29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Berubah atau Tidak

Azrul AnandaOleh AZRUL ANANDA

Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa aku ubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, dan kebijakan untuk memahami mana yang bisa dan mana yang tidak bisa.

Seorang sahabat ayah saya pernah menarik tangan saya, ketika beberapa tahun lalu saya “naik” jabatan. Ketika setelah 12 tahun bekerja akhirnya saya dipercaya (atau diperbolehkan?) jadi direktur di Jawa Pos.

Dikenal sebagai orang yang sangat teliti, hati-hati, dan rajin mengingatkan segala hal kepada seluruh anggota keluarga kami, dia “bukan warga Indonesia” hanya ingin menyampaikan satu kutipan.

Ya, kutipan yang saya tulis di bagian paling atas tulisan ini.

Yang aslinya dalam bahasa Inggris begini:

“God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference.”

Dia mengingatkan bahwa sekarang di tangan saya ada kewenangan yang tidak saya miliki sebelumnya. Atau paling tidak, kewenangan yang sebelumnya tidak sebebas yang saya kehendaki.

Dan dia memang seperti paman sendiri di keluarga kami. Ketika tangan saya ditarik itu, mungkin rasanya seperti ketika Uncle Ben-nya Peter Parker alias Spider-Man memberinya pesan hidup terpenting ketika sang superhero masih remaja.

Uncle Ben menyampaikannya di komik, lalu dipopulerkan di film keluaran 2002 yang disutradarai oleh Sam Raimi. Uncle Ben waktu itu bilang, “With great power comes great responsibility.”

Artinya, kekuatan yang besar dibarengi dengan tanggung jawab yang besar pula.

Anyway, ketika diberi pesan oleh “paman” itu, terus terang saya tidak terlalu memusingkannya. Maklum, waktu itu masih lebih muda, masih lebih cuek, masih lebih bosan dinasihati.

Tentu saja, ketika lebih muda, kita lebih tidak punya rasa takut. Kalau ingin berubah, rasanya ingin ubah saja secepatnya. Risiko atau pertentangan biarlah terjadi.

Seperti kata Jerry Seinfeld sang komedian kondang: Kalau muda kita selalu “Ayo! Ayo! Ayo!”, sedangkan ketika tua kita selalu “Jangan! Jangan! Jangan!”.

Seiring dengan waktu, pesan “paman” itu beberapa kali muncul di kepala saya. Dan karena saya termasuk sering baca apa saja, sesekali kutipan itu muncul di bacaan yang saya pegang (Sekali muncul dalam bentuk tato di badan seorang model cantik seksi di majalah, wkwkwkwk).

Dari kutipan itu, yang paling sulit memang “menaklukkan” perasaan untuk harus menerima, untuk harus memaklumi.

Soal berani mengubah, saya rasa dari dulu saya termasuk berani. Soal mengetahui mana yang bisa diubah dan tidak, saya rasa saya juga punya kemampuan lumayan.

Tapi, untuk berani menerima dan memaklumi, ampun dah, rasanya terus terang menyebalkan.

Tentu saja, seiring dengan waktu, saya jadi belajar untuk lebih bisa menerima. Bahwa keputusan ini mau tidak mau, untuk saat itu, memang harus seperti itu. Bahwa orang ini, untuk saat ini, belum bisa seperti yang kita harapkan.

Tapi, bukan berarti saya menerima kutipan itu mentah-mentah. Oke, kita bisa mengubah apa yang bisa kita ubah. Oke, kita harus punya kebijakan untuk mengetahui mana yang bisa diubah dan mana yang tidak.

Tapi, yang tidak bisa kita ubah bukan berarti TIDAK BISA diubah atau berubah. Kadang hanya butuh waktu serta situasi dan kondisi yang tepat untuk akhirnya berubah.

Kalau sudah begitu, ya jangan diubah dulu. Tapi menunggu sampai situasi dan kondisi benar-benar pas untuk mengubahnya. Dan, sambil jalan, kita bekerja untuk menciptakan situasi dan kondisi tersebut”

Tapi lagi, dan ini tapi yang penting: Kalau sesuatu itu memang tidak bisa diubah karena BAIK, ya JANGAN diubah.

***

Pertanyaan ini juga sering saya dapatkan belakangan. “Mas Azrul tertarik politik tidak?”

Pertama, alhamdulillah saya dipanggil “Mas”.

Kedua, saya menjawab, “Tidak.”

Saya rasa, saya seperti kebanyakan anak muda atau orang berpikiran “normal” saat ini: Politik itu menyebalkan, menjijikkan, memuakkan.

Mau terlibat malah direpotkan, tidak terlibat juga kerepotan. Dan mengikuti prinsip orang A akan lekat dengan orang A, sedangkan orang B akan menyukai orang C atau lebih buruk, anggap saja politik kita sekarang seperti itu.

Karena isinya mungkin bukan orang-orang tipe A (minimal orang A-nya dibuat tak berkutik), yang mau masuk dan dipermudah masuk adalah yang tipe B, C, atau bahkan lebih buruk.

Dan lingkaran itu tidak akan putus-putus menunggu situasi khusus (ada pahlawan, ada bencana, masyarakat akhirnya menjadi pintar semua serta mengamuk bersama, atau entah apa).

Lalu, apa kaitannya politik dengan kutipan di awal tulisan ini?

Ha ha ha, entahlah. Tapi, mungkin politisi kita kurang banyak baca. Atau kurang bisa memahami kutipan-kutipan bijak yang banyak bertebaran. Wong menemukannya gampang kok, tinggal lihat status telepon teman-teman atau orang-orang, setiap hari PASTI ada yang pasang kata-kata bijak!

Menemukan dan membaca, kan memang belum tentu memahami dan bisa menerapkan!

Lha bagaimana tidak. Kalau ada perubahan pemerintahan, rasanya kurang membaca kutipan di bagian atas tulisan ini. Atau mungkin tidak memahaminya.

Sudah ada kebijakan baik, malah diubah-ubah jadi tidak pasti.

Kalau ada kebijakan yang ternyata kurang baik, kadang tidak mau diubah (Wani piro?).

Yah, semoga saja generasi-generasi politisi berikutnya lebih sering membaca. Dan lebih penting lagi, lebih bisa memahami apa yang mereka baca.

Bagi yang sudah kasep, mungkin agak susah disuruh baca bacaan yang berat atau kutipan yang sulit mereka pahami.

Kalau susah membaca, ya jangan membaca deh. Percuma. Cuman, tolong nonton Spider-Man ya. Yang keluaran 2002, disutradarai oleh Sam Raimi dan dibintangi Tobey Maguire.

Dari film, kita juga bisa belajar banyak kok. Kecuali mungkin terlalu sering nonton sinetron Indonesia?” (*)

Azrul AnandaOleh AZRUL ANANDA

Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa aku ubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, dan kebijakan untuk memahami mana yang bisa dan mana yang tidak bisa.

Seorang sahabat ayah saya pernah menarik tangan saya, ketika beberapa tahun lalu saya “naik” jabatan. Ketika setelah 12 tahun bekerja akhirnya saya dipercaya (atau diperbolehkan?) jadi direktur di Jawa Pos.

Dikenal sebagai orang yang sangat teliti, hati-hati, dan rajin mengingatkan segala hal kepada seluruh anggota keluarga kami, dia “bukan warga Indonesia” hanya ingin menyampaikan satu kutipan.

Ya, kutipan yang saya tulis di bagian paling atas tulisan ini.

Yang aslinya dalam bahasa Inggris begini:

“God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference.”

Dia mengingatkan bahwa sekarang di tangan saya ada kewenangan yang tidak saya miliki sebelumnya. Atau paling tidak, kewenangan yang sebelumnya tidak sebebas yang saya kehendaki.

Dan dia memang seperti paman sendiri di keluarga kami. Ketika tangan saya ditarik itu, mungkin rasanya seperti ketika Uncle Ben-nya Peter Parker alias Spider-Man memberinya pesan hidup terpenting ketika sang superhero masih remaja.

Uncle Ben menyampaikannya di komik, lalu dipopulerkan di film keluaran 2002 yang disutradarai oleh Sam Raimi. Uncle Ben waktu itu bilang, “With great power comes great responsibility.”

Artinya, kekuatan yang besar dibarengi dengan tanggung jawab yang besar pula.

Anyway, ketika diberi pesan oleh “paman” itu, terus terang saya tidak terlalu memusingkannya. Maklum, waktu itu masih lebih muda, masih lebih cuek, masih lebih bosan dinasihati.

Tentu saja, ketika lebih muda, kita lebih tidak punya rasa takut. Kalau ingin berubah, rasanya ingin ubah saja secepatnya. Risiko atau pertentangan biarlah terjadi.

Seperti kata Jerry Seinfeld sang komedian kondang: Kalau muda kita selalu “Ayo! Ayo! Ayo!”, sedangkan ketika tua kita selalu “Jangan! Jangan! Jangan!”.

Seiring dengan waktu, pesan “paman” itu beberapa kali muncul di kepala saya. Dan karena saya termasuk sering baca apa saja, sesekali kutipan itu muncul di bacaan yang saya pegang (Sekali muncul dalam bentuk tato di badan seorang model cantik seksi di majalah, wkwkwkwk).

Dari kutipan itu, yang paling sulit memang “menaklukkan” perasaan untuk harus menerima, untuk harus memaklumi.

Soal berani mengubah, saya rasa dari dulu saya termasuk berani. Soal mengetahui mana yang bisa diubah dan tidak, saya rasa saya juga punya kemampuan lumayan.

Tapi, untuk berani menerima dan memaklumi, ampun dah, rasanya terus terang menyebalkan.

Tentu saja, seiring dengan waktu, saya jadi belajar untuk lebih bisa menerima. Bahwa keputusan ini mau tidak mau, untuk saat itu, memang harus seperti itu. Bahwa orang ini, untuk saat ini, belum bisa seperti yang kita harapkan.

Tapi, bukan berarti saya menerima kutipan itu mentah-mentah. Oke, kita bisa mengubah apa yang bisa kita ubah. Oke, kita harus punya kebijakan untuk mengetahui mana yang bisa diubah dan mana yang tidak.

Tapi, yang tidak bisa kita ubah bukan berarti TIDAK BISA diubah atau berubah. Kadang hanya butuh waktu serta situasi dan kondisi yang tepat untuk akhirnya berubah.

Kalau sudah begitu, ya jangan diubah dulu. Tapi menunggu sampai situasi dan kondisi benar-benar pas untuk mengubahnya. Dan, sambil jalan, kita bekerja untuk menciptakan situasi dan kondisi tersebut”

Tapi lagi, dan ini tapi yang penting: Kalau sesuatu itu memang tidak bisa diubah karena BAIK, ya JANGAN diubah.

***

Pertanyaan ini juga sering saya dapatkan belakangan. “Mas Azrul tertarik politik tidak?”

Pertama, alhamdulillah saya dipanggil “Mas”.

Kedua, saya menjawab, “Tidak.”

Saya rasa, saya seperti kebanyakan anak muda atau orang berpikiran “normal” saat ini: Politik itu menyebalkan, menjijikkan, memuakkan.

Mau terlibat malah direpotkan, tidak terlibat juga kerepotan. Dan mengikuti prinsip orang A akan lekat dengan orang A, sedangkan orang B akan menyukai orang C atau lebih buruk, anggap saja politik kita sekarang seperti itu.

Karena isinya mungkin bukan orang-orang tipe A (minimal orang A-nya dibuat tak berkutik), yang mau masuk dan dipermudah masuk adalah yang tipe B, C, atau bahkan lebih buruk.

Dan lingkaran itu tidak akan putus-putus menunggu situasi khusus (ada pahlawan, ada bencana, masyarakat akhirnya menjadi pintar semua serta mengamuk bersama, atau entah apa).

Lalu, apa kaitannya politik dengan kutipan di awal tulisan ini?

Ha ha ha, entahlah. Tapi, mungkin politisi kita kurang banyak baca. Atau kurang bisa memahami kutipan-kutipan bijak yang banyak bertebaran. Wong menemukannya gampang kok, tinggal lihat status telepon teman-teman atau orang-orang, setiap hari PASTI ada yang pasang kata-kata bijak!

Menemukan dan membaca, kan memang belum tentu memahami dan bisa menerapkan!

Lha bagaimana tidak. Kalau ada perubahan pemerintahan, rasanya kurang membaca kutipan di bagian atas tulisan ini. Atau mungkin tidak memahaminya.

Sudah ada kebijakan baik, malah diubah-ubah jadi tidak pasti.

Kalau ada kebijakan yang ternyata kurang baik, kadang tidak mau diubah (Wani piro?).

Yah, semoga saja generasi-generasi politisi berikutnya lebih sering membaca. Dan lebih penting lagi, lebih bisa memahami apa yang mereka baca.

Bagi yang sudah kasep, mungkin agak susah disuruh baca bacaan yang berat atau kutipan yang sulit mereka pahami.

Kalau susah membaca, ya jangan membaca deh. Percuma. Cuman, tolong nonton Spider-Man ya. Yang keluaran 2002, disutradarai oleh Sam Raimi dan dibintangi Tobey Maguire.

Dari film, kita juga bisa belajar banyak kok. Kecuali mungkin terlalu sering nonton sinetron Indonesia?” (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/