25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Sekali Lagi, Soal Lapas

Kisah kerusuhan Lapas Tanjunggusta menarik banyak pelajaran berharga. Saya kebetulan punya kesempatan mendengar pengalaman seorang dosen sewaktu kuliah dulu. Dia seorang perempuan, berperawakan tomboy, dan perokok berat. Satu hal yang sulit dilupakan dari setiap jam kuliah adalah kisah hidupnya selama tiga bulan di penjara Salemba. Dia rela tinggal di dalam sel, bergaul dengan para napi sekadar ingin tahu bagaimana kehidupan penjara sesungguhnya.

Perjalanannya ‘masuk’ sel bukan proses mudah. Dia disusupkan atas jasa baik seorang hakim dan petinggi Departemen Kehakiman yang ingin pola pemenjaraan berubah ke arah lebih baik. Alhasil, sekitar 250 halaman laporan yang ditulis dengan mesin ketik kuno dinobatkan sebagai salah satu skripsi terbaik pada tahun 80-an.

Sayangnya, Sjarifah Sabaroeddin, sang dosen sudah tiada. Saya hanya sempat merekam pengalamannya saat bicara di ruang kuliah. ‘’Mereka (Napi) itu adalah kumpulan manusia yang membentuk sub-kultur sendiri. Lingkungan penjara mengajarkan cara bicara, pola berpikir, dan tradisi penyelesaian masalah bersama. Budaya itu tercipta karena manusia-manusia di dalamnya tersublimasi menjadi manusia berperilaku dan mental yang baru dan sama,’’ katanya.

Sang dosen mengajarkan mata kuliah Penologi. Pada masa lalu, Penologi masih berpijak pada kebijakan penyiksaan terhadap para pelaku kejahatan (Napi) sebagai konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan. Tapi, dalam perkembangannya, kajiannya diperluas hingga mencakup kebijakan yang tak sebatas menghukum Napi, melainkan masa hukuman percobaan, pengobatan (mental treatment), dan rehabilitasi sosial.

Dalam sudut pandang sosiologis, patut disadari, penjara (yang kini disebut Lapas) adalah kumpulan manusia dengan keanggotaan terbuka dengan identitas yang kuat. Penjara memiliki sistem pemaksa pembentukan ide, perilaku, dan identitas tunggal terhadap siapapun yang tinggal di dalamnya, termasuk petugas yang merasa terpenjara. Bukan karena ia lebih banyak diam di balik tembok yang kokoh, melainkan keberadaannya yang dibatasi oleh waktu. Pola kerjanya mengikuti time table penjara, intensitas interaksi yang tinggi dengan Napi, bahkan berbahasa sama dengan mereka. Meski idealnya dibangun untuk membina disiplin, Lapas justru tak mampu membentuk ‘kedisiplinan’ yang diharapkan. Yang terjadi justru proses pembentukan manusia sebagai seseorang yang lain dan ‘baru’, baik itu Napi maupun petugasnya.

Bicara penjara tentulah bicara fakta. Saya mengontak Iqra Sulhin, dosen yang juga junior saya di Departemen Kriminologi FISIP UI. Seorang muda dengan jam terbang lumayan tinggi dalam berbagai penelitian penjara. Dia sudah empat kali keluar-masuk LP Nusakambangan untuk meriset pola pembinaan di penjara legendaris tersebut. Saya lebih banyak mendengar hasil risetnya. Iqra menyimpulkan, Lapas melahirkan struktur tunggal yang di dalamnya terdapat otoritas penjara dan petugas.

Keberadaan tahanan pendamping (tamping), pemuka, atau kepala kamar, adalah gambaran bagaimana struktur masyarakat penjara adalah struktur yang tunggal, tidak terpisah antara struktur petugas dan struktur Napi. Di dalam struktur itu berkembang pola interaksi yang mengatur hubungan antara kepala lapas, petugas, tamping, pemuka, Napi kelas atas, dan kelas bawah, meskipun pola hubungan ini tak pernah tercatat, apalagi dilegalkan.

Jadi, jangan heran bila ditemukan ada Napi yang bisa mendapatkan fasilitas sedikit mewah karena pola hubungan itu memfasilitasinya, termasuk praktik pungutan liar atau bisnis terlarang di dalam Lapas. Siapa yang menjalankannya? Tak mungkin hanya Napi. Ironisnya, dalam banyak kasus, petugas Lapas justru yang mengerjakannya dengan assignment yang diatur oleh Napi yang punya akses luas terhadap uang.

Lantas muncul perdebatan lain. Argumen penjara itu miniatur masyarakat di luar penjara ternyata tak sepenuhnya diterima. Tapi penjara adalah satu komunitas dengan kultur ‘khusus’ juga sulit ditolak. Di sinilah masalah dimulai. Faktanya, antara masalah makro-struktural (finansial, sumber daya manusia, struktur organisasi, dan pengawasan) yang selama ini dianggap paling berpengaruh atas munculnya berbagai peristiwa di Lapas dinilai tak berkaitan dengan miniatur masyarakat dan kultur penjara itu sendiri. Persepsi ini perlu diluruskan.

Jika kultur penjara dianggap dampak dari masalah makro-struktural pastinya akan selalu muncul pembenaran atas segala peristiwa yang terjadi di Lapas. Sekali lagi, sejumlah riset tak memungkiri persoalan makro-struktural tersebut, tapi (ternyata) bukan itu yang terdeteksi sebagai akar masalah. Realitasnya, kehidupan penjara adalah kehidupan Napi dan petugas yang tak terbedakan. Penggunaan diskresi kekuasaan untuk menurunkan potensi kerusuhan di Lapas, mungkin sebagian dapat diterima. Tapi apakah itu tanpa celah?

Maka, nyaris seluruh riset Iqra mereferensikan, apa yang perlu dilakukan Lapas adalah meniadakan ‘pengistimewaan’ Napi tertentu, seperti tamping, pemuka, si A yang kaya, si B yang tokoh, karena hanya akan memfasilitasi jejaring yang kuat antara petugas dengan Napi. Contohnya, mempekerjakan Napi tertentu untuk urusan rumah tangga, seperti menyediakan air minum tamu di kantor kepala Lapas. Pengistimewaan, bahkan  mempekerjakan Napi tertentu karena ia tokoh, pejabat, orang kaya, atau membelikan LCD TV di kantor Lapas hanya akan menyatukan kultur petugas dengan Napi, yang seharusnya berbeda.

Situasi ini jika dibiarkan terus akan memperbesar struktur di antara Napi sehingga potensi pemerasan dan kekerasan oleh dan terhadap Napi semakin tak terkendali.

Pengawasan yang dibantu Napi adalah mekanisme alamiah karena dalam komunitas pasti selalu ada orang kuat dan berpengaruh yang mengatur. Hanya saja, mereka tak perlu dijadikan perpanjangan tangan petugas kepada Napi lainnya. ‘Napi adalah Napi’, dan mereka adalah manusia yang butuh pembinaan untuk dikembalikan kepada masyarakat.

Saat reuni sekolah setahun lalu, saya bertemu kawan yang kebetulan lulus dari Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AIP), sebuah sekolah yang melahirkan para sipir dan petugas Lapas. Kawan perempuan ini mengeluh soal pola promosi. Bila ditugaskan di daerah atau di pulau, pusat cenderung lupa. Saya khawatir bila keluhan ini dipadu dengan kultur tunggal penjara, pemberontakan, atau kerusuhan di Lapas menjadi berita yang (tak) mengejutkan di masa depan.

Begitupun, lebih terkejut lagi, kawan saya itu berubah jadi kelaki-lakian, bicara agak ‘preman’, dan cenderung kasar. Seingat saya dia tadinya siswi yang santun meski suka bicara. Saya jadi ingat teori kultur tunggal penjara. Tragis sekali, petugas justru ‘terseret’  kultur Napi yang semestinya dia bina. Jadi, sebetulnya siapa ‘membina’ siapa di dalam sana? Kepada petugas Lapas, saya sarankan, ayo tontonlah film ‘Green Mile’! (*)

Kisah kerusuhan Lapas Tanjunggusta menarik banyak pelajaran berharga. Saya kebetulan punya kesempatan mendengar pengalaman seorang dosen sewaktu kuliah dulu. Dia seorang perempuan, berperawakan tomboy, dan perokok berat. Satu hal yang sulit dilupakan dari setiap jam kuliah adalah kisah hidupnya selama tiga bulan di penjara Salemba. Dia rela tinggal di dalam sel, bergaul dengan para napi sekadar ingin tahu bagaimana kehidupan penjara sesungguhnya.

Perjalanannya ‘masuk’ sel bukan proses mudah. Dia disusupkan atas jasa baik seorang hakim dan petinggi Departemen Kehakiman yang ingin pola pemenjaraan berubah ke arah lebih baik. Alhasil, sekitar 250 halaman laporan yang ditulis dengan mesin ketik kuno dinobatkan sebagai salah satu skripsi terbaik pada tahun 80-an.

Sayangnya, Sjarifah Sabaroeddin, sang dosen sudah tiada. Saya hanya sempat merekam pengalamannya saat bicara di ruang kuliah. ‘’Mereka (Napi) itu adalah kumpulan manusia yang membentuk sub-kultur sendiri. Lingkungan penjara mengajarkan cara bicara, pola berpikir, dan tradisi penyelesaian masalah bersama. Budaya itu tercipta karena manusia-manusia di dalamnya tersublimasi menjadi manusia berperilaku dan mental yang baru dan sama,’’ katanya.

Sang dosen mengajarkan mata kuliah Penologi. Pada masa lalu, Penologi masih berpijak pada kebijakan penyiksaan terhadap para pelaku kejahatan (Napi) sebagai konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan. Tapi, dalam perkembangannya, kajiannya diperluas hingga mencakup kebijakan yang tak sebatas menghukum Napi, melainkan masa hukuman percobaan, pengobatan (mental treatment), dan rehabilitasi sosial.

Dalam sudut pandang sosiologis, patut disadari, penjara (yang kini disebut Lapas) adalah kumpulan manusia dengan keanggotaan terbuka dengan identitas yang kuat. Penjara memiliki sistem pemaksa pembentukan ide, perilaku, dan identitas tunggal terhadap siapapun yang tinggal di dalamnya, termasuk petugas yang merasa terpenjara. Bukan karena ia lebih banyak diam di balik tembok yang kokoh, melainkan keberadaannya yang dibatasi oleh waktu. Pola kerjanya mengikuti time table penjara, intensitas interaksi yang tinggi dengan Napi, bahkan berbahasa sama dengan mereka. Meski idealnya dibangun untuk membina disiplin, Lapas justru tak mampu membentuk ‘kedisiplinan’ yang diharapkan. Yang terjadi justru proses pembentukan manusia sebagai seseorang yang lain dan ‘baru’, baik itu Napi maupun petugasnya.

Bicara penjara tentulah bicara fakta. Saya mengontak Iqra Sulhin, dosen yang juga junior saya di Departemen Kriminologi FISIP UI. Seorang muda dengan jam terbang lumayan tinggi dalam berbagai penelitian penjara. Dia sudah empat kali keluar-masuk LP Nusakambangan untuk meriset pola pembinaan di penjara legendaris tersebut. Saya lebih banyak mendengar hasil risetnya. Iqra menyimpulkan, Lapas melahirkan struktur tunggal yang di dalamnya terdapat otoritas penjara dan petugas.

Keberadaan tahanan pendamping (tamping), pemuka, atau kepala kamar, adalah gambaran bagaimana struktur masyarakat penjara adalah struktur yang tunggal, tidak terpisah antara struktur petugas dan struktur Napi. Di dalam struktur itu berkembang pola interaksi yang mengatur hubungan antara kepala lapas, petugas, tamping, pemuka, Napi kelas atas, dan kelas bawah, meskipun pola hubungan ini tak pernah tercatat, apalagi dilegalkan.

Jadi, jangan heran bila ditemukan ada Napi yang bisa mendapatkan fasilitas sedikit mewah karena pola hubungan itu memfasilitasinya, termasuk praktik pungutan liar atau bisnis terlarang di dalam Lapas. Siapa yang menjalankannya? Tak mungkin hanya Napi. Ironisnya, dalam banyak kasus, petugas Lapas justru yang mengerjakannya dengan assignment yang diatur oleh Napi yang punya akses luas terhadap uang.

Lantas muncul perdebatan lain. Argumen penjara itu miniatur masyarakat di luar penjara ternyata tak sepenuhnya diterima. Tapi penjara adalah satu komunitas dengan kultur ‘khusus’ juga sulit ditolak. Di sinilah masalah dimulai. Faktanya, antara masalah makro-struktural (finansial, sumber daya manusia, struktur organisasi, dan pengawasan) yang selama ini dianggap paling berpengaruh atas munculnya berbagai peristiwa di Lapas dinilai tak berkaitan dengan miniatur masyarakat dan kultur penjara itu sendiri. Persepsi ini perlu diluruskan.

Jika kultur penjara dianggap dampak dari masalah makro-struktural pastinya akan selalu muncul pembenaran atas segala peristiwa yang terjadi di Lapas. Sekali lagi, sejumlah riset tak memungkiri persoalan makro-struktural tersebut, tapi (ternyata) bukan itu yang terdeteksi sebagai akar masalah. Realitasnya, kehidupan penjara adalah kehidupan Napi dan petugas yang tak terbedakan. Penggunaan diskresi kekuasaan untuk menurunkan potensi kerusuhan di Lapas, mungkin sebagian dapat diterima. Tapi apakah itu tanpa celah?

Maka, nyaris seluruh riset Iqra mereferensikan, apa yang perlu dilakukan Lapas adalah meniadakan ‘pengistimewaan’ Napi tertentu, seperti tamping, pemuka, si A yang kaya, si B yang tokoh, karena hanya akan memfasilitasi jejaring yang kuat antara petugas dengan Napi. Contohnya, mempekerjakan Napi tertentu untuk urusan rumah tangga, seperti menyediakan air minum tamu di kantor kepala Lapas. Pengistimewaan, bahkan  mempekerjakan Napi tertentu karena ia tokoh, pejabat, orang kaya, atau membelikan LCD TV di kantor Lapas hanya akan menyatukan kultur petugas dengan Napi, yang seharusnya berbeda.

Situasi ini jika dibiarkan terus akan memperbesar struktur di antara Napi sehingga potensi pemerasan dan kekerasan oleh dan terhadap Napi semakin tak terkendali.

Pengawasan yang dibantu Napi adalah mekanisme alamiah karena dalam komunitas pasti selalu ada orang kuat dan berpengaruh yang mengatur. Hanya saja, mereka tak perlu dijadikan perpanjangan tangan petugas kepada Napi lainnya. ‘Napi adalah Napi’, dan mereka adalah manusia yang butuh pembinaan untuk dikembalikan kepada masyarakat.

Saat reuni sekolah setahun lalu, saya bertemu kawan yang kebetulan lulus dari Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AIP), sebuah sekolah yang melahirkan para sipir dan petugas Lapas. Kawan perempuan ini mengeluh soal pola promosi. Bila ditugaskan di daerah atau di pulau, pusat cenderung lupa. Saya khawatir bila keluhan ini dipadu dengan kultur tunggal penjara, pemberontakan, atau kerusuhan di Lapas menjadi berita yang (tak) mengejutkan di masa depan.

Begitupun, lebih terkejut lagi, kawan saya itu berubah jadi kelaki-lakian, bicara agak ‘preman’, dan cenderung kasar. Seingat saya dia tadinya siswi yang santun meski suka bicara. Saya jadi ingat teori kultur tunggal penjara. Tragis sekali, petugas justru ‘terseret’  kultur Napi yang semestinya dia bina. Jadi, sebetulnya siapa ‘membina’ siapa di dalam sana? Kepada petugas Lapas, saya sarankan, ayo tontonlah film ‘Green Mile’! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/