29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Belajar dari Banyuwangi

Banyuwangi memang punya ribuan terobosan. Salah satunya pembentukan ‘smart kampung’. Anas melakukan revolusi digital mulai dari kampung.

Inilah kabupaten yang majunya sangat nyata. Dulu Banyuwangi sulit maju karena jauh dari mana-mana.

Anas bangun bandara. Kini sudah ada penerbangan langsung Jakarta-Banyuwangi. Tiga kali sehari. Juga dari Surabaya. Tak lama lagi dari Singapura dan Kualalumpur.

Banyuwangi yang bisa berbuat begini. Ekonominya tumbuh 6,7 persen. Angka yang sulit dicapai nasional. Bupati memang juga harus pabrik ide dan CEO yang handal.

Bahkan hal sepele pun dia perhatikan. Misalnya omongan yang bersifat tahayul. Tapi meluas. Menjadi kepercayaan umum. Merusak mental.

Maklum, Banyuwangi juga dikenal sebagai ibukota santet nasional. Dulu. Tidak pernah damai. Kisruh terus. Demo terus.

Masyarakat sudah sampai tingkat percaya Banyuwangi sulit maju. Kantor bupatinya saja menghadap makam besar. Taman makam pahlawan. Di halaman makam itu ada patung pedang dan tombak. Itu yang membuat kabupaten berdarah-darah.

Tentu Anas tidak percaya yang begituan. Tapi meluasnya kepercayaan seperti itu harus dibasmi. Bukan dengan khotbah atau kecaman. Tapi tindakan.

Patung senjata itu dia bongkar. Halaman makam itu dia mundurkan. Menjadi luas. Lalu dia hutankan. Dengan pohon sawit. Rapat. Rindang. Dia buat plaza di bawahnya. Dia pasangi wifi.

Kini makam itu tidak terlihat dari luar. Yang tampak adalah hutan sawit yang rimbun dan indah. Anak-anak muda berwifi ria di naungannya.

Belum cukup. Dua kanon meriam dia pasang di depan kantor kabupaten. Meriam besar. Menghadap makam. Senjata yang lebih besar untuk menangkis pedang dan tombak yang sudah tidak ada.

Sudah tujuh tahun tidak ada demo di Banyuwangi. Bukan karena makamnya sudah ditutup hutan sawit. Tapi Anas membuat masyarakat sibuk berkarya.

Lebih 150 festival dia buat setiap tahun. Mulai dari tari ‘gandrung seribu’ sampai lari ke gunung Ijen.

Aneh sekali kalau kawasan Toba tidak bisa bangkit seperti Banyuwangi. Bandara Silangit harus bisa jadi bandara Banyuwangi. Tapi memang. Memang. Harus ada Azwar Anas di sana.

Itu pula yang membuat saya menyarankan pada bupati Sambas, Kalbar, H Atbah Romin Suhaili LC. Saat beliau ke rumah saya. Mencari cara membangun Sambas. Yang begitu jauh. Yang bertetangga dengan Serawak.

Bangunlah bandara. Manfaatkan nilai jual tetangga: kota Singkawang. Bekerjasamalah dengan walikota Singkawang. Jangan bersaing. Apalagi bertengkar. Hanya demi gengsi.

Begitu banyak orang ingin ke Singkawang. Apalagi saat Cap Go Meh. Atau Imlek. Atau ceng beng. Terlalu tersiksa untuk ke Singkawang. Harus lewat Pontianak. Banyuwangi literatur hidup untuk semua itu.(dis)

 

Banyuwangi memang punya ribuan terobosan. Salah satunya pembentukan ‘smart kampung’. Anas melakukan revolusi digital mulai dari kampung.

Inilah kabupaten yang majunya sangat nyata. Dulu Banyuwangi sulit maju karena jauh dari mana-mana.

Anas bangun bandara. Kini sudah ada penerbangan langsung Jakarta-Banyuwangi. Tiga kali sehari. Juga dari Surabaya. Tak lama lagi dari Singapura dan Kualalumpur.

Banyuwangi yang bisa berbuat begini. Ekonominya tumbuh 6,7 persen. Angka yang sulit dicapai nasional. Bupati memang juga harus pabrik ide dan CEO yang handal.

Bahkan hal sepele pun dia perhatikan. Misalnya omongan yang bersifat tahayul. Tapi meluas. Menjadi kepercayaan umum. Merusak mental.

Maklum, Banyuwangi juga dikenal sebagai ibukota santet nasional. Dulu. Tidak pernah damai. Kisruh terus. Demo terus.

Masyarakat sudah sampai tingkat percaya Banyuwangi sulit maju. Kantor bupatinya saja menghadap makam besar. Taman makam pahlawan. Di halaman makam itu ada patung pedang dan tombak. Itu yang membuat kabupaten berdarah-darah.

Tentu Anas tidak percaya yang begituan. Tapi meluasnya kepercayaan seperti itu harus dibasmi. Bukan dengan khotbah atau kecaman. Tapi tindakan.

Patung senjata itu dia bongkar. Halaman makam itu dia mundurkan. Menjadi luas. Lalu dia hutankan. Dengan pohon sawit. Rapat. Rindang. Dia buat plaza di bawahnya. Dia pasangi wifi.

Kini makam itu tidak terlihat dari luar. Yang tampak adalah hutan sawit yang rimbun dan indah. Anak-anak muda berwifi ria di naungannya.

Belum cukup. Dua kanon meriam dia pasang di depan kantor kabupaten. Meriam besar. Menghadap makam. Senjata yang lebih besar untuk menangkis pedang dan tombak yang sudah tidak ada.

Sudah tujuh tahun tidak ada demo di Banyuwangi. Bukan karena makamnya sudah ditutup hutan sawit. Tapi Anas membuat masyarakat sibuk berkarya.

Lebih 150 festival dia buat setiap tahun. Mulai dari tari ‘gandrung seribu’ sampai lari ke gunung Ijen.

Aneh sekali kalau kawasan Toba tidak bisa bangkit seperti Banyuwangi. Bandara Silangit harus bisa jadi bandara Banyuwangi. Tapi memang. Memang. Harus ada Azwar Anas di sana.

Itu pula yang membuat saya menyarankan pada bupati Sambas, Kalbar, H Atbah Romin Suhaili LC. Saat beliau ke rumah saya. Mencari cara membangun Sambas. Yang begitu jauh. Yang bertetangga dengan Serawak.

Bangunlah bandara. Manfaatkan nilai jual tetangga: kota Singkawang. Bekerjasamalah dengan walikota Singkawang. Jangan bersaing. Apalagi bertengkar. Hanya demi gengsi.

Begitu banyak orang ingin ke Singkawang. Apalagi saat Cap Go Meh. Atau Imlek. Atau ceng beng. Terlalu tersiksa untuk ke Singkawang. Harus lewat Pontianak. Banyuwangi literatur hidup untuk semua itu.(dis)

 

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/