29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bukan Con Air

Cameron Poe pasti akan tertawa begitu mengetahui kalau Sharen Patricia alias A Liang bebas dengan ‘santai’ lolos dari petugas pengawal tahanan. Cameron Poe pasti akan makin terbahak ketika menyadari kalau seorang Sharen ternyata lebih hebat daripada narapidana bengis yang harus disatukan dalam pesawat Jailbird.

Ya, Jailbird adalah sebuah pesawat terbang yang juga dipakai untuk mengangkut para pembunuh kejam ke Penjara Feltham, sebuah lembaga pemasyarakatan yang paling ketat keamanannya di negara bagian Lousiana, Amerika Serikat. Saking ketatnya, Jailbird harus dibajak agar para narapidana bengis itu bisa lolos. Sementara Sharen, dia terbiarkan begitu saja di samping mobil tahanan di daerah Tangjung Gusta Medan. Dia tidak diborgol. Dan, dia bisa lari tanpa terkejar. Dia bisa ditunggu seorang lelaki dengan kendaraan sepeda motor Mio. Sungguh berbeda dengan teman sepesawat Cameron Poe.
Tapi begitulah, Cameron Poe pastinya akan tertawa melihat pengawalan tak ketat yang dilakukan petugas pengawal tahanan di Indonesia. Kenapa tidak seperti di pesawat Jailbird? Kenapa tidak seperti mereka yang berada di dalam film Con Air?

Ya, ini memang soal fiksi dan fakta. Fiksi tentunya tentang Cameron Poe dan film Con Air. Fakta, tentunya tentang bandar sabu-sabu, Sharen, yang mampu melarikan diri dari pengawalan petugas tahanan sebelum disidangkan. Perhatikan perbedaannya?

Secara pribadi, saya melihat kenyataan bisa begitu terbalik. Maksud saya begini, kasus Sharen, seakan menjadi fiksi dan Cameron Poe yang diperankan oleh Nicolas Cage seakan menjadi fakta. Entahlah, bagi saya lari dari tahanan bukanlah sesuatu yang gampang. Maka, Con Air, cukup mewakili pikiran saya tadi.
Itulah sebab, ketika ada yang berhasil melarikan diri dari tahanan atau pengawalan dari petugas pengawal tahanan, maka yang terbayang adalah film Con Air tadi. Apalagi, sebelum menonton film Con Air, saya pernah membaca kisah pelarian Jhoni Indo dari Nusakambangan. Ya, untuk melarikan diri, Jhoni dkk harus menggunakan strategi. Ada yang merampas senjata petugas portir. Ada yang menjebol pintu gerbang, menyiapkan api, dan membabat petugas. Yang lain, mengomando kawan-kawannya agar secepatnya kabur. Mereka pun harus masuk hutan setelah berhasil melepaskan diri dari kepungan dinding penjara. Tidak tanggung-tanggung, setelah 12 hari terlunta-lunta dan ditinggal mati kawannya yang lain, Jhony akhirnya menyerah. Hm, melarikan diri itu berat bukan? Itu nyata bukan? Dalam otak saya, persis Con Air.

Lalu, bagaimana dengan Sharen? Adakah perjuangan yang begitu berat untuk melarikan diri? Ayolah, dia tidak diborgol. Dia seperti dibiarkan duduk manis di mobil tahanan, tepatnya di samping sopir. Lalu, sudah ada yang menunggunya ketika dia lari; lelaki bersepeda motor mio. Gampang sekali bukan? Strateginya tidak seperti Jhoni Indo dan film Con Air; tidak berdarah-darah. Dengan kata lain, pelariannya berkesan anak manja.

Itulah sebab saya menganggapnya tidak nyata alias fiksi. Ya, bak khayalan picisan; konflik dan endingnya terlalu gampang ditebak; plotnya pun tidak istimewa. Padahal, ini semua atas nama tahanan lari. Luar biasa fiksinya bukan? Tapi kenyatannya, pikiran saya salah. Ya, Sharen adalah nyata dan Con Air tetaplah film.

Saya jadi teringat kalimat bijak: saat ini fiksi dan fakta memang makin sulit dibedakan. Hm, saya sepakat dengan itu. Jadi, nikmati saja! (*)

Cameron Poe pasti akan tertawa begitu mengetahui kalau Sharen Patricia alias A Liang bebas dengan ‘santai’ lolos dari petugas pengawal tahanan. Cameron Poe pasti akan makin terbahak ketika menyadari kalau seorang Sharen ternyata lebih hebat daripada narapidana bengis yang harus disatukan dalam pesawat Jailbird.

Ya, Jailbird adalah sebuah pesawat terbang yang juga dipakai untuk mengangkut para pembunuh kejam ke Penjara Feltham, sebuah lembaga pemasyarakatan yang paling ketat keamanannya di negara bagian Lousiana, Amerika Serikat. Saking ketatnya, Jailbird harus dibajak agar para narapidana bengis itu bisa lolos. Sementara Sharen, dia terbiarkan begitu saja di samping mobil tahanan di daerah Tangjung Gusta Medan. Dia tidak diborgol. Dan, dia bisa lari tanpa terkejar. Dia bisa ditunggu seorang lelaki dengan kendaraan sepeda motor Mio. Sungguh berbeda dengan teman sepesawat Cameron Poe.
Tapi begitulah, Cameron Poe pastinya akan tertawa melihat pengawalan tak ketat yang dilakukan petugas pengawal tahanan di Indonesia. Kenapa tidak seperti di pesawat Jailbird? Kenapa tidak seperti mereka yang berada di dalam film Con Air?

Ya, ini memang soal fiksi dan fakta. Fiksi tentunya tentang Cameron Poe dan film Con Air. Fakta, tentunya tentang bandar sabu-sabu, Sharen, yang mampu melarikan diri dari pengawalan petugas tahanan sebelum disidangkan. Perhatikan perbedaannya?

Secara pribadi, saya melihat kenyataan bisa begitu terbalik. Maksud saya begini, kasus Sharen, seakan menjadi fiksi dan Cameron Poe yang diperankan oleh Nicolas Cage seakan menjadi fakta. Entahlah, bagi saya lari dari tahanan bukanlah sesuatu yang gampang. Maka, Con Air, cukup mewakili pikiran saya tadi.
Itulah sebab, ketika ada yang berhasil melarikan diri dari tahanan atau pengawalan dari petugas pengawal tahanan, maka yang terbayang adalah film Con Air tadi. Apalagi, sebelum menonton film Con Air, saya pernah membaca kisah pelarian Jhoni Indo dari Nusakambangan. Ya, untuk melarikan diri, Jhoni dkk harus menggunakan strategi. Ada yang merampas senjata petugas portir. Ada yang menjebol pintu gerbang, menyiapkan api, dan membabat petugas. Yang lain, mengomando kawan-kawannya agar secepatnya kabur. Mereka pun harus masuk hutan setelah berhasil melepaskan diri dari kepungan dinding penjara. Tidak tanggung-tanggung, setelah 12 hari terlunta-lunta dan ditinggal mati kawannya yang lain, Jhony akhirnya menyerah. Hm, melarikan diri itu berat bukan? Itu nyata bukan? Dalam otak saya, persis Con Air.

Lalu, bagaimana dengan Sharen? Adakah perjuangan yang begitu berat untuk melarikan diri? Ayolah, dia tidak diborgol. Dia seperti dibiarkan duduk manis di mobil tahanan, tepatnya di samping sopir. Lalu, sudah ada yang menunggunya ketika dia lari; lelaki bersepeda motor mio. Gampang sekali bukan? Strateginya tidak seperti Jhoni Indo dan film Con Air; tidak berdarah-darah. Dengan kata lain, pelariannya berkesan anak manja.

Itulah sebab saya menganggapnya tidak nyata alias fiksi. Ya, bak khayalan picisan; konflik dan endingnya terlalu gampang ditebak; plotnya pun tidak istimewa. Padahal, ini semua atas nama tahanan lari. Luar biasa fiksinya bukan? Tapi kenyatannya, pikiran saya salah. Ya, Sharen adalah nyata dan Con Air tetaplah film.

Saya jadi teringat kalimat bijak: saat ini fiksi dan fakta memang makin sulit dibedakan. Hm, saya sepakat dengan itu. Jadi, nikmati saja! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/