Dari beberapa model itu, saya minta satu desain yang menjadi ”wakil saya”. Oleh teman-teman, diberi nama AZA 5 karena Aza adalah salah satu panggilan saya dan 5 merupakan nomor punggung saya saat berolahraga. Plus, itu merupakan sepatu signature saya yang kelima, setelah empat sebelumnya diproduksi bersama produsen lain.
Warnanya hitam mengilap dengan aksen kuning elegan. Logo tulisan ”DBL” berada di belakang, bersama tanda tangan saya.
Dulu, sepatu edisi Azrul itu disebut sebagai yang paling laris. Bahkan selalu sold out sehingga setiap tahun ada edisi baru. Dan itu, terus terang, membuat saya geleng-geleng kepala. Saya ini bukan pemain basket, tapi kok punya sepatu basket edisi khusus sampai lima seri!
Beberapa hari lalu, Presiden Jokowi sempat mampir ke kantor DBL Indonesia di Surabaya. Dan kami sempat menunjukkan prototipe sepatu itu sambil menjelaskan misi-misinya, bagaimana sepatu itu adalah benar-benar sepatu Indonesia.
Pak Jokowi, rasanya, ikut geleng-geleng kepala. Dia sempat bergumam kepada saya, ”Ya ini yang namanya industri olahraga.”
Bangga? Tentu iya. Tapi, di balik kebanggaan itu ada perasaan yang lebih memuaskan lagi: Bahwa sepatu itu punya misi lebih besar daripada sekadar sepatu basket. Sepatu itu adalah solusi untuk meningkatkan lagi partisipasi basket di Indonesia. Supaya kelak ada ratusan ribu lagi –atau bahkan jutaan lagi– anak bermain basket.
Semoga sepatu itu mengurangi tekanan batin (dan dompet) para orang tua yang anaknya hobi main basket. Semoga semakin banyak anak Indonesia yang bisa merasakan serunya bermain basket dengan benar, merasakan segala manfaatnya.
Semoga sepatu itu juga menginspirasi insan-insan olahraga lain, dalam cabang olahraga apa pun. Bahwa untuk berkembang, kita harus meningkatkan partisipasi. Nantinya, partisipasi itulah yang akan menghasilkan dan membiayai prestasi.
Dan untuk meningkatkan partisipasi, harus ada kemauan, harus ada kerja keras, dan harus ada inovasi! (*)