27 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Trump Kecele Lagi

Begitu banyak pertanda-pertanda yang diberikan Kim tanpa merasa malu dan sedang kalah. Tapi yang ia dapat: pertanda-pertanda arogansi dari Amerika.

Batal saja summit-nya. Atau setidaknya ditunda. Untuk perlindungan keamanan: sudah ada Tiongkok. Untuk jaminan pembangunan: sudah ada Tiongkok. Untuk menekan Korsel: sudah ada Tiongkok.

Belum tentu Kim bisa mendapatkan semua itu dari Amerika –tetangga amat jauhnya.

Bagaimana prospek perdamaiannya? Tiongkok bisa atur. Mereka bertiga toh bertetangga dekat.

Toh selama ini keperluan BBM Korut sepenuhnya ditanggung Tiongkok. Lewat pipa dari tetangga dekat. Perdamaian itu bisa diatur sendiri. Tanpa Amerika. Yang penting: jangan memusuhinya.

Memang selama ini ada yang lucu sekali di perbatasan dua negara itu. Masing-masing pihak memasang pengeras suara di sepanjang perbatasan. Berderet sejauh 250 km. Sejak puluhan tahun lalu.

Corongnya dihadapkan ke wilayah lawan. Itulah pengeras suara untuk saling promosi. Eh, saling menyerang. Atau saling membalas serangan.

Tapi ada baiknya juga pengeras suara itu. Setidaknya perangnya hanya perang suara. Tidak sampai seperti Julia Perez dan Dewi Persik.

Saya pernah ke perbatasan itu, di Panmunjom. Dari arah selatan. Banyak yang saya anggap lucu di situ.

Perangnya tidak hanya dalam bentuk halo-halo. Tapi juga saling sebarkan pamlet. Kadang pakai balon-balon terbang. Disebarkan saat arah angin lagi menuju negara lawan.

Di perbatasan itu juga dibangun satu gedung. Separo memakai tanah Korea Utara, separonya lagi di atas tanah Korea Selatan.

Di dalam gedung itu ada ruang pertemuan. Ada pula meja rapatnya. Letak meja itu harus di tengah persis. Separo meja ada di wilayah utara. Separonya lagi di wilayah Selatan.

Kalau dua pihak lagi baikan mereka bikin rapat. Delegasi Utara duduk di meja bagian utara. Begitu juga sebaliknya.

Saya pernah mengintip ke dalam ruang rapat ini. Saat lagi tidak ada kegiatan. Dan memang selalu tidak ada kegiatan.

Mereka gencatan senjata di tahun 1953. Sejak itu baru ada tiga atau empat kali rapat. Resminya, status kedua negara itu memang masih dalam perang. Hanya saja lagi genjatan senjata.

Inilah gencatan senjata terlama: 65 tahun. Perang tidak. Damai pun tak. Kalau keduanya lagi baikan gedung itu berguna. Tapi wawuhan itu biasanya hanya sebentar. Lalu jotakan lagi.

Wawuh terlama terjadi 10 tahun lalu. Sampai Korsel diijinkan bangun pabrik-pabrik di wilayah khusus di Korut di dekat perbatasan.

Begitu banyak pertanda-pertanda yang diberikan Kim tanpa merasa malu dan sedang kalah. Tapi yang ia dapat: pertanda-pertanda arogansi dari Amerika.

Batal saja summit-nya. Atau setidaknya ditunda. Untuk perlindungan keamanan: sudah ada Tiongkok. Untuk jaminan pembangunan: sudah ada Tiongkok. Untuk menekan Korsel: sudah ada Tiongkok.

Belum tentu Kim bisa mendapatkan semua itu dari Amerika –tetangga amat jauhnya.

Bagaimana prospek perdamaiannya? Tiongkok bisa atur. Mereka bertiga toh bertetangga dekat.

Toh selama ini keperluan BBM Korut sepenuhnya ditanggung Tiongkok. Lewat pipa dari tetangga dekat. Perdamaian itu bisa diatur sendiri. Tanpa Amerika. Yang penting: jangan memusuhinya.

Memang selama ini ada yang lucu sekali di perbatasan dua negara itu. Masing-masing pihak memasang pengeras suara di sepanjang perbatasan. Berderet sejauh 250 km. Sejak puluhan tahun lalu.

Corongnya dihadapkan ke wilayah lawan. Itulah pengeras suara untuk saling promosi. Eh, saling menyerang. Atau saling membalas serangan.

Tapi ada baiknya juga pengeras suara itu. Setidaknya perangnya hanya perang suara. Tidak sampai seperti Julia Perez dan Dewi Persik.

Saya pernah ke perbatasan itu, di Panmunjom. Dari arah selatan. Banyak yang saya anggap lucu di situ.

Perangnya tidak hanya dalam bentuk halo-halo. Tapi juga saling sebarkan pamlet. Kadang pakai balon-balon terbang. Disebarkan saat arah angin lagi menuju negara lawan.

Di perbatasan itu juga dibangun satu gedung. Separo memakai tanah Korea Utara, separonya lagi di atas tanah Korea Selatan.

Di dalam gedung itu ada ruang pertemuan. Ada pula meja rapatnya. Letak meja itu harus di tengah persis. Separo meja ada di wilayah utara. Separonya lagi di wilayah Selatan.

Kalau dua pihak lagi baikan mereka bikin rapat. Delegasi Utara duduk di meja bagian utara. Begitu juga sebaliknya.

Saya pernah mengintip ke dalam ruang rapat ini. Saat lagi tidak ada kegiatan. Dan memang selalu tidak ada kegiatan.

Mereka gencatan senjata di tahun 1953. Sejak itu baru ada tiga atau empat kali rapat. Resminya, status kedua negara itu memang masih dalam perang. Hanya saja lagi genjatan senjata.

Inilah gencatan senjata terlama: 65 tahun. Perang tidak. Damai pun tak. Kalau keduanya lagi baikan gedung itu berguna. Tapi wawuhan itu biasanya hanya sebentar. Lalu jotakan lagi.

Wawuh terlama terjadi 10 tahun lalu. Sampai Korsel diijinkan bangun pabrik-pabrik di wilayah khusus di Korut di dekat perbatasan.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Bulan Madu Mahathir

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/