25.6 C
Medan
Thursday, May 30, 2024

Kita Semua Rasis

Percakapan itu tentu membuat saya juga banyak berpikir. Masak ada orang rasis tapi baik, lalu ada orang yang merasa tidak rasis tapi justru jahat? Jangan-jangan, kita semua ini rasis, hanya tingkatan-tingkatannya saja yang berbeda.

Saya termasuk yang merasa diri saya tidak rasis. Tapi, jujur sejujur-jujurnya, kadang terlontar juga sindiran ketika ada orang dari ras atau suku bangsa lain melakukan sesuatu yang sesuai dengan stereotipe ”mereka”.

Walau mungkin tidak berniat jahat, omongan saya itu sudah bisa menjadi bukti. Apalagi kalau zaman sekarang, omongan atau celetukan saja bisa dipermasalahkan begitu panjang (entah ini bener atau nggak, penting atau nggak untuk diributkan).

Ironisnya, kadang saya juga menyindir orang yang latar belakangnya sama dengan saya (kebetulan saya mix Jawa dan Banjar). Entah itu menyindir kita ini kalah rajin lah, kalah ngotot lah, kalau dibandingkan dengan yang lain.

Saya juga kenal dengan orang yang punya hubungan baik –khususnya bisnis– dengan berbagai kalangan. Bahkan sampai di dunia internasional. Meski demikian, saya juga pernah mendengar dia bicara kalau jangan sampai ras/suku bangsa lain itu menjadi dominan.

Dari kalangan yang dianggap minoritas, saya juga pernah mendengar mereka mengucapkan sesuatu yang menyindir ”kalangan mayoritas”. Misalnya, ada orang tua yang mencegah anaknya untuk bergaul terlalu banyak dengan anak-anak lain dari ”kalangan mayoritas” itu.

Lalu ada contoh lain lagi. Suku bangsa yang melarang masyarakatnya untuk menikah dengan suku bangsa lain. Harus punya suami atau istri dari suku bangsa yang sama, lalu ada aturan-aturannya lagi.

Bukankah itu semua bisa masuk kategori rasis?
Kalau sudah begitu, tinggal membeda-bedakan kadar dan dampaknya saja, bukan? Ada yang jahat, bahkan melukai dan membunuh, kepada orang lain. Ada yang berkoar-koar dengan keras, mengajak yang lain untuk semakin membenci ras/suku bangsa lain.

Ada yang sekadar dari ideologi, tapi tetap baik dan ramah kepada yang lain. Dan mereka yang merasa tidak rasis pun sesekali bisa menunjukkan ucapan/tindakan yang sebenarnya rasis.

Kalau sudah begini, lalu bagaimana?
Mungkin ya sudahlah. Biarlah semua orang jadi rasis dengan kadar yang berbeda-beda. Toh dunia tetap butuh orang-orang ”jahat” untuk keseimbangan alam.

Yang penting, jangan sampai menghambat kemajuan dan pertumbuhan. Dan jangan sampai ada terlalu banyak orang yang level rasisnya sampai menyakiti orang lain.

Mungkin paling fair ya seperti orang-orang yang disebut di Kansas itu. Rasis, tapi tetap tulus ramah dan baik kepada semua orang! (*)

Percakapan itu tentu membuat saya juga banyak berpikir. Masak ada orang rasis tapi baik, lalu ada orang yang merasa tidak rasis tapi justru jahat? Jangan-jangan, kita semua ini rasis, hanya tingkatan-tingkatannya saja yang berbeda.

Saya termasuk yang merasa diri saya tidak rasis. Tapi, jujur sejujur-jujurnya, kadang terlontar juga sindiran ketika ada orang dari ras atau suku bangsa lain melakukan sesuatu yang sesuai dengan stereotipe ”mereka”.

Walau mungkin tidak berniat jahat, omongan saya itu sudah bisa menjadi bukti. Apalagi kalau zaman sekarang, omongan atau celetukan saja bisa dipermasalahkan begitu panjang (entah ini bener atau nggak, penting atau nggak untuk diributkan).

Ironisnya, kadang saya juga menyindir orang yang latar belakangnya sama dengan saya (kebetulan saya mix Jawa dan Banjar). Entah itu menyindir kita ini kalah rajin lah, kalah ngotot lah, kalau dibandingkan dengan yang lain.

Saya juga kenal dengan orang yang punya hubungan baik –khususnya bisnis– dengan berbagai kalangan. Bahkan sampai di dunia internasional. Meski demikian, saya juga pernah mendengar dia bicara kalau jangan sampai ras/suku bangsa lain itu menjadi dominan.

Dari kalangan yang dianggap minoritas, saya juga pernah mendengar mereka mengucapkan sesuatu yang menyindir ”kalangan mayoritas”. Misalnya, ada orang tua yang mencegah anaknya untuk bergaul terlalu banyak dengan anak-anak lain dari ”kalangan mayoritas” itu.

Lalu ada contoh lain lagi. Suku bangsa yang melarang masyarakatnya untuk menikah dengan suku bangsa lain. Harus punya suami atau istri dari suku bangsa yang sama, lalu ada aturan-aturannya lagi.

Bukankah itu semua bisa masuk kategori rasis?
Kalau sudah begitu, tinggal membeda-bedakan kadar dan dampaknya saja, bukan? Ada yang jahat, bahkan melukai dan membunuh, kepada orang lain. Ada yang berkoar-koar dengan keras, mengajak yang lain untuk semakin membenci ras/suku bangsa lain.

Ada yang sekadar dari ideologi, tapi tetap baik dan ramah kepada yang lain. Dan mereka yang merasa tidak rasis pun sesekali bisa menunjukkan ucapan/tindakan yang sebenarnya rasis.

Kalau sudah begini, lalu bagaimana?
Mungkin ya sudahlah. Biarlah semua orang jadi rasis dengan kadar yang berbeda-beda. Toh dunia tetap butuh orang-orang ”jahat” untuk keseimbangan alam.

Yang penting, jangan sampai menghambat kemajuan dan pertumbuhan. Dan jangan sampai ada terlalu banyak orang yang level rasisnya sampai menyakiti orang lain.

Mungkin paling fair ya seperti orang-orang yang disebut di Kansas itu. Rasis, tapi tetap tulus ramah dan baik kepada semua orang! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/