28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Sertifikasi

Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) tiba-tiba mencuatkan ide sertifikasi bagi ulama. Mereka menganggap, dengan sertifikasi maka pemerintah dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi.

Ide ini langsung menuai kritik. Menolak. MUI Medan bahkan menganjurkan BNPT untuk lebih banyak belajar tentang apa itu ulama. Kata M Hatta, sang ketua MUI Medan, ulama itu berbeda dengan orang-orang yang bergerak di bidang profesional seperti guru dan dokter. Ulama lebih mengarah pada gelar yang diberikan oleh masyarakat yang merupakan buah dari pengetahuan agama yang dimiliki seseorang. Tidak itu saja, pengaplikasian ilmu agama yang dimiliki seseorang terhadap kehidupan bermasyarakat pun menjadi poin penting dalam pemberian gelar itu. Jadi, tidak ada peran pemerintah untuk kasus itu. Sekali lagi, kata Hatta, ulama jelas berbeda dengan guru dan dokter!

Polemik ini mengingatkan saya dengan kehidupan para seniman. Seperti ulama, seniman adalah sebuatan yang diberikan masyarakat untuk orang yang berkarya seni. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan seniman karena dia berkarya; meski kemudian bisa dipetakan atau distandarkan karya yang seperti apa. Misalnya, puisi untuk penyair, novelis untuk novel, pelukis untuk lukisan, dan sebagainya. Bedanya, hingga kini belum ada yang mencetuskan ide untuk sertifikasi seniman.

Berkaca pada negara tetangga, Malaysia, soal seniman telah diatur sedemikian rupa. Maka, ada sebuatan seniman negara. Seniman negara ini adalah seniman yang diakui negara dan mendapat penghasilan dari negara untuk terus berkarya. Masalahnya, batasan apa yang bisa dijadikan acuan untuk seniman negara tadi? Terserahlah, itu kan urusan Malaysia.

Di Indonesia, soal seniman, memang cenderung terbiarkan. Warga Indonesia dibebaskan untuk berkarya dan menjadi seniman tanpa harus turut campur dari pemerintah. Dengan kata lain, jika ada yang mengaku seniman walau tak pernah berkarya juga bukan masalah. Nah, soal ulama tentunya lebih khusus lagi; dia adalah imam bagi umatnya. Ada standar baku yang tercipta di masing-masing agama dan itu urusannya dengan Tuhan. Jadi, ketika pemerintah ingin turut campur hanya karena untuk mengontrol kegiatan radikal, bukankah itu terlalu berlebihan. Ya, sebagian orang mengatakan hal itu adalah buah dari ketidakmampuan negara dalam mengawasi warganya; buah ketidakmampuan negara untuk mendoktrin warganya menuju jalan yang diinginkan. Ujung-ujungnya, ulama pun dikontrol. Dianggaplah ulama bisa menyebabkan ketidakharmonisan hidup bernegara.

Pertanyaannya, ketika ulama telah disertifikasi, apa yang bisa dilakukan oleh negara? Gaji. Insentif. Tunjangan. Atau, penghasilan lain agar ulama terus beriman dan membawa umatnya ke jalan yang benar sesuai perintah Tuhan?

Mungkin, ketika seniman disertifikasi, dia bisa menjadi corong pemerintah. Dia bisa menghasilkan karya yang memuja pemerintah atau negara tadi. Maka, negara pun bisa memberi penilaian; melanjutkan tunjangan atau gaji si seniman atau tidak. Tapi, untuk ulama? Bisakah pemerintah menilai ulama yang jelas-jelas berhubungan dengan urusan hati, keyakinan, dan ketuhanan? Saya tak yakin dengan standar sertifikasi ulama yang dimaksud BNPT tadi. Bagaimana dengan Anda?

Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) tiba-tiba mencuatkan ide sertifikasi bagi ulama. Mereka menganggap, dengan sertifikasi maka pemerintah dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi.

Ide ini langsung menuai kritik. Menolak. MUI Medan bahkan menganjurkan BNPT untuk lebih banyak belajar tentang apa itu ulama. Kata M Hatta, sang ketua MUI Medan, ulama itu berbeda dengan orang-orang yang bergerak di bidang profesional seperti guru dan dokter. Ulama lebih mengarah pada gelar yang diberikan oleh masyarakat yang merupakan buah dari pengetahuan agama yang dimiliki seseorang. Tidak itu saja, pengaplikasian ilmu agama yang dimiliki seseorang terhadap kehidupan bermasyarakat pun menjadi poin penting dalam pemberian gelar itu. Jadi, tidak ada peran pemerintah untuk kasus itu. Sekali lagi, kata Hatta, ulama jelas berbeda dengan guru dan dokter!

Polemik ini mengingatkan saya dengan kehidupan para seniman. Seperti ulama, seniman adalah sebuatan yang diberikan masyarakat untuk orang yang berkarya seni. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan seniman karena dia berkarya; meski kemudian bisa dipetakan atau distandarkan karya yang seperti apa. Misalnya, puisi untuk penyair, novelis untuk novel, pelukis untuk lukisan, dan sebagainya. Bedanya, hingga kini belum ada yang mencetuskan ide untuk sertifikasi seniman.

Berkaca pada negara tetangga, Malaysia, soal seniman telah diatur sedemikian rupa. Maka, ada sebuatan seniman negara. Seniman negara ini adalah seniman yang diakui negara dan mendapat penghasilan dari negara untuk terus berkarya. Masalahnya, batasan apa yang bisa dijadikan acuan untuk seniman negara tadi? Terserahlah, itu kan urusan Malaysia.

Di Indonesia, soal seniman, memang cenderung terbiarkan. Warga Indonesia dibebaskan untuk berkarya dan menjadi seniman tanpa harus turut campur dari pemerintah. Dengan kata lain, jika ada yang mengaku seniman walau tak pernah berkarya juga bukan masalah. Nah, soal ulama tentunya lebih khusus lagi; dia adalah imam bagi umatnya. Ada standar baku yang tercipta di masing-masing agama dan itu urusannya dengan Tuhan. Jadi, ketika pemerintah ingin turut campur hanya karena untuk mengontrol kegiatan radikal, bukankah itu terlalu berlebihan. Ya, sebagian orang mengatakan hal itu adalah buah dari ketidakmampuan negara dalam mengawasi warganya; buah ketidakmampuan negara untuk mendoktrin warganya menuju jalan yang diinginkan. Ujung-ujungnya, ulama pun dikontrol. Dianggaplah ulama bisa menyebabkan ketidakharmonisan hidup bernegara.

Pertanyaannya, ketika ulama telah disertifikasi, apa yang bisa dilakukan oleh negara? Gaji. Insentif. Tunjangan. Atau, penghasilan lain agar ulama terus beriman dan membawa umatnya ke jalan yang benar sesuai perintah Tuhan?

Mungkin, ketika seniman disertifikasi, dia bisa menjadi corong pemerintah. Dia bisa menghasilkan karya yang memuja pemerintah atau negara tadi. Maka, negara pun bisa memberi penilaian; melanjutkan tunjangan atau gaji si seniman atau tidak. Tapi, untuk ulama? Bisakah pemerintah menilai ulama yang jelas-jelas berhubungan dengan urusan hati, keyakinan, dan ketuhanan? Saya tak yakin dengan standar sertifikasi ulama yang dimaksud BNPT tadi. Bagaimana dengan Anda?

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/