Ulah-ulah orang-orang itu benar-benar bikin geleng-geleng kepala, dan bahkan menggelikan. Mereka orang dewasa. Kebanyakan berpendidikan. Banyak yang tergolong mampu. Tapi tetap memilih cara-cara seperti itu.
Dan kalau dipikir-pikir, bukankah itu cerminan banyak masyarakat Indonesia? Yang memilih jalan pintas –yang sering tidak terhormat– daripada bersusah-susah payah? Bagi mereka-mereka itu, saya hanya bisa berdoa dan berharap. Semoga hati mereka dibuka, diberi kekuatan, supaya terpacu untuk berlatih dengan sungguh-sungguh. Supaya kelak tidak harus curang, tidak harus mencari jalan pintas. Mau kuat? Ya latihan. Saya dulu juga tertatih-tatih kok kali pertama menanjak Bromo. Harus berhenti belasan kali sebelum benar-benar sampai ke atas. Tapi, waktu itu tidak mau menyerah. Harus bisa finis dengan kekuatan sendiri.
Saya tidak finis juga pernah saat latihan. Dan itu tidak apa-apa. Karena kaki sudah kram tidak mungkin dipaksakan lagi.
Saya juga berdoa dan berharap supaya event seperti Bromo 100 Km itu bisa menjadi pelajaran untuk tidak menjadi cyclist yang ’’manja’’. Yang ke mana-mana minta dikawal, membawa mobil pendamping.
Ikut event-event serupa di luar negeri, sepeda-sepedanya tidak seheboh atau semahal di Indonesia. Tapi, pesertanya mandiri-mandiri, bisa mengganti ban sendiri atau menyelesaikan masalah sendiri.
Semoga kelak di Indonesia juga sama. Karena itu cerminan masyarakatnya juga. Yang tangguh-tangguh, tidak manja-manja. Yang tidak mencoba mengakali situasi.
Selamat berlatih. Sampai jumpa di event berikutnya. Dan semoga di event berikutnya itu semua semakin kuat. Semangat! (*)