malaysia, karena katanya di sana kualitas lebih baik.

Saya bahkan sempat berpikir radikal. Bagaimana kalau kita impor saja guru-guru bule sebanyak mungkin, menempatkan mereka di semua sekolah negeri, sebagai benchmark atau alat untuk membantu mengembangkan kemampuan guru-guru kita.

Sambil jalan, manfaatkan uang negara –yang katanya banyak untuk pendidikan itu– benar-benar untuk mengembangkan kemampuan dan wawasan guru. Gunakan untuk menaikkan gaji guru sehingga lebih tinggi daripada pegawai normal di berbagai industri (apa pun pengertian normal itu). Karena guru yang hidupnya sejahtera –atau bahkan lebih makmur dari pekerjaan kebanyakan– bisa punya kemampuan untuk mengembangkan diri sendiri lebih jauh lagi tanpa harus disubsidi.

Nantinya, setelah sekian tahun, ketika kemampuan guru-guru kita jadi lebih baik dan hidupnya lebih sejahtera, baru kita memikirkan what’s next.

Di masa depan (seharusnya masa sekarang), seharusnya sudah tidak ada ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa, Oemar Bakri, dan lain-lain yang menggambarkan bahwa pekerjaan guru itu pekerjaan yang tidak sejahtera.

Mohon maaf apabila tulisan ini menyinggung perasaan. Sekali lagi, saya bukan pakar. Saya hanya orang tua yang khawatir dengan pendidikan anak saya dalam 15 tahun ke depan… (*)

Mungkin setelah membaca lima paragraf sebelum ini, Anda bingung, lho soal pelajarannya bagaimana?
Hehehe… Terus terang, saya tidak terlalu peduli soal pelajarannya. Mungkin karena saya beruntung dan diberkati, tidak perlu belajar serius untuk dapat nilai baik. Yang penting tidak pernah bolos, hanya absen kalau sakit, dan mengerjakan semua tugas. Beres.

Karena bagi saya, setengah hari atau full day, yang mungkin paling penting adalah kegiatan non pelajarannya. Tidak semua anak suka sekolah, tidak semua anak mudah menerima pelajaran, tapi mereka bisa unggul dalam hal-hal yang non pelajaran. Dan itu baik-baik saja.

Kalau tidak full day, sebisa mungkin sekolah menyediakan program ekstra yang sesuai kesukaan. Kalau sampai full day, ya jangan sampai kegiatan ekstranya diabaikan.

Buat apa belajar matematika terlalu serius kalau sekarang ada berbagai macam software dan kalkulator? Buat apa belajar berbagai keilmuan terlalu jauh dan mendalam kalau sekarang ada Mbah Google dan Om Wikipedia plus Mbak YouTube yang mungkin lebih pintar daripada semua guru?
Full day atau tidak full day, harus bisa full day fun.

Lagi pula, yang paling urgen sekarang mungkin bukanlah sistem pendidikannya. Melainkan kemampuan gurunya.

Saya pernah menyinggung soal itu, entah Happy Wednesday edisi berapa. Bagi orang tua yang kebetulan mampu, mungkin tidak masalah. Bisa membayar sekolah yang mahal dengan guru yang lebih berkualitas atau bahkan dari luar negeri. Atau kalau memang tidak puas, selalu ada opsi mengirimkan anak ke luar negeri.

Tapi, kebanyakan kan tidak bisa seperti itu. Ngeri rasanya melihat kualitas mengajar di kota-kota kecil, apalagi di pedesaan. Ngeri rasanya melihat ada sekolah negeri di mana kepala sekolahnya lebih mengutamakan pembangunan masjid yang megah daripada laboratorium atau fasilitas olahraga yang canggih.

Bisa nggak ya kita tidak memusingkan soal sistem pendidikan, tapi berfokus dalam beberapa tahun ke depan meng-upgrade kemampuan guru berikut kesejahteraannya? Guru yang pintar yang sejahtera kan pilar yang lebih baik daripada sistem apa pun.

Katanya, dulu sistem pendidikan di Indonesia ini lebih baik daripada Malaysia sehingga mereka mengimpor banyak guru dari Indonesia. Nah, sekarang justru kita mengirim banyak anak untuk sekolah di Malaysia, karena katanya di sana kualitas lebih baik.

Saya bahkan sempat berpikir radikal. Bagaimana kalau kita impor saja guru-guru bule sebanyak mungkin, menempatkan mereka di semua sekolah negeri, sebagai benchmark atau alat untuk membantu mengembangkan kemampuan guru-guru kita.

Sambil jalan, manfaatkan uang negara –yang katanya banyak untuk pendidikan itu– benar-benar untuk mengembangkan kemampuan dan wawasan guru. Gunakan untuk menaikkan gaji guru sehingga lebih tinggi daripada pegawai normal di berbagai industri (apa pun pengertian normal itu). Karena guru yang hidupnya sejahtera –atau bahkan lebih makmur dari pekerjaan kebanyakan– bisa punya kemampuan untuk mengembangkan diri sendiri lebih jauh lagi tanpa harus disubsidi.

Nantinya, setelah sekian tahun, ketika kemampuan guru-guru kita jadi lebih baik dan hidupnya lebih sejahtera, baru kita memikirkan what’s next.

Di masa depan (seharusnya masa sekarang), seharusnya sudah tidak ada ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa, Oemar Bakri, dan lain-lain yang menggambarkan bahwa pekerjaan guru itu pekerjaan yang tidak sejahtera.

Mohon maaf apabila tulisan ini menyinggung perasaan. Sekali lagi, saya bukan pakar. Saya hanya orang tua yang khawatir dengan pendidikan anak saya dalam 15 tahun ke depan… (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/