30 C
Medan
Friday, June 21, 2024

Proses vs Hasil

Di negara berkembang, atau lebih buruk, sepertinya yang penting adalah ”hasil, hasil, dan hasil”. Pemahaman itu pun sepertinya dipaksakan orang tua sejak anak masih kecil.

Ujian nasional? Cari contekan, cari bocoran, cari cara supaya hasilnya baik (untung sekarang ujian nasional tidak lagi segalanya).

Skripsi? Cari orang yang bisa membantu membuat. Kalau gagal, cari yang bisa jual ijazah. Yang penting lulus.

Pekerjaan? Cari jalan pintas. Cari, curi, tipu. Yang penting dapat hasil.

Sampai ke sesuatu yang seharusnya mengajarkan dan menjunjung tinggi sportivitas pun sama.

Target menang? Suap wasit. Janjikan bonus tinggi. Ambil anak daerah lain, ganti KTP-nya, lalu merasa bangga –dan menjual kebanggaan itu– ketika dia menang sebagai ”anak daerah kita”.

Yang penting hasil.

Peduli setan dengan program pembinaan, tidak sabar dengan proses kompetisi yang panjang, EGP soal prestasi jangka panjang.

Yang penting hasil. Sekarang.

Kalau mau jujur, memang hasil adalah yang terpenting. Percuma kalau mengutamakan proses, lalu tidak pernah mendapatkan hasil, bukan?
Jadi, walau suka dengan ”Journey is the reward”, saya sadar bahwa ujung-ujungnya hidup ini memang harus ”middle way”.

Dan… ada ucapan lain yang merangkumnya dengan baik: Results without process are not sustainable. Process without results is a waste. Artinya: Hasil tanpa proses yang baik tidak bisa bertahan lama. Proses tanpa hasil adalah buang-buang waktu.

Ya, kita hidup di lingkungan di mana kebanyakan mungkin masih belum bisa menerima pentingnya proses. Di mana kebanyakan mungkin masih belum tahu apa itu proses yang baik.

Semoga saja ini hanyalah proses menuju lebih baik.

Untung, ada globalisasi, ada Disney-isasi. Dan anak-anak sekarang (termasuk anak-anak saya), lebih banyak nonton film Disney daripada nonton acara televisi kita. Yang kata teman saya, ”Acara TV kok isinya menyerang dan urusan politik tok.” (*)

Di negara berkembang, atau lebih buruk, sepertinya yang penting adalah ”hasil, hasil, dan hasil”. Pemahaman itu pun sepertinya dipaksakan orang tua sejak anak masih kecil.

Ujian nasional? Cari contekan, cari bocoran, cari cara supaya hasilnya baik (untung sekarang ujian nasional tidak lagi segalanya).

Skripsi? Cari orang yang bisa membantu membuat. Kalau gagal, cari yang bisa jual ijazah. Yang penting lulus.

Pekerjaan? Cari jalan pintas. Cari, curi, tipu. Yang penting dapat hasil.

Sampai ke sesuatu yang seharusnya mengajarkan dan menjunjung tinggi sportivitas pun sama.

Target menang? Suap wasit. Janjikan bonus tinggi. Ambil anak daerah lain, ganti KTP-nya, lalu merasa bangga –dan menjual kebanggaan itu– ketika dia menang sebagai ”anak daerah kita”.

Yang penting hasil.

Peduli setan dengan program pembinaan, tidak sabar dengan proses kompetisi yang panjang, EGP soal prestasi jangka panjang.

Yang penting hasil. Sekarang.

Kalau mau jujur, memang hasil adalah yang terpenting. Percuma kalau mengutamakan proses, lalu tidak pernah mendapatkan hasil, bukan?
Jadi, walau suka dengan ”Journey is the reward”, saya sadar bahwa ujung-ujungnya hidup ini memang harus ”middle way”.

Dan… ada ucapan lain yang merangkumnya dengan baik: Results without process are not sustainable. Process without results is a waste. Artinya: Hasil tanpa proses yang baik tidak bisa bertahan lama. Proses tanpa hasil adalah buang-buang waktu.

Ya, kita hidup di lingkungan di mana kebanyakan mungkin masih belum bisa menerima pentingnya proses. Di mana kebanyakan mungkin masih belum tahu apa itu proses yang baik.

Semoga saja ini hanyalah proses menuju lebih baik.

Untung, ada globalisasi, ada Disney-isasi. Dan anak-anak sekarang (termasuk anak-anak saya), lebih banyak nonton film Disney daripada nonton acara televisi kita. Yang kata teman saya, ”Acara TV kok isinya menyerang dan urusan politik tok.” (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/