26.7 C
Medan
Sunday, May 26, 2024

Hidup Taksi Mongolia!

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Orang ribut kendaraan umum standar atau beraplikasi. Padahal, semua masih kalah gampang kalau dibandingkan dengan di Mongolia yang jauh lebih terbelakang.

***

Mongolia membuktikan, tidak perlu ada taksi resmi, taksi beraplikasi, atau apalah sebutannya atau pola kerjanya.

Berkelompok lebih dari empat orang? Bukan masalah, sering tidak perlu cari lebih dari satu taksi.

Ingin pindah-pindah tempat dengan segera? Solusinya bisa lebih cepat daripada ojek. Bahkan tidak perlu menunggu sampai bermenit-menit.

Tidak perlu ribut soal kualitas pelayanan. Tidak perlu diskusi panjang soal mass rapid transit. Tidak butuh MRT. Tidak perlu menunggu jadwal yang akurat sampai hitungan detik seperti di Jepang. Tidak perlu bingung berdiri di kiri atau kanan jalan.

Mau ke mana saja? Cepat dapat transportasinya. Cepat mencapai tujuannya.

Plus, tidak ada pertanyaan paling menyebalkan yang selalu disampaikan sopir taksi setiap kali kita masuk ke dalamnya, ”Mau lewat mana, Pak?”

Oh ya, satu lagi. Dan ini paling penting: Relatif tidak mahal!

Ya. Itu semua bisa didapatkan di Mongolia.

Saya tidak salah ketik: M-O-N-G-O-L-I-A.

Di negara yang seharusnya jauh lebih terbelakang daripada Indonesia.

 

***

 

Flash back dulu ke 2012.

Waktu itu saya bertanggung jawab (CEO/manager) atas tim nasional basket muda Indonesia (U-18) yang lolos mengikuti kejuaraan FIBA Asia untuk kali pertama dalam 17 tahun.

Nasib kami tahun itu memang begitu itu. Lolos saat kejuaraan Asia tersebut diselenggarakan di Mongolia. Dengan harga tiket pesawat per orang yang lebih mahal daripada ke Amerika atau Eropa. Dan kemudian dapat jatah menginap di hotel yang tidak ber-AC (bersama tim-tim dari negara lain).

Di Ulan Bator, ibu kota yang waktu itu tidak punya mal. Dan sama sekali tidak ada McDonald’s (menurut saya dan banyak orang sebagai alat ukur modern atau tidak).

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Orang ribut kendaraan umum standar atau beraplikasi. Padahal, semua masih kalah gampang kalau dibandingkan dengan di Mongolia yang jauh lebih terbelakang.

***

Mongolia membuktikan, tidak perlu ada taksi resmi, taksi beraplikasi, atau apalah sebutannya atau pola kerjanya.

Berkelompok lebih dari empat orang? Bukan masalah, sering tidak perlu cari lebih dari satu taksi.

Ingin pindah-pindah tempat dengan segera? Solusinya bisa lebih cepat daripada ojek. Bahkan tidak perlu menunggu sampai bermenit-menit.

Tidak perlu ribut soal kualitas pelayanan. Tidak perlu diskusi panjang soal mass rapid transit. Tidak butuh MRT. Tidak perlu menunggu jadwal yang akurat sampai hitungan detik seperti di Jepang. Tidak perlu bingung berdiri di kiri atau kanan jalan.

Mau ke mana saja? Cepat dapat transportasinya. Cepat mencapai tujuannya.

Plus, tidak ada pertanyaan paling menyebalkan yang selalu disampaikan sopir taksi setiap kali kita masuk ke dalamnya, ”Mau lewat mana, Pak?”

Oh ya, satu lagi. Dan ini paling penting: Relatif tidak mahal!

Ya. Itu semua bisa didapatkan di Mongolia.

Saya tidak salah ketik: M-O-N-G-O-L-I-A.

Di negara yang seharusnya jauh lebih terbelakang daripada Indonesia.

 

***

 

Flash back dulu ke 2012.

Waktu itu saya bertanggung jawab (CEO/manager) atas tim nasional basket muda Indonesia (U-18) yang lolos mengikuti kejuaraan FIBA Asia untuk kali pertama dalam 17 tahun.

Nasib kami tahun itu memang begitu itu. Lolos saat kejuaraan Asia tersebut diselenggarakan di Mongolia. Dengan harga tiket pesawat per orang yang lebih mahal daripada ke Amerika atau Eropa. Dan kemudian dapat jatah menginap di hotel yang tidak ber-AC (bersama tim-tim dari negara lain).

Di Ulan Bator, ibu kota yang waktu itu tidak punya mal. Dan sama sekali tidak ada McDonald’s (menurut saya dan banyak orang sebagai alat ukur modern atau tidak).

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/